( Publish lagi )
Bulan Maret 1995 adalah hari yang kelabu bagi keluarga kami. Papa kami meninggal di malam hari. Kami kehilangan kepala keluarga karena suatu penyakit. Tak menyangka memang karena paginya beliau masih mengajak kami bermain dan jalan-jalan naik becak.
Karena keluarga Papa ada di luar Jatim maka jenasahnya belum bisa dikebumikan menunggu saudara jauh. Jenasah Papa berada di dalam peti jenasah. Aku, kakak, papa dan mama memang beragama Kristen.
Tempat persemayaman terakhir berada di sebuah tempat yang memang di khususkan untuk umat Nasrani dan Buddha yang sudah meninggal. Waktu itu masih kecil ketika usia tiga atau empat tahun saat Papa meninggal tidak sedih membuat Mama menyangka aku syok karena ditinggal Papa. Masalah bukan karena syok lebih tepatnya aku sudah tahu tentang kematian dari seseorang. Seseorang itu bukan Pak Toh atau Bu Tin.
"Semua orang itu ada waktunya, Hana."
Aku menoleh ke arah suara yang berada di samping. Ya, karena aku masih kecil dan tidak tahu jika yang berbicara denganku itu adalah orang yang tak kasat mata aku malah memberikan senyuman.
"Orang tersebut akan pergi dari kehidupanmu. Mereka tidak akan ada di sampingmu. Mereka akan pergi jauh meninggalkan orang yang mereka cintai di dunia."
"Jangan bersedih atau menangis karena itu sudah takdir. Suatu hari nanti kalian akan bertemu."
"Kakek tua" itu terus berbicara seolah-olah aku ini adalah orang yang sudah beranjak dewasa. Dia datang saat pertama kali aku ke tempat ini, memerhatikanku maupun orang lain yang datang. Aku pikir dia adalah pelayat, tetapi nyatanya salah karena saat dia pergi menembus meja yang ada di depan. Sebelum benar-benar menghilang, dia menoleh ke arahku dengan sebuah senyuman seperti seorang ayah.
"Semua akan baik-baik saja, Hana."
Entah karena aku masih kecil atau memang aku sudah tahu artinya kematian aku tak pernah menangis dan tidak pernah bertanya sekalipun kepada Mama mengapa Papa meninggal. Mama berpikir karena aku masih kecil yang tidak tahu apapun.
*****
Tibalah waktunya kami melepaskan Papa untuk selamanya. Selama perjalanan menuju tanah makam kami atau lebih tepatnya aku diperhatikan oleh sesosok yang tak kasat mata. Ya, maklum peti jenasahnya ada di dalam mobil ambulance. Tidak terhitung lagi berapa banyak korban hidup atau korban meninggal yang ada di dalam mobil ambulance tersebut. Dasar aku ini yang masih tidak paham apapun, malah mengganggap "mereka" pelayat tapi anehnya kok "mereka" ada di atap mobil bukannya duduk di dalam. Ingin bertanya tapi nanti keluarga akan tambah bingung, akhirnya diam saja.
Masalahnya selama perjalanan ke tanah makam kesannya tidak mengenakkan. Ambulance tersebut berada di depan mobil kami nah kan tidak enak melihat "mereka" yang berada di atas seakan - akan "mereka" itu penumpang. Ya sudah selama perjalanan mataku tak lepas dari melihat penampakan tak biasa.
Di tanah makam tak hentinya tatapan "mereka" menunjukkan raaa iba maupun kasihan terhadap kami. Ada yang berbisik dan ada pula yang langsung bertanya kepadaku.
"Kamu masih kecil sudah di tinggal ayahmu."
"Tidak apa-apa semua akan kembali jika waktunya."
Ketika semua orang sibuk mempersiapkan makam, aku malah ngobrol bersama seorang 'kakek' tua yang duduk di atas makamnya dengan tenang dan sekali-kali melihat mama yang sedih ditinggal papa.
"Kamu tahu Hana? Terkadang hidup itu harus kita syukuri selama kita hidup di dunia ini."
Jelas sekali perkataan 'kakek' itu di telingaku hingga kini. Memberi wejangan layaknya seorang kakek kepada cucunya.
"Saya dulu tak mensyukuri yang Tuhan beri kepada saya. Saya lupa diri dan beginilah saya sekarang."
Aku hanya menjadi pendengar yang baik tidak mau menyela karena menurut Bu Tin tidak sopan jika aku menyela pembicaraan orang yang lebih tua.
"Lihatlah mereka yang ada di sana. Mereka terkadang tak menyadari jika kehidupan di dunia sudah berakhir."
"Sebenarnya kami di sini mengharapkan kedatangan sanak keluarga. Terkadang mereka lupa dengan kami yang sudah tiada. Kami hanya ingin didoakan."
"Lalu keluarga kakek datang ke sini?"
Tanyaku waktu itu yang masih kecil dan memakai rok pendek karena aku masih bingung dengan perkataannya.
"Dulu mereka sering datang, tetapi tidak dengan sekarang. Dulu waktu saya masih hidup mereka mendekat. Namun, sekarang mereka menjauh."
"Ya begitulah kehidupan itu Hana. Jika kamu sudah dewasa kamu akan mengerti dengan apa yang saya katakan."
'Kakek' tak mau menyebutkan apa yang menyebabkan dia meninggal. Mungkin karena sakit. Aku tak melihat ada luka atau sesuatu yang di wajah maupun di tubuhnya.
"Sudah waktunya saya pergi Hana. Sampai jumpa lagi, ya."
'Kakek' tersebut langsung menghilang seperti asap tak berbekas. Aku bahkan tak tahu ke mana dia pergi. Aku hanya memandang ke depan melihat 'orang-orang' berlalu lalang tak tentu arah. Entahlah aku tak tahu apa yang sedang 'mereka' pikirkan.
Dari pembicaraan kakek itu aku memahami jika semua harus di syukuri dengan apapun keadaan kita dan selama orang yang kita sayangi masih hidup setidaknya kita harus menyayangi serta menghormati mereka. Semua akan sia- sia jika sudah terlambat. Benar, bukan?
*****
Sebelum benar-benar kami pergi meninggalkan tanah makam ini aku sempat ada yang berbisik di telingaku. Suaranya sangat menyedihkan. Itu suara wanita ya mungkin sekitar usia 30-an.
"Aku menyesal."
"Jangan seperti aku, Hana."
Saat aku menengok ke belakang tidak ada penampakannya hanya suara yang penuh penyesalan. Aku memang masih kecil waktu itu tapi jangan salah jika aku selalu mengenang suatu peristiwa yang benar-benar melekat dalam ingatanku hingga kini.
"Sampai jumpa lagi Hana. Suatu saat nanti kamu akan kembali kesini lagi."
Kakek itu datang dan berpamitan kepadaku, tetapi hanya suara saja tidak ada lagi wujudnya. Memang benar kata kakek itu jika beberapa tahun kemudian aku datang kembali kesini bukan untuk nyekar tapi kakek dan nenek yang meninggal.
"Ayo Hana pulang. Jangan menoleh ke belakang terus."
Mama menyuruhku jalan lebih cepat karena aku berjalan di belakang. Aku berjalan seperti itu karena ada dia di atas pohon yang melambaikan tangan kepadaku. Dia adalah wanita dengan pakaian adat China jaman dulu. Tersenyum getir dan menatapku dengan melambaikan tangannya sebelum masuk mobil meninggalkan tanah makam.
=Bersambung=
Informasi : Pak Toh dan Bu Tin adalah sepasang suami istri yang sudah meninggal. Mereka diperkirakan usia 60-an dan menjaga Hana dari tangan usil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interview With "Them" ( Update Tiap Saat )
ParanormalIni adalah sequel dari "Hana's Indigo" dengan sentuhan cerita yang berbeda. Namun tetap berdasarkan kisah nyata di dalamnya. Saya membuat cerita dengan dibumbui kisah lain yang tidak didapat di buku cetak dan benar-benar berbeda. Ini tentang kisah...