Tak seperti biasa sore itu aku lebih memilih naik ke lantai atas menggunakan lift. Karena ingin cepat sampai akhirnya kaki ini menginjakkan ke lift juga. Awal pertama masuk sudah tak nyaman sekali dan sendirian. Ada sesuatu yang tak tampak sedang memperhatikanku, tetapi aku tak bisa melihatnya.
"Kok dingin, ya?" Aku bergumam sendiri.
Lantai delapan adalah tempat yang aku tuju sedangkan aku masih berada di lantai lima. Ketika tombol lift menunjukkan angka enam menuju tujuh, aku merasakan sesuatu benturan seperti lift ini akan jatuh. Seketika lampu yang ada di atas redup hanya menyisakan cahaya sedikit
"Haha.... rasakan."
Terdengar ejekan dan tawaan dari seorang nenek yang berada di sampingku. Meskipun, aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Nenek tersebut memiliki wajah yang mengerikan. Wajahnya hancur tak terbentuk sama sekali. Mengapa aku bisa tahu? Karena nenek itu tepat berada di sampingku. Aku bisa mencium bau yang tak enak. Darah terus menetes terus dan aku bisa merasakan ada genangan darah yang menempel di mata kaki.
"Kamu tidak akan bisa keluar."
Nenek itu semakin menakutkan dengan tawanya yang melengking. Jemari ini berusaha menekan tombol angka depalan. Sial ternyata tidak bisa. Lift ini semakin dingin dan pengap. Kadang berhenti di angka enam dan tujuh. Kadang naik turun dengan cepat. Aku tahu ini permainan nenek yang tak tampak tersebut.
"Haha...."
Semakin aku ingin keluar dan menekan tombol si nenek itu semakin tertawa mengejek. Aku benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa. Di dalam sana diriku sudah sepuluh menit. Percuma juga aku menekan tombol darurat karena tak ada yang mendengar suaraku. Anehnya, di tiap tombol itu lampunya tak ikut mati.
"Tuhan, tolong aku. Aku takut."
Saking takutnya aku sampai doa saat itu juga. Udara yang pengap dan dingin membuat tubuh lemas. Mulutku menghanturkan doa sebelum menekan tombol angka delapan dan usahaku tak sia-sia. Awalnya aku hanya berdiam diri saja, berharap nenek itu melepaskanku dan ternyata tak berhasil. Salah satu jalan adalah melawan nenek itu dengan doa.
"Aku tahu temanmu yang satu bisa melihat juga. Awas nanti, ya."
Bersamaan dengan terbukanya pintu lift itu, si nenek kembali mengejek disertai ancaman. Aku benar-benar tidak tahu dari mana datangnya si nenek tersebut karena selama ini diriku jarang sekali menggunakan lift.
Saat aku sudah keluar dan menemui salah satu satpam untuk bertanya mengenai kejadian yang kualami.
"Pak, tadi liftnya mengalami gangguan. Saya tekan tombol darurat minta tolong. Bapak dengar?"
"Masa sih, Bu? Saya loh tidak dengar apapun. Kalau ada yang tekan tombol itu pasti nyala di sini," tunjuknya ke peralatan di meja.
Aku tak bisa berkata apapun lagi dan memilih kembali ke ruanganku. Belum lagi rasa takut hilang. Salah satu rekanku mengatakan hal yang mengejutkan.
"Lah ... kapan kamu kembalinya? Bukannya barusan kamu ada di sini?"
"Saya dari tadi terjebak di dalam lift, Bu. Tidak mungkin saya ada di sini."
"Benar ini, Hana! Aku tidak bohong. Kamu melewati aku tadi dan pamit mau pergi ke lantai bawah."
Kami sama-sama merinding mengingat kejadian kemarin itu dan tak bisa melupakannya hingga sekarang.
=Selesai=
Surabaya, 26 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Interview With "Them" ( Update Tiap Saat )
ParanormalIni adalah sequel dari "Hana's Indigo" dengan sentuhan cerita yang berbeda. Namun tetap berdasarkan kisah nyata di dalamnya. Saya membuat cerita dengan dibumbui kisah lain yang tidak didapat di buku cetak dan benar-benar berbeda. Ini tentang kisah...