18. Kak Andrew

747 41 10
                                    

Gue berjalan memasuki area kantin sekedar membeli minum untuk menghilangkan rasa haus. Saat baru saja menginjakkan kaki di area kantin, gue mendengar suara seorang perempuan yang sangat gue kenali memanggil nama gue.

Gue menoleh dan mendapati beberapa sahabat gue tengah duduk di tempat biasa kami duduki. Gue tersenyum lalu melambaikan tangan ke arah mereka.

“Natt! Sini gabung!” teriak Sesil yang tadi memanggil gue.

Akhirnya setelah membeli minum, gue melangkah mendekati mereka. Tidak ada Devin dan Yuna di sini. Biarlah, gue tak ingin peduli. Tapi, apakah bisa gue tak peduli? Sementara hati gue seakan memanas lagi? Gue segera menggeleng pelan untuk kembali menormalkan pikiran.

“Hai!” sapa gue lalu langsung duduk di hadapan Adin. Tidak! Biasanya selalu ada Devin yang duduk di hadapan gue, tapi kali ini tidak. Hati gue kembali miris lagi.

“Lo kemana aja? Jarang ngumpul lo sama kita!” celetuk Ara disusul dengusan kecilnya.

“Gue terakhir ketemu lo itu waktu lo numpang di mobil gue,” timbrung Joshua.

Gue terkekeh pelan. “Sorry sorry....”

“Gak pesen donat nih? Biasanya tiada hari tanpa donat.” kali ini Ridwan yang berbicara.

Gue menggeleng. “Nggak ah! Mau move on!”
Mendengar ucapan gue sontak mereka cuma terkekeh pelan.

Adin memicingkan mata. “Kayanya arah bicara lo bukan mengarah tentang itu deh.”

Gue mendengus sambil memutar bola mata malas. Namun, pandangan gue sekarang malah teralihkan ke arah seorang pria dan wanita yang kini tengah melangkah bersama menuju tempat yang tengah kami duduki.

Gue menghela napas pelan. Kenapa juga gue harus bertemu mereka lagi? Bukankah sudah gue bilang gue ingin menghindarinya? Ternyata tuhan benar-benar semakin memperumit keadaan gue.

“Woi! Ngumpul kok gak ngabarin gue?” dengus Yuna yang kini sudah berada di dekat kami dan langsung memposisikan duduk di sebelah Adin.

“Kita juga tadinya gak niat mau ngumpul gini,” jawab Adin.

“Duduk, Vin!” seru Malik yang masih melihat Devin hanya berdiri mematung.

Akhirnya gue merasakan kini Devin mulai duduk, tepat di sebelah gue. Sial! Kenapa dia harus duduk di sebelah gue? Ini membuat kesehatan jantung gue semakin tak normal kembali.

“Mau pesen makan gak? Sekalian nih gue mau pesen minum juga,” seru Joshua kepada Devin dan juga Yuna.

“Gue minum aja,” balas Yuna lalu tatapannya beralih ke arah Devin. “Lo?”

“Gue juga minum aja,” jawabnya.

Gue mendengus pelan melihat kedekatan mereka. Kalau tahu mereka bakal ikut nongkrong bersama kami, gue tak akan mau berada di sini.

Akhirnya kami hanya mengobrol seperti biasa, sementara gue cuma jadi pendengar yang baik di antara mereka. Gue dapat lihat dari ekor mata gue kalau pandangan Devin terus menatap gue. Apa? Dia bilang dia yang akan pergi dari sisi gue? Tapi, kenapa sampai sekarang dia masih bisa memandang gue seperti itu? Bahkan di hadapan pacarnya sendiri?

“Jadi, sejauh mana hubungan lo sama Tsabina?” tanya Joshua dengan pandangan tertuju pada Dio.

Gue terlonjak kaget. Serius Dio bisa dapetin Tsabina? Waw! Ingat kan dulu mereka sempat buat taruhan untuk mendapatkan Tsabina? Anak HI!

“Serius lo pacaran sama dia?” tanya gue yang mulai ikut penasaran dengan pembicaraan ini.

Terlihat Dio hanya senyum-senyum tipis. Mungkin dia merasa malu.

Renata Keyla ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang