Nami baru saja keluar dari kelas setelah selesai mengikuti kelas tambahan, saat dilihatnya Dio berjalan bersama Vivian menuju ke lantai tiga. Ia penasaran. Nami tak pernah melihat Dio bersama Vivian sebelumnya.
Pikiran buruk pun tanpa diminta membanjiri kepala gadis itu. Beberapa hari lalu, Clarissa menuduh Nami sebagai orang ketiga dalam kandasnya hubungan cinta Zelan dan Vivian.
Apakah yang sebenarnya? Ah, tak boleh su'udzon dulu.
"Gue ke toilet dulu ya, Clar!"
"Gue temenin."
"Gak usah! Lo ke shop aja dulu, katanya mau beli cemilan buat nanti dimakan sebelum les," dengan cepat Nami menolak ajakan Clarissa. "Udah ya, udah gak tahan." Buru-buru Nami berlari pergi.
Saat sudah agak jauh, gadis itu menoleh ke belakang---memastikan apakah Clarissa memperhatikan dirinya. Setelah dilihatnya Clarissa berjalan terus, gadis itu kembali lagi menuju tangga.
Nami menyapukan pandangannya mencari kedua orang itu. Koridor lantai tiga sepi. Mungkin karena orang-orang sibuk di ruang club-nya masing-masing. Ruang kelas hanya ada di lantai satu dan dua.
Sampai ia tiba di depan ruang club modeling, langkah Nami melambat, pintu ruangan itu sedikit terbuka.
Di celah pintu yang sempit, Nami dapat melihat Dio dan Vivian.
"Kalo kamu sadar dia aneh, kenapa baru sekarang? Dari dulu dia memang udah sakit."
"Ya, aku cuma mau berusaha jadi kekuatan dia aja. Tapi aku gak kuat. Dia buat aku muak sama sifatnya lama-lama."
Otak Nami berputar, mereka lagi membicarakan Zelan. Kalau begitu, Dio sudah lama kenal Zelan dan Vivian. Ah, untunglah Nami tak bodoh urusan begini.
"Jadi... kamu beneran udah gak ada hubungan apa-apa lagi sama dia?" Dio menatap gadis itu intens.
Nami meneguk ludah. Entah mengapa tangannya gemetaran dan ia deg-degan hebat. Rasanya takut akan hal-hal yang akan terjadi selanjutnya.
"Iya."
"Kalo gitu...."
"Shuttt...." Vivian meletakkan telunjuknya di bibir Dio dan mengusap benda itu lembut. "Kita sahabat dan selamanya akan jadi sahabat."
"Tapi Zelan...."
"Zelan apa?"
"Kamu terima dia sebagai pacar kamu, padahal waktu itu aku duluan yang nyatain perasaan ke kamu." Dio terdengar frustrasi, dan Nami lebih frustrasi lagi mendengarnya. "Kamu masih mau bilang cuma nganggap aku sahabat?"
Nada pilu di suara Dio lagi-lagi terasa mengiris dada Nami, perih dan sesak. Jelas ini membuktikan ia bukan siapa-siapa bagi laki-laki itu. Dia lagi-lagi ge-er sendiri. Ia tahu hal ini mungkin akan terjadi, tapi tetap saja ia tak terbiasa.
Namun sesaat setelah itu, matanya bertemu dengan netra bulat milik Vivian. Hanya sekilas karena perempuan itu langsung menatap Dio kembali.
"Kita memang cuma sahabat, tapi aku sayang banget sama kamu." Selanjutnya, pertahanan diri Nami hancur, saat bibir merah Vivian bertemu dengan milik laki-laki yang disukainya.
Otaknya beku, sampai beberapa detik ke depan ia terdiam seperti orang dungu di depan pintu.
"Amanda!" sebuah seruan menyadarkan Nami kembali. Ia gelagapan mencari sumber suara. Namun memilih pergi saat ia melihat Dio datang menghampirinya.
"Amanda!" Suara teriakan tak membuat ia menghentikan langkahnya. Nami sendiri tak tahu kenapa ia kabur begini. Hanya saja, ia merasa tak akan sanggup jika harus bertatap muka dengan Dio sekarang.
Langkahnya semakin cepat, napasnya memburu hebat bersamaan detak jantung yang tak normal di tempatnya.
Ada sesuatu yang berusaha membebaskan diri keluar dari pelupuk matanya. Benda itu sedari tadi terus meronta ingin mendobrak batasan yang dimiliki Nami. Namun tak akan ia biarkan cairan jelek itu membuatnya terlihat lemah.
Sakit hati pada laki-laki yang bukan siapa-siapamu. Huh, benar-benar memalukan. Ia gadis yang tak tahu malu. Suka sendiri, patah hati pun sendiri.
***
Nami sudah di luar gedung sekolah. Ia bahkan melupakan Clarissa yang entah ada di mana. Ia juga lupa kalau harus pergi bimbel.
Sebuah tarikan pada tas punggungnya menghentikan langkah Nami. "Lo mau ke mana buru-buru gitu?"
Gadis itu mendengus. Saat ditanya begini, baru ia ingat akan pergi bimbingan belajar. "Mau les."
"Sendiri? Mana temen lo itu?" Zelan tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Marissa atau Marina ya namanya?"
"Clarissa! Dia... oh iya." Mata gadis itu melebar. "Clarissa mana?" Nami langsung panik saat sadar lupa akan sahabat baiknya.
"AMANDA NAMIRA... LO MAU NINGGALIN GUA, HUH? DIPANGGIL-PANGGIL GAK NYAUT MALAH KAYAK ORANG BARU NGELIAT SETAN GITU JALANNYA." Suara seseorang yang baru keluar dari gedung sekolah mengalihkan perhatian mereka berdua. Ada Lampir bertanduk yang sedang menuju ke arah Zelan dan Nami.
"Gila, tuh cewek suaranya bisa buat bangunin orang mati."
Nami tak menggubris ucapan Zelan.
"Eh, tungkik, dipanggil-panggil gak denger, malah nyelonong pergi aja."
"Ya karena gak dengar makanya nyelonong aja. Kalo denger 'kan gak gitu," Nami memberi pembelaan meski malas.
"Terserahlah. Ya udah, ayo pergi! Nanti gue gak sempat makanan cemilan gue yang enak-enak ini" Tangan Nami ditarik paksa.
"Eh." Zelan menarik tangan Nami yang satunya. "Apa-apaan lo narik-narik dia gitu?" Zelan terlihat siap tempur dengan wajahnya yang mengeras.
Clarissa tak mau kalah. Matanya menatap Zelan tajam. Gadis ini memang tak pernah takut akan apa pun. "Lo yang ngapain narik-narik tangan sahabat gue? Lo sapanya emang?" bentaknya.
Huh, situasi macam apa ini? Rasanya perut Nami mual diperebutkan begini. Bukannya adegan yang seperti ini biasanya romantis ya? Tapi kenapa Nami merasa jijik?
"Gue...," kata-kata Zelan terhenti, "gue temen semejanya."
Sontak jawaban lugu pemuda itu membuat Clarissa tertawa. Ia memang sengaja memancing Zelan untuk mengatakan apa yang ingin didengarnya, tapi malah jawaban konyol yang ia dapat.
"Udah-udah!" Nami melepas genggaman dua orang bersifat kekanak-kanakan di kanan-kirinya. "Kalian apa-apaan sih? Gue mau pergi les, lo mau apa?" Kini Nami menghadap Zelan.
Pemuda itu tampak berpikir sejenak. "Gak ada." Kemudian pergi begitu saja.
"Aneh!" gumam Nami.
***
Nami memandang kesal orang yang ada di parkiran tempat bimbel-nya. Katanya tadi tidak ada yang mau dibicarakan, tapi sekarang kenapa ada di sini. Bahkan pemuda itu masih mengenakan pakaian sekolah.
Ya Tuhan, apa Zelan menunggunya sedari tadi? Sejak pulang sekolah?
"Apa?"
"Naik!"
"Ha?"
"Gak usah banyak protes, naik!"
"Bentar, lo... nungguin gue dari tadi?"
"Iya," jawab Zelan lugas. "Makanya cepet naik. Gue udah nungguin lo selama 106 menit di sini."
Kaget, Nami hendak bertanya lagi, tapi Zelan langsung menarik tangannya, mengarahkan gadis itu untuk duduk di boncengan motornya.
"Cepet!"
"Gu...."
"NAIK!"
"Oke."
***
Nami: lemah-lemah-lemah 😣
Vomment ya genks jika berkenan!
Rabu, 3 April 2019
Rabu, 10 April 2019 (Publish)Love my dear readers 😘
MinH-_-
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence (Tamat)
Подростковая литератураLENGKAP DI NOVELTOON Peddie High School Series #1 Pada umur yang sangat muda, Zelan melihat sendiri orang yang sangat disayanginya terjatuh dari ketinggian tepat di depan matanya. Tubuh orang itu remuk dan mengeluarkan banyak darah dari sela-sela ku...