Part 4 Sang Pengantin

1.8K 385 29
                                    

Siapa bilang hantu pengantin itu tidak ada? Aku pernah melihatnya secara nyata bukan di dalam mimpi tentunya. Waktu itu aku baru pulang dari pelatihan sekolah. Sore pulang dan hampir jam enam sore.

Memang di sekelilingku banyak orang-orang yang berlalu lalang. Saat masuk menuju perumahan ada beberapa bapak-bapak dan istrinya mereka untuk pergi pengajian. Aku mengenal mereka karena bertetangga.

"Baru pulang, Mbak?" sapa salah satu ibu yang berada di tengah- tengah.

"Iya, Bu."

Aku menjawab ibu tersebut sambil melihat ada seorang wanita yang berjalan menunduk bergaun putih panjang. Bukan Mbak Kunti, ya. Pakaian mereka berbeda. Wanita itu memakai gaun putih tulang dan ada penutup kepalanya yang terpasang di rambut yang tersanggul. Aku mengenali gaun itu sebagai gaun pengantin. Bukan gaun pengantin yang sering dipakai ala barat yang bergelombang. Gaun yang dipakainya itu mirip long dress.

Nah aku kira dia itu salah satu anak dari ibu tersebut tapi anehnya dia hanya diam dan menunduk saat yang lainnya berbicara.

Aku tak memikirkan hal lain saat para bapak dan ibu mohon pamit karena acara pengajian. Aku menggangguk tapi ada yang aneh. Lah, kok, wanita itu masih berdiri di pinggir jalan padahal si bapak dan ibu tadi sudah naik angkot yang mengantarkan mereka.

Aku tak mau berurusan dengannya karena aku tahu dia bukan manusia saat aku melihat kedua kakinya yang tak menyentuh tanah. Aku memilih pergi dan pulang dengan langkah cepat.

*****

Besoknya hal itu terus berulang saat aku pulang dari pelatihan sekolah. Kali ini dia tidak menunduk tapi menatap lurus ke jalan raya. Rasanya aku penasaran jadi aku menghampirinya. Aku pura-pura sedang menunggu angkot.

Saat aku lihat wajahnya astaga aku menyesal telah menghampirinya. Karena sudah terlanjur terjadi akhirnya aku memberanikan diri.

"Kenapa tidak pergi?"

Aku dicuekin sama hantu wanita itu.

"Tempatmu bukan di sini."

Dia menoleh ke arahku, senyumannya menyeringai dan tatapan matanya seperti ada kepahitan. Sebagian wajah kanannya lebih tepatnya di bawah mata robek dan mengeluarkan darah terus. Perutnya terbelah. Duh aku jadi ingin muntah saat itu.

"Aku tak mau pergi."

Suaranya terkesan dingin dan tak bersahabat sama sekali.

"Aku sudah lama menunggunya."

"Menunggu siapa?" Aku penasaran dan ingin bertanya sebabnya dia meninggal.

Matanya kembali menatap lurus ke depan. Di depannya itu hanya sebuah rumah tak berpenghuni yang memang sudah lama memang tidak ada orang. Menurut para tetangga rumah itu kira- kira sudah hampir tahunan tidak ditempati.

"Menunggunya datang menjemputku."

Entahlah aku tak tahu yang dimaksud oleh dia siapa. Aku mau tak berlama-lama berdekatan dengan dirinya. Aku harus kembali ke kos karena hari sudah mulai malam. Kalau aku lama-lama di pinggir jalan tanpa menghentikan angkot nanti dipikir sedang menunggu seseorang atau gila.

Saat aku melangkah pergi. Tanganku disentuh olehnya. Rasanya dingin dan kulitku mati rasa. Matanya penuh dendam dan kebencian. Seketika itu juga aku tahu penyebabnya meninggal.

"Tubuhku ada di sana."

Dia menunjuk jalan yang ada di tengah. Dia korban kecelakaan saat sedang menuju acara pernikahan. Sang suami juga meninggal. Aku tidak tahu mengapa dia masih di sini padahal suaminya tidak ada di sampingnya.

"Pergilah tempatmu bukan di sini lagi."

Aku berusaha keras untuk pergi, tapi rasanya dia menahanku agar tidak pergi.

Asal kalian tahu saja kalau ada yang meninggal dalam keadaan menikah mereka akan menyimpan dendam, amarah dan kebencian bukan kepada yang membuat mereka celaka tapi juga kepada orang-orang lain.

"Aku tidak tahu mengapa kamu masih di sini tapi lebih baik kamu pergi jangan ganggu yang lainnya."

"Kebahagianku direnggut oleh mereka."

Sebenarnya aku merasa kasihan sama dia. Coba bayangkan di hari bahagia pernikahan dengan orang yang dia cintai tiba-tiba mengalami sesuatu yang membuat kebahagiaan terenggut.

Tatapan matanya penuh dendam, suaranya yang dingin dan bau darah yang terus mengucur dari gaunnya membuatku ingin segera mengakhiri sesi curhat ini. Lagi-lagi dia memalingkan wajahnya. Dia tersenyum menyeringai menandakan bahwa dia marah pada keadaan yang menimpanya.

Duh ... rasanya aku sungguh ingin cepat pergi dari hadapannya. Aku tahu dia tak mungkin bisa dibantu atau bicara lebih banyak lagi. Hatinya dipenuhi rasa sesal dan dendam yang sudah membuatnya tidak ingin pergi dari dunia ini.

Aku berdoa dalam hati agar bisa lepas darinya. Untung akhirnya dia melepasku. Dia melayang menuju jalan yang dipenuhi oleh mobil. Tentu saja tubuhnya menembus kendaraan.

Dia masih di sana terakhir kali sebelum aku pergi dari kos. Tiap kali aku lewat sana ( sebelum aku pindah, ya ) dia pasti menampakkan diri menatap orang-orang yang berjalan, menangis histeris seakan meratapi nasibnya. Bagi yang lain dia tidak terlihat, beda halnya dengan diriku yang selalu melihat di pinggir jalan. Hal yang sangat aku tak suka darinya adalah cara nya melihat orang-orang sedang jalan.

Kalian tahu cara orang menatap dengan mata penuh dendam, pekat dan gelap. Pokoknya menakutkan sekali. Auranya jika berdekatan dengan mereka yang meninggal sewaktu jadi pengantin itu sulit dilupakan. Dia memang tidak mengganggu atau jahil tapi jangan sekali - kali berdekatan jika kamu tidak mau kena marahnya.

"Jangan mendekati mereka lagi, Hana."

"Mereka yang meninggal dalam kondisi seperti itu ( Jadi pengantin ) akan selalu menyimpan kebencian dan penuh dendam."

"Mereka tidak menyukai orang yang bahagia."

Begitulah perkataan Felicia sang penjaga yang selalu memberitahuku.

Jadi hingga kini kalau aku bertemu penampakan seperti itu lagi aku memilih menghindar.

=Bersambung=

Ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya?

Terima kasih sudah memberi vote, komen ya kawan - kawan...

Interview With "Them"  ( Update Tiap Saat )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang