1. First Day School

338 39 2
                                    

Padahal ini baru hari pertama masuk sekolah, tapi orang yang paling ditakuti di SMA Peddie (bukan guru BP atau kepala sekolah) sudah bikin ulah yang membuat anak-anak baru---maupun murid bau tanah dan minta segera didepak---tidak tenang untuk sekadar mengisi persediaan udara paru-paru mereka.

Seorang gadis mendekati kerumunan yang diisi sekitar dua puluh orang. Namun kemudian ia sadari, bahwa kerumunan itu semakin banyak setiap saatnya.

"Ampun Kak, gue gak senga...." Suara itu hilang digantikan dengan bunyi sesuatu mengentak air.

"Zelan gila banget ya, padahal anak baru itu cuma ngeliat ceweknya doang," bisik seorang cewek berambut bergelombang.

Zelan? Huh, sudah jelas, siapa lagi memangnya pemecah rekor sebagai bully nomor wahid di sini?

"Dia 'kan memang gila. Tuh anak baru juga kayaknya gak sengaja ngeliat ke Vivi...."

Tak terdengar lagi suara pembelaan anak malang itu. Mungkin saja sekarang kepalanya sedang dimasukkan ke dalam toilet oleh Zelan, lalu diangkat dan kemudian dimasukkan kembali. Soalnya hanya terdengar bunyi gelembung-gelembung yang seperti berasal dari napas anak malang tersebut dari dalam air. Uh, membayangkan wajah dan mulutnya masuk ke dalam benda yang menjijikkan itu, sejenak membuat perut gadis dengan kacamata bingkai hitam itu mual. Rasanya ayam goreng yang menjadi sarapannya tadi meronta-ronta minta dikeluarkan. Haruskah ia masuk ke dalam lalu memuntahi si bully itu agar berhenti merundung murid lain? Jika ia ingin selepas ini diikat pada sebuah tiang lalu dibakar dengan tumpukan-tumpukan kayu, boleh sih dicoba. Sayangnya, tidak. Orang gila mana yang mau memasukkan diri sendiri ke dalam mulut singa kelaparan?

Lalu, agak jauh dari pintu toilet, terpisah dari kerumunan, seorang gadis cantik dengan mata besar, hidung kecil dan mancung, bibir tipis merekah, rambut bergelombang yang di-ombre cokelat, serta kulit seputih pualam, tengah berdiri sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tampak tak terganggu sama sekali dengan keributan di dalam bilik toilet. Gadis itu, Vivian Hendarman, gadis tercantik sekaligus pacar dari Zelan.

Semua orang di sekolah ini tahu, ada sebuah peraturan tak tertulis yang harus dipatuhi setiap murid: Jangan Buat Masalah dengan Seorang Zelan. Sangat disarankan bagi orang-orang yang ingin hidup damai di sekolah ini agar: berjalan dengan radius minimal tiga meter dari Zelan dan pacarnya; jangan tatap Zelan, begitu pun pacarnya; jangan bicara padanya jika tidak kepepet; disarankan agar selalu waspada karena akan sangat fatal akibatnya jika kau ketahuan sedang bergunjing tentang dia atau Vivian; dan jika bisa, belilah jubah menghilang Harry Potter supaya tak terlihat---itu akan sangat membantu. Oke, yang terakhir memang melantur. Namun banyak sekali siswa/i di Peddie High School yang memberi wejangan tersebut ke adik kelas mereka. Meskipun Zelan juga akan mendapat hukuman dari guru atas perbuatannya, tapi itu tak akan sebanding dengan yang kau terima. Ia akan menghajar kembali orang yang melaporkannya di luar kompleks sekolah. Jadi, memang lebih baik untuk mematuhi wejangan para tetua.

Laki-laki itu memang tak suka ada yang memerhatikannya, tapi saat ia memberi hukuman ke murid lain, Zelan akan membiarkan banyak orang untuk menonton aksinya. Agar kedepannya tak ada lagi yang mencari gara-gara dengan dia.

Tak berapa lama Zelan keluar dari toilet cowok. Wajah sangarnya dipertegas dengan kerutan dalam pada dahi dan matanya yang mencorong tajam. Ia melirik ke arah gadisnya dengan tatapan yang seketika berubah lembut.

"Ayo!" ajaknya dengan suara rendah, lalu menggenggam erat tangan Vivian begitu gadis itu menghampirinya.

Wajah Vivian tampak polos tak bercela. Dengan suaranya yang terdengar manja ia bertanya pada Zelan, "Kamu apain aja dia?"

"Bukan apa-apa," sahutnya, lantas membawa Vivian melewati kerumunan.

Semua orang membuka jalan untuk mereka---mirip para pelayan yang melipir dan menunduk hormat pada tuan dan nyonya mereka. Begitu pula gadis berkacamata itu, punggungnya merapat ke tembok saat orang-orang menyingkir dari jalan yang akan dilalui laki-laki itu dan gadisnya. Wajahnya menunduk dalam, seolah-olah jika ia mendongak sedikit saja, Zelan akan mendampratnya sampai masuk ke galaksi yang berbeda. Lalu saat dirasanya dua sejoli itu sudah menjauh, baru ia berani untuk melirik sedikit.

Mereka tengah berjalan ke arah ia datang tadi. Ke arah mading yang berisi pengumuman tentang kelas-kelas yang akan ditempati setiap murid. Namun kerumunan di sana pasti akan langsung lenyap bagai disapu badai jika Zelan memang hendak ke mading. Bahkan dapat gadis itu lihat beberapa orang yang berjalan di ujung lorong menghilang dengan gaibnya. Ya, mereka melarikan diri saat melihat Zelan datang mendekat.

"Seram," ucapnya dalam hati lalu menghambur pergi seperti yang lain.

Gadis itu bernama Amanda Namira. Gadis yang amat bahagia setelah melihat pengumuman di mading, ia dan sahabatnya, masuk ke kelas unggulan. Oke, kedengarannya ia ambisius sekali, tapi itu memang benar kok. Nami memang punya ambisi yang tinggi dalam belajar. Itu mungkin satu-satunya kelebihan yang ia miliki.
Ia memilih meja di depan meja guru sesampainya di kelas. Belum terlalu banyak orang yang datang. Jadi ia memutuskan akan membaca buku yang baru diberi kakak laki-lakinya kemarin. Jelas Nami akan duduk dengan Clarissa---sohibnya dari kelas sepuluh---lagi.

Clarissa datang beberapa menit kemudian. Nami langsung melambaikan tangan dan gadis itu pun melakukan hal yang sama.

"Bareng lagi ya?" minta Clarissa sesampainya di meja Nami dengan muka semringah.

"Iyalah. Gue memang sengaja nungguin lo." Nami menggeser duduknya, memilih duduk di dekat jendela dan membiarkan Clarissa menduduki kursinya tadi.

"Eh, Nam." Belum selesai Clarissa mengucapkan kalimatnya, seisi kelas mendadak hening. Suasana angker ini terasa ganjil bagi Nami dan Clarissa. Nami mengedarkan pandangan sehingga netranya dapat menangkap sesosok siswa paling ditakuti di sekolah ini.

Zelan. Dia akan sekelas dengan si Seram itu!

Takut-takut Nami melirik ke mana laki-laki itu akan membawa langkahnya. Zelan berjalan ke belakang arah barisannya. Seketika otak Nami langsung memproses apa-apa saja yang kemungkinan terjadi bila mereka satu barisan. Tugas kelompok! Ya, salah satu hal yang paling dibencinya. Biasanya orang-orang yang berada dalam satu barisan yang sama akan sering tugas kelompok bersama.

"Tuh orang emang serem banget ya," ungkap Clarissa serius. "Kalo nenek gue yang dipelototin pake mata horornya itu, mungkin besoknya udah tinggal nama."

Nami tergelak mendengar penuturan ngawur sahabatnya. "Gue kira nenek lo tahan banting kayak cucunya."

"Ya, tahan banting. Tapi kalo dipelototin iblis ya keder juga." Clarissa, gadis cantik itu memang suka menyeletuk hal-hal yang tidak berguna.

Belum reda ketegangan yang disebabkan oleh Zelan, seorang guru, yang sepertinya wali kelas XI IPA-1, memasuki ruang kelas. Nami memerhatikan dalam diam semua yang terjadi setelahnya. Mulai dari basa-basi Pak Jaya sebagai wali kelas, pemilihan perangkat kelas, serta seruan Pak Jaya kepada ketua kelas dan beberapa siswa untuk mengambil buku paket di perpustakaan. Namun, sebelum guru yang secara fisik cocok jadi angkatan itu pergi, ia membuat pernyataan yang berhasil membuat semua orang terkejut, terlebih lagi Nami.

"Maaf, Pak?" tanya Clarissa memastikan.

Pak Jaya terlihat santai saja. Ia mengulangi perkataannya tadi tanpa beban, "Kamu pindah ke belakang di tempat duduk Zelan! Dan Zelan... kamu pindah ke depan. Kalian tukar tempat duduk."

***
Minggu, 17 Maret 2019
MinH-_-

Limerence (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang