8. Drama

150 24 4
                                    

Kemarin Zelan pulang setelah seseorang menjemputnya. Ia sendiri tak paham. Pemuda itu mengira ia tak akan baik-baik saja setelah putus dengan Vivian. Tapi nyatanya, ia tak seputus asa hari itu. Meski ada perasaan yang hancur, ia tak sampai depresi dan mencoba melakukan hal-hal merugikan.

Entah apa yang membuatnya begitu, Zelan tak tahu. Satu yang laki-laki itu tahu adalah... keluarga Nami hangat. Walau sangat mengganggu tapi Zelan merasa diperhatikan.

"Jadi gimana?" suara keras seorang gadis menyentak Zelan ke dunia nyata. Itu Clarissa.

"Iya udah, Romeo dan Juliet aja. Tragis, gue suka," seorang perempuan bertubuh bongsor membalas.

Zelan benci ini. Sedari tadi mereka---kecuali Zelan---membahas drama apa yang akan mereka mainkan. Ini merupakan tugas bahasa Indonesia yang menurutnya sangat tak penting.

Zelan terus melamun tak memedulikan ucapan orang-orang satu kelompoknya. Namun netra pemuda itu berhenti beberapa saat pada seorang gadis, yang tengah memerhatikan dengan serius seorang gadis lain yang tengah berbicara.

Ia memerhatikan wajah gadis itu. Dahinya---lebar, lalu turun ke alis dan mata hitamnya. Saat ia terhenti di sana, gadis itu tersenyum. Sudut matanya menyipit, garis di ujung mata si gadis menambah panjang bentuk matanya, menciptakan lengkung cantik yang tampak memesona. Walau sayang agak terhalang oleh bingkai kacamata yang dipakainya.

Zelan melengos. Tak suka melihat gadis aneh itu yang kelihatan cantik. Apalagi pikiran untuk menyingkirkan benda konyol yang terlihat mengganggu di wajah Nami. Namun beberapa saat kemudian, ia kembali curi-curi pandang ke arahnya.

Kali ini Zelan memerhatikan hidung si gadis yang cukup mancung, lalu turun ke bibirnya yang penuh dan agak pucat.

"Apa dia sakit?" ia membatin. Kemudian matanya menyapu mahkota hitam gadis itu. Zelan baru sadar, rambut Nami sangat indah. Jika digerai rambut gadis itu mungkin hampir mencapai pinggang; gelap seperti langit malam tanpa bulan dan bintang; lebat dan lurus tak bergelombang. Ya, memang tak jarang Nami mendengar komentar ia cocok jadi bintang sampo Lifebuoy.

Zelan menimbang-nimbang, sepertinya akan cocok kalau Nami punya poni depan. Ia sudah membayangkan bagaimana poni itu menggantung menutupi dahi Nami. Cantik.

Tanpa sadar Zelan sudah menarik sudut bibirnya. Ia tersenyum simpul memandangi objek penglihatan matanya.

Sewaktu orang yang diperhatikan menunjukkan tanda-tanda akan melihat ke arahnya, buru-buru Zelan melihat ke tempat lain. Dan betapa tidak beruntungnya dia karena objek baru itu adalah tong sampah.

Sungguh pemandangan yang tak indah.

"Jadi udah sepakat ya!" ucap Clarissa. "Kita pilih Romeo dan Juliet. Naskahnya pakai naskah punya Rechel. Bersyukurlah kita gak perlu buat-buat naskah lagi karena ada penulis hebat di kelompok ini." Gadis itu berkedip pada Rechel, yang memang punya ketertarikan lebih dalam bidang menulis, dan naskah itu sudah ia buat sehari setelah buku paket di bagikan. Benar-benar luar biasa gadis itu rajinnya.

"Jadi sekarang kita undi untuk nentuin pemerannya. Biar seru!" cengir Clarissa, kemudian mulai menulis nama-nama pemeran dalam naskah milik Rechel, lalu memasukkan kertas yang sudah digulung kecil itu ke dalam gelas air mineral kemasan---sudah kosong tentunya.

Clarissa mengocok gelas itu sedikit berutal setelah menulis semua peran, lalu mempersilakan masing-masing orang mengambil satu gulungan.

"Oke kita buka ya!"

Namun Zelan sudah membukanya duluan. Semua orang hanya diam. Tak berani menyuarakan pendapat mereka, serta penasaran dengan peran yang didapat pemuda itu.

Limerence (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang