-12-

92 11 0
                                    

Makin ke sudut kau sembunyikan bayang. Menghindar dari lampu jalan yang berpendar remang. Sesekali decit karet alas kaki bertemu beton jalanan menyapa gendang. Memancing manikmu mencuri pandang.

Dua jam sudah kaki kau paksa berdiri. Mati rasa sudah seperti makanan sehari-hari. Di balik rindang yang hijau asri. Mengukir senyum miris mendapati janji yang kembali diingkari.

Inginnya pergi. Namun kaki sudah seperti dipaku mati, lemas kehilangan energi. Mata menerawang jauh ke ujung jalan, tekadmu sedikit lagi.

Hela napas adalah satu hal yang bisa kamu lakukan. Tidak tahu lagi apa yang pria itu inginkan. Sendiri buat janji, sendiri ia lupakan. Kamu tahu pasti jika begini, pulang adalah solusi paling memungkinkan. Karena esok pagi sekali ia akan datang dengan semangkuk sarapan dan tingkah manis meminta dimaafkan.

Jalan pulang jauh lebih sepi. Hanya gelintir pelajar yang terburu pulang dengan gerutu melengkapi. Warung makan tutup, hanya tersisa beberapa kedai kopi. Jelas gelap malam sudah cukup tua untuk menjemput mimpi.

Denting kunci pintu menggema dalam ruangan. Televisinya menyala, ia terheran. Langkah ia ayun pelan, sedikit takut unitnya dimasuki eksistensi yang bukan-bukan. Segera ia genggam payung di tangan kanan dan ponsel dengan sambungan cepat di tangan kiri untuk cadangan.

Kakinya berjingkat. Sangat ringan hingga tak terdengar derit berlebih yang menyengat.

"Lin sedang apa?"

Terlonjak ia kebelakang. Salahkan tetangganya yang tiba-tiba berdiri di sampingnya dengan tenang. Tangannya terlipat di depan dada, menyangga sestoples kacang. Maniknya yang gelap menelisik Guanlin yang hampir saja terjengkang. Detik kemudian pecahlah nyaring tawanya yang riang.

"Ish bikin kaget saja. Nanti kalau aku jatuh bagaimana? Kebiasaan deh masuk rumah orang seenaknya."

Menegakkan badan, bibirnya mencebik kesal. Woojin masih asyik tertawa di atas penderitaan tetangganya yang kembali memasang raut sedatar aspal. Delik yang Woojin dapat tidak ia pedulikan, lagipula bukan sehari dua hari mereka kenal. Barang tentu Woojin sudah kebal.

"Jihoon nggak datang lagi?"

Guanlin tak indahkan. Sibuk dia menyambung ponsel dengan pengisi daya di sudut ruangan. Si Park ambil tempat di sofa kulit milik tiang Taiwan. Menepuk sisinya meminta anak itu duduk berbarengan. Yang dituruti Guanlin detik kemudian.

"Besok pasti dia muncul lagi pagi-pagi. Kamu nggak capek Lin?"

Yang lebih muda menghela napas keras-keras. Cukup untuk mengingatkan Woojin jika ia hampir melewati batas. Memang tak harusnya dia ikut campur namun tidak tega ia lihat tetangganya ini banyak hela napas.

"Mau coba denganku tidak?"

































Rima dan pilihan katanya tak terlalu bagus, tapi cepat saja ku bungkus
Takut malah terabai atau terhapus

rhymed [pancham]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang