Mereka berhenti di sebuah toko dan Zelan langsung membawa Nami ke dalamnya.
Mata gadis itu membulat, menatap penuh minat gaun-gaun cantik di tempat itu.
Ini gak mungkin kayak di novel-novel teenlit kan'? Zelan gak mungkin mau bawa gue ke pesta, dan saat ini, gue mau di-make over biar serupa sama putri raja. Omaygad. Gak mungkin kisah gue seindah itu.
Saat Nami tengah asik membayangkan hal yang bukan-bukan, Zelan pergi meja kasir dan mengambil pesanannya. Lalu kembali mendatangi Nami yang masih berada di alam pikiran.
"Kok bengong? Lo mau beli baju?"
Ia tersentak. "Gaklah. Kaum duafa kayak gue mana pantes belanja di sini," jawab Nami merendah.
"Ya bener juga. Ya udah, ayok!" ajak Zelan datar.
"Ngapain?"
"Ya pergilah. Mau ngapain lo terus di sini?"
Eh?
Zelan sudah berjalan menuju pintu.
Ya, gak mungkin memang kisah gue seindah itu.
Apa yang dipikirkannya tadi. Walau terus menyangkal tak mungkin. Namun, dalam hati dia sedikit berharap. Siapa sih yang tidak mau jadi putri semalam. Apalagi orang pinggiran sepertinya.
Perjalanan mereka kembali dilanjutkan. Pemuda itu tak mau memberi tahu ke mana mereka akan pergi, dan tentang keluarganya, Zelan sudah meminta izin pada ibunya Nami.
Nami juga heran sejak kapan ibunya kontak-kontakan dengan anak seram ini. Ia saja tak punya kontak Zelan, tapi ibunya... benar-benar.
Motor Zelan berhenti sejenak di depan sebuah gerbang besar, lalu saat dibuka, ia kembali melajukan motornya dengan kecepatan lebih pelan. Nami mendengar Zelan mendesah tadi, bukti bahwa pemuda itu malas mengunjungi tempat ini.
Nami bingung ia mau dibawa ke mana, ia kira sebuah rumah atau apa, tapi tak melihat rumah setelah mereka melewati gerbang tadi.
Pikiran Nami mulai berkelakar ke hal-hal buruk. Seperti penculikan..., tapi keluarganya tak sekaya itu untuk bisa membayar tebusan besar. Orang merana seperti dia tak akan dipilih untuk alasan seperti itu. Lalu, apa perdagangan manusia. Tapi buat apa Zelan permisi dulu sama ibunya. Pemerkosaan? Dia buluk, mana mau Zelan.
Terus apa dong?
Akhirnya semuanya sirna saat mereka berhenti secara sembarangan di depan teras sebuah rumah yang... begitulah---tak pantas lagi disebut rumah. Tapi Nami tak pernah mendengar ada di istana di sekitar lingkungan ini, yang berarti itu adalah rumah.
"Rumah siapa ini?"
"Rumah Bu Yati!"
"Ha?" Nami terpekik kaget. Pasalnya Bu Yati itu salah satu clening service yang terkenal di Peddie---terkenal akan kesusahannya. Sering sekali ibu itu mengoceh tak jelas pada siapa saja yang lewat tentang sulitnya hidup ini. Sembako-lah, SPP kelima anak-anaknya-lah, suaminya kena begal-lah, dan lain-lain. Padahal tak dipedulikan, tapi tetap saja tak berhenti bicara.
"Hahaha," Nami melanjutkan. "Gak mungkin."
Tanpa menjawab, Zelan langsung pergi dan meninggalkan dirinya.
"Eh, tunggu!" Sambil mendengus kesal Nami mengikuti saja langkah laki-laki menyebalkan itu. Ia tak mau ditinggal sendirian. Apalagi dengan orang-orang berseragam hitam seperti algojo yang berdiri siaga di beberapa tempat tertentu.
Pintu dibuka. Zelan masuk diiringi Nami di belakangnya---yang mirip seperti dayang yang mengikuti tuannya ke mana pun pergi. Di dalam, terdapat beberapa wanita berbaju pelayanan yang langsung membungkuk saat mereka masuk.
"Selamat datang, Tuan Muda. Tuan dan Nyonya beserta adik Anda sudah menunggu di dalam," sapa seseorang yang tampak paling tua. Haha, Nami tak bohong. Perempuan itu memang terlihat memiliki lebih banyak kerutan di banding yang lain.
Zelan tak membalas, hanya melenggang angkuh melewati mereka semua.
Nami tersenyum dan membungkuk sedikit ke pelayan tadi---sebagai sopan santun semata. Lalu, melihat ke beberapa pelayan lain yang menatapnya heran.
Bingung ya, Zelan dapet cewek dekil gini dari lingkungan kumuh mana?
Mata Nami jelalatan ke mana-mana. Persis seperti orang norak yang tak mengenal peradaban modern. Namun, sebisa mungkin ia menahan mulutnya untuk tak berdecak kagum dan melongo seperti orang longor. Jaga image sedikit.
Nami tak tahu ruangan apa yang ia lewati tadi. Mungkin ruang tamu, tapi rumah seperti ini bisa saja memilik sepuluh ruang yang disebut "ruang tamu". Yang jelas, tempat ini luar biasa. Ia yang hanya pernah punya teman dari kalangan menengah ke bawah saja, tentu tak pernah datang ke tempat seperti ini. Kenyataan itu, seketika membuat Nami ingin bergabung bersama pelayan-pelayan tadi saja. Rasanya tempat ini terlalu jelita untuk makhluk nista sepertinya. Ia juga takut bau badannya bisa mengganggu aroma dari pengharum ruangan tempat ini.
Setelah menempuh perjalanan dengan jarak, yang dirasa, bermil-mil jauhnya, mereka masuk ke sebuah ruang makan.
Di sana, di sebuah meja makan panjang, dua orang laki-laki dan seorang perempuan, tengah duduk saat Zelan dan Nami datang.
"Kau sudah datang. Kami semua menunggumu," ucap seorang wanita yang tampak cantik dengan dress berwarna coklat madu. Sedangkan dua laki-laki lain langsung membuang pandang dan tak bersusah payah untuk basa-basi.
Gerakan kaki Nami terhenti, tak yakin apa ia harus terus ikut dengan Zelan. Namun pemuda itu berbalik dan menarik tangannya saat ia tahu Nami tak mengikuti.
Zelan membawanya ke meja makan, dan bertingkah seperti seorang gentleman dengan menarik sebuah kursi. Nami mendaratkan bokongnya dan perlahan Zelan mendorong kembali kursi, lalu ia sendiri duduk di sebelah Nami.
"Kenapa kalian berdua masih pakai seragam sekolah?" tanya wanita itu lagi dengan sikap anggun yang membuat Nami terpesona.
"Dia baru pulang bimbel. Gak sempat cari baju," jawab Zelan jutek.
Nami ingin menggetok kepala Zelan yang berbicara dengan nada tak sopan. Jika dilihat dari situasinya saat ini, mereka bertiga pastilah keluarganya Zelan. Wanita itu ibunya, lalu dua laki-laki tadi adalah ayah dan adik laki-lakinya. Soal adik Zelan, Nami sudah tahu dari gosip yang beredar, meski belum pernah melihat langsung wajahnya. Liam Kalandra Davies, ia hanya beda setahun dengan Zelan.
Tapi tunggu sebentar..., jika ini keluarga Zelan dan ini juga rumahnya. Yang di tempati Zelan beberapa hari lalu rumah siapa? Ah, kenapa harus heran. Orang dengan rumah sebesar ini pasti punya rumah-rumah lain yang bertebaran di mana-mana. Tak aneh jika anak-anaknya punya satu, dua, tiga, empat rumah atau apartemen masing-masing. Iya, tak aneh. Nami saja yang kampungan. Namun, rumah bergaya nenek-nenek itu tak cocok dengan image Zelan. Berarti rumah neneknya.
Astaga Nami-Nami, hal begitu saja kok dipikirkan sih.
***
Zelan Kalandra Davies
Zelan: Badai sial! Rambut gua berdiri semua itu😬
______________
Next part ada si Nami😉
Jumat, 12 April 2019
MinH-_-
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence (Tamat)
Teen FictionLENGKAP DI NOVELTOON Peddie High School Series #1 Pada umur yang sangat muda, Zelan melihat sendiri orang yang sangat disayanginya terjatuh dari ketinggian tepat di depan matanya. Tubuh orang itu remuk dan mengeluarkan banyak darah dari sela-sela ku...