11. Who Is She?

737 46 11
                                    

Gue melangkahkan kaki keluar dari area universitas. Tadi Kak Juna mengirimi gue pesan untuk bertemu di salah satu cafe dekat universitas. Gue senang? Tentu saja! Siapa yang tidak merasa senang jika bertemu calon jodoh?

Akhirnya gue segera bergegas melangkah cepat untuk keluar dari kampus ini. Gue juga tak memberitahu pada teman-teman kalau akan bertemu dengan Kak Juna sekarang. Secara kalau memberitahu mereka, gue harus siap lahir batin mendengarkan serentetan petuah-petuah yang harus gue turuti cuma gara-gara akan bertemu Kak Juna saja.

Sebenarnya gue merasa aneh juga pada mereka. Kenapa mereka itu seakan kompak menentang kedekatan gue dengan Kak Juna. Gue pernah menanyakan hal ini ke mereka. Namun nyatanya, mereka cuma menjawab “Udah, turuti omongan kita aja!” Aneh, kan? Jelas! Memangnya ada yang salah dari Kak Juna? Karena setahu gue, Kak Juna orang yang bisa dibilang baik kok.

Saat berjalan ke arah cafe, gue melihat Kak Juna kini tengah berdiri di depan cafe itu. Dia tidak sendiri, melainkan dengan seorang gadis. Gue mengamati sekilas gadis itu berusaha untuk mengenalnya. Namun nyatanya, gue tak mengenal gadis itu sama sekali. Dan gue sedikit tertegun karena Kak Juna terlihat mengelus pelan rambut gadis itu sebelum gadis itu pergi.

Siapa gadis itu? Kenapa bisa seakrab itu dengan Kak Juna? Oh lupakan! Toh gue bukan siapa-siapa Kak Juna. Tapi, gue cukup penasaran dengan gadis itu. Dan gue baru ingat, gue juga pernah melihat Kak Juna tengah menggandeng seorang gadis waktu itu! Tapi, gadis ini berbeda dengan gadis yang Kak Juna gandeng saat itu. Sungguh! Gue benar-benar di buat penasaran akan hal ini.

“Natt, kok bengong?”

Gue langsung terlonjak kaget ketika mendengar suara Kak Juna yang kini sudah berada di depan gue.

“Kenapa? Dari tadi Kak Jun panggil gak nyawut-nyawut.”

Gue menggeleng pelan berusaha menormalkan fikiran. Stop! Kak Juna juga bukan siapa-siapa gue. Jadi, gue tak ada hak buat ikut campur urusan dia.

“Nggak Kak, gak papa.”

Kak Juna langsung tersenyum lalu menarik tangan gue dengan lembut untuk memasuki cafe.

“Minum apa?” tanya Kak Juna.

“Samain aja Kak.”

Kak Juna mengangguk-angguk pelan lalu segera memesan minuman untuk kami. Setelah Kak Juna kembali sambil membawa dua gelas Latte ke arah gue, gue langsung berdehem kembali.

“Mm ... Kak, ada apa ya? Kok tiba-tiba ngajak ketemu kayak gini?”

Terlihat Kak Juna tertawa pelan. “Nggak papa, pengen ketemu aja. Emangnya gak boleh, ya?”

Gue langsung menggeleng lalu tertawa pelan. “Nggak Kak, boleh kok.”

Lalu terjadi keheningan cukup lama di antara kami. Gue bingung harus bicara apa lagi dengannya. Karena sejujurnya, gue masih cukup penasaran tentang siapa perempuan tadi. Gue jadi bingung sendiri, haruskah gue menanyakannya? Oh tidak, itu terkesan terlalu ikut campur. Ingat posisi Natt, tolong ingat posisi. Lo bukan siapa-siapa Kak Juna. Tapi, gue benar-benar penasaran. Apa yang harus gue lakukan?

“Natt?”

Panggilan Kak Juna sukses membuat buyar lamunan gue. Gue mendongak menatap Kak Juna dan menunggu kelanjutan kalimatnya.

“Kenapa diem terus?” tanya Kak Juna.

Gue tersenyum kikuk merasa malu karena ditegur seperti itu. Akhirnya gue mencoba mengontrol nafas lalu kembali menatapnya. “Kak, boleh aku tanya sesuatu?”

“Tanya aja.” jawab Kak Juna sambil menyeruput segelas Latte nya.

“Itu...” gue menghentikan ucapan sejenak. Gue ragu juga harus memulainya dari mana. “Cewe tadi....”

“Temen,” sela Kak Juna yang langsung membuat gue terdiam. “Dia cuma temen.”

“Temen?” tanya gue memastikan dan di jawab anggukan oleh Kak Juna. “Oh, aku kira dia pacar Kakak, soalnya mesra banget,” ucap gue pelan.

Kak Juna lalu tersenyum tipis dan beralih memandang gue. “Kak Jun gak punya pacar.”

Jawabannya kini sukses membuat gue ingin berteriak seketika, namun gue urungkan itu. Gue harus tetap jaga image di hadapan Kak Juna saat ini. Walaupun sekarang rasa senang sudah tak terbendung lagi. Siapa sih yang tidak merasa senang mendengar orang yang kita cintai ini tidak punya pacar? Otomatis itu kan menambah peluang kita buat bisa mendapatkan dia. Kalau gue di tanya senang atau nggak? Ya jelas jawaban gue senang.

Gue menatapnya sekilas lalu tersenyum kikuk. “Diminum lagi kak.”

***

Setelah tadi pulang di antar Kak Juna, gue langsung memasuki kamar dan langsung merebahkan diri di atas ranjang. Ahh! Rasanya tubuh gue benar-benar merasa sangat lelah sekarang. Tapi, rasa lelah gue dapat terbayarkan karena tadi bisa pergi bersama Kak Juna. Rasanya ... susah diungkapkan dengan kata-kata. Jangan anggap gue lebay! Coba deh rasain jatuh cinta biar kalian bisa tahu apa yang gue rasakan sekarang.

Gue memejamkan mata perlahan. Namun mata gue otomatis terbuka kembali setelah mendengar suara seseorang membuka pintu. Gue menoleh dan kini mendapati Yuna yang mulai berjalan mendekat lalu ikut merebahkan diri di samping gue. Yuna memang memutuskan untuk menginap di rumah gue selama keluarga gue belum pulang dari Jepang.

“Baru pulang lo?” tanya Yuna dan gue jawab dengan anggukan. “Dari mana?” tanyanya lagi.

“Pergi.” jawab gue sambil memejamkan mata kembali.

“Tadi Adin bilang pas kelar kelas lo langsung nyelonong gitu aja, emangnya pergi ke mana?”

“Ke cafe.”

“Sama siapa?”

“Sama Kak Juna.”

Sontak gue langsung membuka mata karena menyadari apa yang baru saja gue ucapkan. Gue keceplosan, gue keceplosan sumpah. Kenapa gue harus mengatakan pada Yuna kalau gue pergi bersama Kak Juna tadi?

“Lo pergi sama Kak Juna? Kan udah kita bilang—”

Stop!” sela gue. “Lo mau larang gue pergi sama Kak Juna?”

“Nggak! bukan gitu, Natt. Tapi—”

“Sama aja!” sela gue lagi. “Lagian kenapa sih kalian ngotot banget nyuruh gue jangan deket sama Kak Juna?” seru gue sambil berusaha menahan emosi. Gue kesal, sejujurnya gue kesal. Siapa juga yang tidak merasa kesal jika dilarang untuk dekat dengan seseorang yang kita sayangi, apalagi status mereka cuma sahabat. Ingat, sahabat!

“Kita ngelarang juga punya alasannya, Natt!”

“Alasan apa sih Yuna? Kalo kalian punya alasan, seenggaknya bilang ke gue apa alasannya!” bentak gue. Gue menghela nafas untuk kembali mengontrol emosi. “Bilang sama gue, apa alasannya,” seru gue namun kali ini dengan suara sedikit memelan.

“Gue gak bisa jelasin sekarang, biar Devin nanti yang jelasin.” tegas Yuna.

“Kenapa harus Devin. Apa hubungannya?”

“Pokoknya, cuma Devin yang berhak ngejelasin tentang ini.”

Gue mendesah berat lalu segera bangkit berdiri. Percuma gue tanya sama Yuna, toh dia takkan menjelaskannya. Tapi, kenapa harus Devin?

***

Next?






XOXO

FIHA IM

Renata Keyla ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang