"Mayatnya udah sadar!" Suara teriakan anak kecil mengusik ketenangan orang-orang di meja makan.
"Mayat siapa yang bangkit dari kubur?" tanya Nami asal.
"Mayat pacar Kakak lah!" tanpa dosa bocah SD itu berseru lantang kembali.
Di tempat tidur samar-samar Zelan mendengar keributan di luar. Seluruh tubuhnya sakit untuk digerakkan. Namun akal sehatnya sudah dapat ia gunakan dengan baik. Pria-pria semalam tak mencederai kepalanya, walau wajahnya juga terasa perih.
Tanpa ia sadari, keributan itu sudah berpindah di depan pintu kamar yang ia tempati. Belum sempat ia mencerna dirinya ada di mana; apa yang sebenarnya terjadi, sebuah dorongan membuka pintu kamarnya---tidak, kamar orang yang ditumpanginya.
Wajah seorang wanita yang pertama kali dilihat oleh Zelan.
"Bang-bang, cepet itu diperiksa!" perintah wanita itu sambil melihat ke belakang.
Tak lama anggota keluarga yang lain perlahan mulai masuk satu per satu.
Zelan hanya bisa mengernyit, merasa tak mengenal segerombolan orang itu.
Seorang laki-laki jangkung menerobos gerombolan itu, ia membawa peralatan khas seorang dokter.
Zelan hanya bisa memandanginya aneh. Sebenarnya ia ada di mana? Itu orang-orang siapa? Mata Zelan beralih ke seorang bocah laki-laki yang tadi sepintas dilihatnya keluar dari kamar ini saat ia bangun.
Anak itu juga menatapnya, lalu, "Mayat!" ucapnya tanpa berdosa. Kalau dalam kondisi sehat walafiat dapat dipastikan mulut bocah itu akan ia ikat pakai karet.
Namun, sekelebat bayangan semalam muncul. Mulai dari ia yang dicampakkan, lalu dipukuli pria-pria asing. Datangnya tiga orang perempuan yang terus mengatainya mayat. Ia ingat betapa berisiknya mereka semalam. Namun, setelah tahu ia masih hidup, akhirnya, Zelan ditolong juga.
Awalnya mereka ingin memanggil ambulans, tapi Zelan menolak. Si ibu terus memaksa, tapi Zelan terus menolak juga. Ia sebal dengan kekeraskepalaan ibu itu. Ia sudah lemah tak berdaya, dan ibu itu terus saja berbicara padanya sambil membentak-bentak. Walau jelas hal itu karena si ibu khawatir. Akhirnya, Zelan pun dibawa ke rumah mereka setelah dua orang laki-laki datang.
Setelah pria jangkung itu selesai memeriksanya dan mengatakan Zelan baik-baik saja, gerombolan itu datang mengerubunginya.
"Udah gak pa-pa?" tanya ibu-ibu rempong kemarin.
Zelan hanya mengangguk.
"Ya Allah, kok bisa gini kamu, Nak?" wanita itu berbicara pada dirinya sendiri.
Selanjutnya, anggota keluarga yang lain ikut berbicara bersamaan. Jika ditotal, ada delapan orang yang mengerubungi Zelan saat ini. Bahkan ada seorang bayi yang juga ikut berceloteh dengan bahasanya---bayi itu berada di gendongan seorang wanita muda. Wajahnya terlihat ingin tahu sekali dan menggemaskan.
Semua suara itu membuat Zelan pusing, sampai pria jangkung tadi menyuruh mereka untuk diam dan keluar.
Orang-orang tampak kecewa. Zelan hanya diam saja saat mereka bertanya ini-itu tadi---yang tentu saja tak didengar sama sekali olehnya karena terlalu bingung.
Semua orang keluar. Tak terkecuali Nami yang sedari tadi bersembunyi di belakang ayahnya. Ia takut dengan Zelan. Semalam ia keceplosan mengatakan Zelan adalah teman semejanya. Karena ucapannya itu, ibunya jadi bertekad semakin kuat untuk menolong Zelan. Saat pemuda itu tak mau ke rumah sakit, tanpa ragu si ibu membawanya ke rumah (sekali lagi) karena Zelan adalah temannya.
Teman? Ya Tuhan. Teman macam apa yang menyeret teman yang lain dengan menarik rambut begitu? Sebenarnya, semalam ada terbersit pikiran jahat Nami agar laki-laki itu dibiarkan mati saja. Namun, tentu ia tak berani mengatakan itu pada ibu dan kakaknya. Lagi pula ia juga kasihan dengan Zelan yang tampak mengenaskan. Di perjalanan pulang, Nami juga melihat setetes air mata mengalir di pipi pemuda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence (Tamat)
Teen FictionLENGKAP DI NOVELTOON Peddie High School Series #1 Pada umur yang sangat muda, Zelan melihat sendiri orang yang sangat disayanginya terjatuh dari ketinggian tepat di depan matanya. Tubuh orang itu remuk dan mengeluarkan banyak darah dari sela-sela ku...