-1-

556 65 9
                                    

Woojin menepi, meletakkan kotak gitar di atas beton setebal dua belas inci. Matanya memindai lalu-lalang manusia terburu yang seakan tiada esok hari. Melirik lingkar arloji di tangan kiri, mengumpat pelan pada Kim Jaehwan yang belum juga menampakkan diri.

Helaan bosan ia lakukan sudah delapan belas kali dalam sepuluh menit terakhir. Kemudian membongkar kotak gitar, mengabaikan angin dingin yang menyisir.

Lengannya memeluk gitar hadiah seniornya yang hobi terlambat itu, mulai memetik. Membuat pasang mata gelombang manusia melirik.

Tidak, ia tidak siapkan sesuatu seperti mangkuk ataupun membiarkan kotak gitarnya terbuka. Ia tidak ingin busking, hanya bermain-main sebentar sembari menghabiskan masa. Memainkan melodi yang dewasa ini memenuhi kepala. Melantun baris kata, sebuah lagu lama.

Satu, tiga, enam, delapan atau sembilan eksistensi mengerubungi. Dengan bibir menggumam, menyelaraskan bunyi. Woojin masih fokus pada senar yang dipetik jemari. Sesekali pejamkan mata mencoba tak peduli. Meski sedikit berdebar, dilihati.

Kelopaknya terbuka seiring lagu yang telah tamat. Genjreng terakhir menyisakan sepat. Alis bertaut mendapati kerling familiar menatapnya lekat. Lalu menyipit, coba menerka rupa siapa dibalik helai kain hitam yang melekat.

Dahi berkerut memaksa ingat. Menggali memori, menyingkirkan hal tidak perlu yang berkelebat. Mencocokkan profil dengan si pria berhelai coklat. Namun fokusnya seketika buyar ketika tepukan bahu ia dapat.

Yang ditunggunya datang membawa sosok beruang besar, temannya yang lain. Dengus pelan dilakukan menimpali cengiran yang lebarnya bukan main. Abai lalu kembali memetik, memilih bisu layaknya Chaplin.

Detik berikutnya leher berotasi, mencari sosok tinggi berbalut kemeja satin. Yang sayangnya kini hilang dibawa angin.

rhymed [pancham]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang