Jeongin sudah dapat pergi ke sekolah, meskipun masih harus pakai alat bantu di dadanya, serta kursi roda. Perangkat game yang ia buat dan dipasang ketubuh, sudah membuatnya cacat.
Jeongin sebenarnya takut untuk datang ke sekolah. Ia takut bertemu Guanlin dan teman gengnya yang lain. Bagaimana tanggapan mereka terhadapnya?
Jeongin pikir, mereka semakin membenci dirinya, karena ia sudah mempermainkan mereka, memasukan mereka ke dalam dunia yang mengerikan. Bahkan selama di rumah sakit, tidak ada yang menjenguk dirinya kecuali Taeyong.
Renjun saja tidak. Itu membuat Jeongin sedih, tapi ia kira, ia pantas mendapatkan itu.
Jeongin memutar roda kursinya memasuki kelas. Tatapan matanya langsung bertemu dengan Guanlin. Guanlin menatapnya dingin, sebelum akhirnya membuang muka.
Jeongin menundukan kepalanya, dan memilih mengabaikan Guanlin. Ia tetap berjalan mendekati bangkunya.
"Caramu balas dendam benar-benar hebat." Ucap Guanlin setelah Jeongin berada di dekatnya.
"Kau mempermainkan mentalku, Kakak, dan adikku, bahkan sampai Ayahku, juga teman-teman ku yang lain." Kata Guanlin.
Jeongin mendongakan kepalanya, memberanikan diri untuk menatap Guanlin yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata dingin.
"Maafkan aku. Aku hanya tidak tahan dengan perlakuanmu, aku juga kasihan dengan Ayahmu. Dia frustasi, dan anak-anaknya malah membangkang." Kata Jeongin.
"Ya, terimakasih. Sekarang Ayahku lebih bisa menerima kalau istrinya sudah meninggal, dan dia lebih memperhatikan anak-anaknya." Kata Guanlin.
"Kau berterimakasih, tapi juga marah padaku?" tanya Jeongin.
"Aku hanya lelah dan stress sejak masuk ke dunia game buatanmu itu. Itu benar-benar kejam." Balas Guanlin.
"Maaf." Gumam Jeongin.
"Yaa... teruslah meminta maaf. Karena itu yang seharusnya kau lakukan sekarang. Aku juga minta maaf,"
Jeongin seketika menatap Guanlin yang malah buang muka. Seolah malu dengan apa yang baru ia ucapkan barusan.
"Aku tahu aku sudah membuatmu sangat terluka. Game itu sebenarnya bagus, aku jadi lebih bisa menghargai keluargaku, teman-temanku, dan orang sekitar, karena rasanya kehilangan mereka benar-benar tidak menyenangkan. Berkat game itu aku jadi merasakan yang namanya kehilangan. Aku juga jadi merasakan... bagaimana sedih dan tertekannya perasaanmu saat aku bully. Kau hebat bisa menyatukan seluruh perasaan kami di dalam game." Kata Guanlin panjang lebar.
Senyuman tipis seketika terukir di wajah Jeongin. "Itu maksudku membuat game itu." Ucap Jeongin.
"Yeahh... i know. Mau makan siang bersamaku, dan teman-teman ku yang lain? Ada Renjun dan Mark juga."
"Tentu!"
"Omong-omong maaf tidak ada yang menjengukmu di rumah sakit selama kau dirawat. Rasanya tidak siap bertemu denganmu saat itu, karena mental kami semua sedang down."
"Iya, aku mengerti."
♦♦♦
"Kau tahu? Berminggu-minggu pingsan, seluruh tubuhku terasa kaku, dan kesemutan, punggungku juga melepuh. Hah... dan yang jelas, mulutku terasa asam." Kata Haechan.
"Maaf..." gumam Jeongin.
"Aku muak mendengarmu minta maaf. Lagi pula memang sudah saatnya Haechan berhenti merokok." Kata Jaemin.
"Ah mana bisa!" seru Haechan.
Hyunjin tiba-tiba menyodorkan satu batang rokok pada Haechan, dan Haechan dengan senang hati, tentu saja menerimanya.
Mereka makan siang di gedung belakang sekolah, jadi Haechan dan Hyunjin bisa bebas merokok.
Jeongin tiba-tiba menyentuh bahu Jaemin, membuat Jaemin menoleh ke arahnya. Jaemin tersenyum pada Jeongin, kemudian menepuki tangan anak laki-laki itu berbehel itu. Jaemin sudah mengerti, bagaimana perasaan Jeongin padanya sekarang. Itu berubah sejak di dalam dunia game, dimana Jaemin berbicara dengan bijak.
"Hei, jadi pintu waktu itu benar-benar tidak ada ya?" kata Hyunjin sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara.
Jeongin menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali. Padahal aku ingin lihat masa depanku, pasti cerah tidak seperti kulit Haechan."
Haechan seketika menendang pinggang Hyunjin, hingga Hyunjin terdorong dan mengerang kesakitan sembari memegangi pinggangnya.
"Sakit bodoh!" seru Hyunjin.
"Hatiku lebih sakit." Balas Haechan dengan dramatis.
"Omong-omong Jihoon itu sebenarnya siapa sih?" tanya Renjun sambil menatap serius Jeongin.
"Dia itu teman Lucas, bukan teman sih, hanya Lucas mengenalnya, jadi otomatis aku juga kenal, karena kalian tahu aku bertetangga dengan Lucas dan kami dekat. Dia... sedikit ada gangguan mental karena orang tuanya meninggal, dan dia selalu ditindas orang-orang. Lucas sendiri tidak mau berteman dengannya, karena... entahlah, Lucas merasa tidak nyaman saja dengannya." Jelas Jeongin.
"Ah kasihan..." respon Renjun dan lainnya.
"Jadi sekarang dia ada di rumah sakit jiwa?" tanya Baejin, yang dibalas anggukan oleh Jeongin.
"Hei, ayo kita ke lorong bata merah, dan lihat, apakah pintu itu benar-benar ada atau tidak." Usul Jisung tiba-tiba.
"Pintu itu sudah jelas ada, tapi hanya untuk menyimpan barang-barang." Sahut Jeno.
"Ya iya sih. Tapi aku penasaran." Kata Jisung.
"Ya sudah, sehabis makan kita kesana." Balas Mark.
Mereka pun segera menyelesaikan acara makan siang mereka, sebelum akhirnya pergi ke lorong bata merah itu.
Jisung dan Jaemin yang langsung mendekati pintu baja yang ada diujung lorong, karena mereka yang merasa paling penasaran.
"Hei, ada tombol-tombolnya, tapi yang ini ada angka-angkanya." Kata Jaemin sambil menunjuk papan tombol di samping pintu.
Kening Jeongin mengernyit. Ia memutar kursi rodanya mendekati pintu, sebelum akhirnya ia menundukan kepalanya, dan mencoba menekan angka-angka yang berada di papan tombol itu.
Ia menekan sesuai tanggal pertama kali mereka semua masuk ke dalam dunia game.
Mata Jeongin dan lainnya melebar, saat melihat pintu terbuka sendiri setelahnya, dan mengepulkan kabut asap yang dingin sesaat.
Jisung dan Jaemin melongokan kepala mereka ke dalam pintu, yang terlihat tidak berujung.
"Woah? Jangan-jangan ini pintu waktu?" Celetuk Hyunjin.
♦♦♦
Seorang pemuda berambut merah dan mengenakan baju rumah sakit, berlari keluar dari bangunan besar serba putih tersebut. Ia kemudian menghentikan taxi, dan masuk ke sana. Bibirnya bergetar, tampak seolah ia sedang ketakutan. Namun tak lama sebuah seringaian tercetak di wajahnya.
"Akan aku buat dunia ini hancur." gumamnya seraya meremas sebuah gulungan kertas ditangannya.
°~°
KAMU SEDANG MEMBACA
Grim | NCT, W1 & Stray Kids ✅ [Proses Revisi]
FanficHanya bercerita tentang anak-anak yang mencoba menyelamatkan masa depan mereka, yang mengerikan dan suram. Penuh darah dan ketakutan.