Hari-hari Nami tak sepenuhnya seperti di neraka. Sekuat tenaga ia berusaha agar tak terlihat dan menggangu cowok seram di sampingnya.
Zelan, cowok itu benar-benar hanya diam saja seperti patung batu di dalam kelas, ada atau tak ada guru. Nami merasa sedikit aneh, walau juga bersyukur Zelan tak seperti bayangannya. Ia kira pemuda itu suka cari masalah. Ternyata jika kita tak mencari masalah duluan, ia akan anteng saja di tempatnya.
Selama satu semester di sekolah ini, Nami tak banyak tahu tentang Zelan. Ia pernah dengar beberapa kasus yang sempat heboh akibat ulahnya, tapi tak terlalu ia pedulikan. Jadi ia sama sekali tak menyangka kalau Zelan ternyata sependiam ini dan tak punya teman.
Nami serius, sudah tiga minggu mereka menjadi teman semeja, tapi tak sekali pun Nami melihat ia berbicara dengan seseorang---sebagai teman.
Jika jam istirahat Zelan akan menghabiskan waktu dengan pacarnya di kantin, dan kemudian... Zelan akan balik ke kelas dan duduk layaknya patung batu kembali.
Sedatar itukah hidupnya? Lalu bagaimana dengan berita tentang kejahatannya selama ini? Jujur Nami mulai penasaran dengan laki-laki itu. Namun ia tahu itu bukanlah hal baik. Zelan adalah sumber masalah. Masalah itu tak perlu dicari, karena tanpa dicari pun pasti akan datang sendiri.
Nami kembali dapat buku baru. Kali ini tentang "Borderline Personality Disorder". Ia terlalu asik membaca buku itu sampai tak sadar sepasang mata terus memerhatikannya sedari tadi.
Nami menoleh dan langsung gelagapan karena Zelan tengah menatapnya intens.
"Ngapain lo baca buku kayak gitu?" tanyanya ketus, sorot mata Zelan yang tajam membuat Nami merasa sangat terintimidasi. Bahkan gadis itu sudah berasumsi berlebihan dalam hati kalau sekarang ia tengah dibuli. Padahal Zelan tak ada niat buruk. Ia benar-benar hanya ingin bertanya.
"Cuma pengen aja," cicit Nami dengan jantung bertalu hebat.
"Pengen? Lo pengen punya gangguan kepribadian?"
"Ha?" Nami terperangah. Jelas bukan itu maksudnya. Kenapa orang genius seperti Zelan malah berpikiran sesempit dan setidakmasuk akal itu. "Cuma pengen baca. Ya gak mungkinlah gue pengen punya gangguan kayak gitu."
"Oh." Wajah pemuda itu tampak sedih.
Ada apa?
Sedetik kemudian Zelan kembali menjadi patung batu.
Nami jadi tak tenang. Apa maksud semua itu. Sebelumnya Nami juga membawa dan membaca buku lain, tapi Zelan tak pernah peduli. Kali ini saat ia membaca mengenai BPD, laki-laki itu malah terlihat tertarik dengan bacaannya.
"Apa dia ngidap gangguan itu?" batin Nami.
Jika dilihat dari sifatnya, menurut analisa Nami, Zelan cenderung anti sosial. Tak punya rasa empati; menganggap orang-orang sebagai musuh; sering melanggar aturan; tak bermoral. Nami yakin sekali Patung Batu itu tak pernah merasa bersalah akan semua tindakannya yang mengganggu.
Atau lebih parah lagi, Zelan itu psikopat..., tapi psikopat tak punya perasaan cinta. Ah, mungkin saja dia hanya pura-pura. Psikopat itu manipulatif dan pandai bersandiwara. Namun, jika ia berpura-pura punya rasa cinta untuk menutupi jati diri, kenapa ia tak juga bersandiwara sebagai orang yang ramah. Bukankah biasanya mereka seperti itu. Memiliki pesona yang memikat dan kemampuan berbicara yang baik. Namun dibalik sifat baiknya mereka adalah makhluk berdarah dingin.
Aneh jika Zelan patung-batu-super-seram-yang-datar-dan-irit-bicara mengalami gangguan BPD. Maksud Nami, laki-laki itu jarang menunjukkan emosinya. Selalunya ia datar saja, berbeda jauh dengan pengidap gangguan BPD
Ah, Nami menggelengkan kepalanya. Bisa-bisanya ia memikirkan hal yang bukan urusannya begitu. Tak penting, itu tak penting. Mau Zelan menderita Skizofrenia atau suka ayan dengan mulut berbusa-busa juga terserah. Bukan urusannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence (Tamat)
Teen FictionLENGKAP DI NOVELTOON Peddie High School Series #1 Pada umur yang sangat muda, Zelan melihat sendiri orang yang sangat disayanginya terjatuh dari ketinggian tepat di depan matanya. Tubuh orang itu remuk dan mengeluarkan banyak darah dari sela-sela ku...