18. I'll Prove It

118 18 2
                                    

"Dia udah kayak gitu tapi lo gak berpikir dia ada rasa sama lo?"

Sebuah anggukan menjawab pertanyaan itu.

Tak.

"Au...," ringis Nami mengusap-usap dahinya. Sudah berulang kali ia dijitak-jitak seenaknya oleh Clarissa. Katanya biar saraf-saraf otak Nami bisa bekerja lebih baik dalam menerjemahkan perhatian cowok.

"Sistem penerjemah otak lo bener-bener rusak kayaknya, Nam. Gue temani ke dokter ya, pulang nanti."

"Dokter mana? Dokter hewan?" Setelah mendengar candaan payah di semak-semak saat itu, Nami jadi teringat akan dirinya yang dianggap anak monyet.

"Lo menjatuhkan harga diri lo sendiri." Meski berkata seolah "Jangan samakan dirimu dengan hewan, kamu lebih baik," tatapan Clarissa malah berkata lain, "Semirip-miripnya lo dengan monyet, lo masih bukan satu spesies dengan mereka. Sangat disayangkan, tapi lo bukan."

Nami hanya berdecih.

"Kita pergi ke RS Kode Cinta dari Gebetan, Nam." Nami menoleh, menatap sahabatnya dengan aneh, sementara Clarissa hanya cengar-cengir tak jelas. "Nanti gue buat janji untuk lo sama dokter spesialis ketidakpekaan. Kayaknya sistem imun lo memblokir semua bentuk kege-eran untuk Zelan, sebagai bentuk perlindungan diri dari trauma suka-sendiri-patah hati-sendiri."

Nami menggeram, tapi Clarissa tak tampak akan menyudahi kalimat ngawurnya.

"Nanti lo bisa milih, cuma dikasi obat peningkat peka, atau terapi membangkit peka."

"Gak jelas. Gue balik deh. Mau makan aja sambil baca buku." Ia beranjak dari kursi Jacob dan meninggalkan Clarissa yang tersenyum aneh.

"Gue bakal buktiin, Nam."

Nami menunggingkan bokongnya, mengejek Clarissa yang malah terbahak akan aksinya.

Tepat saat Nami mendaratkan bokongnya---tentu bokong yang sama dengan yang ia tunggingkan tadi---Clarissa sudah ada di depan mejanya.

Nami hendak buka suara. Namun disela gadis itu dengan memasang tampang pilu palsu, "Udah deh, Nam, lo pinjem duit ke yang lain aja."

Dahi Nami berkerut dalam. Apa lagi akal-akalan cewek satu ini.

"Gue tau lo pasti laper banget. Pengen makan ayam 'kan? Pengen minum jus jeruk segar kesukaan lo itu 'kan? Cacing-cacing lo pasti lagi orasi dalam demo minta 'kecukupan nutrisi' 'kan?" Clarissa memegang wajah gadis itu, lalu mengangguk-anggukkannya seenak jidat. "Gak usah malu, Nam, temen-temen lo ini banyak yang anak sultan, keturunan pangeran Arab, Raja Togel, pasti banyak uangnya. Iya, gak, Ze?" Clarissa meminta persetujuan Zelan dengan mata berbinar-binar penuh harap. Dalam hati ia berkata, "Peka dong, peka dong."

Namun Zelan malah bangkit dari kursinya dan berlalu ke luar kelas.

"Lo apa-apaan sih?" pekik Nami. "Kalo tau-tau dia balik bawa sabit, gimana?"

Clarissa menampilkan wajah songongnya. "Ya, gue tinggal ambil parang, revolver. Ambil granat, TNT. Pesen rudal sama Korea Utara. Beli bom atom yang kayak di Hiroshima-Nagasaki, atau apa pun yang lebih keren lah." Gadis itu senyam-senyum jumawa, lalu menggosok bagian bawah hidupnya dengan gaya sengak.

Nami angkat tangan. "Nyerah gua." Lalu, mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam laci.

Secepat kilat Clarissa menyambar benda itu, kemudian mencegat Naufal---ketua kelas---yang berjalan melewati mereka. "Lo bilang lo ini mirip-mirip tong sampah 'kan? Pemakan apa saja yang sisa-sisa asal enak. Nih!" Clarissa menyerahkan bekal itu padanya."

"Clar!" teriak Nami marah.

"Eh, apa ini?" todong Naufal bingung.

"Udah deh, bawa lari aja sono!" Ia mendorong pemuda itu agar segera menjauh.

Limerence (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang