25. Distance

752 44 10
                                    

Gue menatap ke arah lapangan basket dari kejauhan sambil sesekali tersenyum menatap segerombolan teman-teman yang gue kenal tengah berada di sana. Iya, jauh di sana, gue melihat seseorang yang selama ini tak pernah berhenti singgah di hati walaupun nyatanya gue terus memberontak. Memberontak ingin melupakannya, namun tak pernah bisa.

Gue tersenyum. Menyadari kalau hanya bisa melihatnya dari sini, dari jauh. Seseorang yang terlihat dekat namun sebenarnya jauh. Tidak! Bahkan sekarang dia tak terlihat dekat lagi. Dia sudah jauh, terlihat jauh karena faktanya dia memang jauh. Tak mungkin akan tergapai kembali.

“Woi!” suara seseorang berhasil mengusik ketenangan gue. Gue menoleh menatap Ara yang kini sudah berdiri tepat di sebelah gue.

“Ara!” pekik gue. Gue kaget setengah mati karena mendapati Ara yang kini berada di sini. Karena pasalnya, sudah tiga hari ini anak itu susah untuk dihubungi. Lebih tepatnya setelah putus dengan Ridwan, dia hilang seolah ditelan bumi.

Ara terkekeh. “Kenapa? Kangen sama gue?” tanyanya sambil menunjukkan cengiran kudanya itu.

Gue mendengus sebal. “Lo ke mana aja? Tiga hari ini gue terus hubungi lo tapi ponsel lo gak pernah aktif. Gue sama yang lain bahkan ke rumah lo tapi lo nya gak ada!”

Ara terkekeh kembali. “Gue ke luar kota jenguk nenek. Nenek gue sakit.”

Gue memicingkan mata memandang Ara seolah tak percaya. “Lo gak lagi bohong, kan?”

“Astaga Natt!” teriaknya sambil mengusap wajah gue kasar. “Lo gila apa? Masa iya gue bohong pake alesan nenek gue yang sakit. Itu sama aja gue beneran nyumpahin Nenek gue sakit!” cecar Ara yang membuat gue langsung terkekeh geli.

“Terus? Kenapa pake gak aktifin ponsel segala?” tanya gue lagi.

Ara tersenyum miring. “Ya karna gue sekalian pergi buat nenangin diri. Makanya gue gak mau kalian ganggu gue.”

“Terus sekarang, udah bertapanya?” tanya gue menyindirnya.

Ara mendengus. “Nenangin diri doang, Donat! Gak pake bertapa segala!”

Gue terkekeh. “Ya biasanya kan kalo mau nenangin diri itu ya sambil bertapa gitu kaya di film-film.”

“Ngomong sekali lagi, gue bacok lo!” Ancam Ara sambil menudingkan telunjuknya yang sukses membuat gue bungkam menahan tawa.

Akhirnya kami sama-sama terdiam dan hanya berfokus untuk kembali menatap sekumpulan pria yang masih asyik dengan permainan basketnya itu.

Gue tersenyum ketika melihat Devin yang dengan lincahnya memasukkan bola basket ke dalam ring. Selama jadi sahabatnya, gue tak pernah melihat Devin bermain basket seperti sekarang. Gue kira juga dia tak suka olahraga itu. Tapi yang gue lihat, dia malah sangat lincah memainkan bola basket. Gue benar-benar tak menyangkanya.

“Kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Ara yang membuat gue langsung menoleh ke arahnya.

Gue menggeleng pelan. "Nggak. Seneng aja lihat mereka main basket kaya gitu. Biasanya kan mereka cuma hobi nongkrong di kantin doang,” jawab gue bohong. Nyatanya, gue hanya senang melihat Devin. Hanya Devin. Tapi melihatnya hanya dari kejauhan. Miris!

“Ara.” Kini gue yang memanggil Ara. Ara hanya menoleh tapi tetap diam seolah membiarkan gue untuk melanjutkan bicara.

“Walaupun lo udah putus sama Ridwan, gue mau lo tetep jangan benci dia. Seenggaknya, dia masih tetap sahabat kita, kan?”

Ara tersenyum lalu mengangguk. “Gue ngerti. Gue gak akan benci dia kok. Gue gak mau merusak persahabatan kita,” jawab Ara yang membuat gue langsung tersenyum. Seenggaknya, Ara sudah bisa berpikir dewasa saat ini.

Renata Keyla ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang