"Perkenalkan aku Park Jihoon." Johnny hanya terdiam, sembari menatap dingin pria berwajah manis di depannya.
Jihoon kemudian menyerahkan sebuah kartu pelajar pada Johnny, Johnny pun akhirnya menerima kartu pelajar tersebut dan membacanya.
"Aku mendengar keributanmu di cafe dan di jalan raya, jadi aku mengikutimu sampai rumah sakit, dan ternyata kau malah masuk penjara. Aku tertarik dengan keinginanmu membuat robot yang membunuh orang-orang sakit dan terluka." Jihoon berbicara dengan nada rendah di akhir, agar tidak dapat di dengar oleh para Polisi.
"Bagaimana caranya agar aku bisa melakukan itu?" tanya Jihoon.
"Kenapa kau ingin melakukan itu?"
"Aku tidak ingin orang yang tidak berguna, semakin bertumpuk di dunia."
Johnny terdiam mendengar penuturan Jihoon. Ia akhirnya meminta secarik kertas dengan pulpen, Johnny kemudian menulis alamat lab tempat dimana Taeyong, dan Minho bekerja.
"Disana ada robot yang bisa kau modifikasi. Dan ada sebuah virus mematikan ditangan Minho. Kau gunakan virus itu sebagai senjata tambahan untuk robot itu."
Jihoon menganggukan kepalanya sembari menyeringai, kemudian mengambil kertas yang telah dibubuhi alamat itu.
Jihoon langsung berdiri, dan pamit pergi. Saat ia baru keluar dari kantor Polisi, sebuah taxi berhenti, anak laki-laki dengan kondisi yang masih mengenaskan keluar dari taxi dengan terpincang.
Anak laki-laki itu berlari ke arah Jihoon, membuat Jihoon otomatis segera berlari.
"Jangan lari hei!" teriak anak laki-laki itu.
"Mark, hampiri Daddy. Dia baru ditemui Jihoon, tanyakan apa yang sudah mereka lakukan!" teriak anak laki-laki yang tak lain adalah Guanlin itu. Kemudian ia mencoba mempercepat laju larinya, tidak peduli dengan seluruh tubuhnya yang terasa sakit.
Brak! Namun pada akhirnya Guanlin yang belum pulih pun terjatuh ke tanah. Ia mengerang kesal sembari menatap kepergian Jihoon.
♦♦♦
"Jadi ini virus beracun?" tanya Jeongin sambil menatap botol berisi cairan merah. Minho menganggukan kepalanya, sebagai jawaban dari pertanyaan Jeongin.
"Bagaimana bisa kau mendapatkan racun ini?" tanya Jeongin. "Dan untuk apa?"
Minho terdiam sejenak, sebelum akhirnya menghela nafas kasar. "Itu aku buat khusus untukmu." Ucap Minho.
"Aku membuatnya siang dan malam sampai tidak tidur berhari-hari. Aku tahu kau dibully di sekolah, aku tahu kau selalu menangis setiap pulang sekolah. Aku tidak bisa melihatmu seperti itu terus. Jadi aku membuat itu, agar kau bisa balas dendam, atau menjaga diri jika aku sudah tidak ada."
Kening Jeongin seketika mengkerut. "Apa maksudmu?" tanya Jeongin.
"Ak-aku sakit, aku sakit seperti Ayah, dan kemungkinan besar umurku tidak akan lama lagi." Balas Minho.
Jeongin melebarkan matanya. "Kenapa kau tidak bilang sejak awal?!" seru Jeongin.
"Aku tidak mau membuatmu khawatir." Ucap Minho.
Jeongin menggigit bibir bawahnya, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Air matanya luruh begitu saja.
Jeongin kemudian memukuli Minho sembari berteriak. "Kenapa kau tidak bilang?! Kenapa pada akhirnya aku harus terus ditinggalkan orang-orang yang aku sayang?!"
Minho hanya terdiam, membiarkan dirinya dipukuli oleh Jeongin.
Karena pukulan Jeongin yang terlalu kuat, virus yang berada ditangan Minho terjatuh, dan menggelinding tepat pada pintu lab yang baru terbuka.
Botol virus itu menabrak kaki seseorang yang baru saja membuka pintu. Ia kemudian menundukan kepalanya, dan mengambil virus itu dari kakinya.
Minho melebarkan matanya melihat orang asing yang berada di lab. Tempat ini sangat rahasia. Sedangkan Jeongin mengernyitkan keningnya, merasa heran kenapa ada Jihoon disini. Ya, orang itu Jihoon.
Sejak Jeongin pergi ke masa depan, kemampuannya untuk melihat sesuatu yang belum terjadi jadi seolah tidak berfungsi lagi.
"Siapa kau? Bagaimana bisa kau ada disini?" tanya Minho sembari beranjak berdiri dari kursi.
"Aku suruhan Johnny, untuk meneruskan misinya." Ucap Jihoon sembari menyeringai.
"Apa?" gumam Minho.
Jihoon berjalan memasuki lab, kemudian menutup pintunya.
"Wow... robot-robot yang gagal." Gumam Jihoon dengan mata menelusuri robot-robot yang digantung disudut ruang.
"Aku bisa membuat robot-robot ini hidup dan berguna." Kata Jihoon.
"Kalau hidupnya menjadi robot mengerikan seperti yang diinginkan Johnny, lebih baik tidak usah." Balas Minho.
"Kenapa? Bukankah ide Johnny itu bagus? Memusnahkan orang-orang penyakitan yang tidak berguna?"
"Kau orang gila. Sama seperti Johnny."
Jihoon menggendikan bahunya. Ia tiba-tiba mengeluarkan pistol, dan menodongkannya pada Minho.
"Kalau kau menghalangiku, akan aku tembak kepalamu." Ucap Jihoon.
"Kau pasti punya dendam tersendiri dengan seseorang, katakan apa itu?! Sampai kau melakukan ide gila Johnny?!"
"Aku ingin diakui!" teriak Jihoon, sembari menggertakan giginya.
"Aku selalu ditindas dan apapun yang aku lakukan tidak pernah diakui, aku sendirian, aku kesepian. Orang tuaku telah tiada karena sakit. Selama sakit mereka jadi tidak berguna, mereka tidak bisa membelaku yang ditindas orang-orang. Dengan aku melakukan ini, aku akan diakui setidaknya dengan satu orang."
"Kau mau diakui Johnny? Johnny orang gila, dan kau mau diakui oleh orang gila huh?!"
Jihoon menggendikan bahunya. "Yang penting aku senang."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Jihoon berjalan mendekati robot-robot. Namun Minho segera berlari ke arahnya, menarik bahu Jihoon hingga tubuh Jihoon berbalik, ia kemudian melayangkan pukulan pada Jihoon, hingga Jihoon jatuh ke lantai.
Minho kembali akan memukulnya, namun peluru sudah lebih dulu menembus dadanya.
"Minho!" teriak Jeongin. Ia segera turun dari ranjang dan menghampiri Kakak tirinya.
"Sudah aku bilang! Jangan menghalangi aku!" seru Jihoon.
Jeongin hanya dapat menangis sembari mengguncang tubuh Minho.
Apa yang terjadi? Kenapa jadi seperti ini? Kenapa Jihoon yang melakukan semua ini? Kepala Jeongin seketika merasa pusing. Dan tak butuh waktu lama, ia jatuh tidak sadarkan diri.
TBC
Gue ngerasa cerita ini makin gak jelas, ingin rasanya ku mengunpub story ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grim | NCT, W1 & Stray Kids ✅ [Proses Revisi]
FanfictionHanya bercerita tentang anak-anak yang mencoba menyelamatkan masa depan mereka, yang mengerikan dan suram. Penuh darah dan ketakutan.