Zelan tak habis pikir. Kata Nami ini hanyalah pesta ulang tahun yang hanya dihadiri keluarga saja. Tapi... kenapa yang disebut Nami keluarga, jumlah orang-orangnya bisa untuk buat perkampungan baru.
Lagi-lagi ada yang bertanya tentang siapa dirinya, kali ini seorang gadis yang sepertinya lebih tua dari Zelan dan Nami.
"Teman, Kak," jawab Nami ramah.
"Bener temen? Kalo cuma temen kenapa yang cewek itu gak diajak?" Gadis bernama, Yuli, itu tersenyum mengejek, lalu menepuk-nepuk bahu keduanya.
"Hahaha... anak muda masih malu-malu, ya," cetus Yuli sesuka hati.
"Nggak Kak...."
"Udah, Yul, jangan digangguin! Kamu gak malu adik sepupumu aja udah dapat pacar ganteng gitu?" celetuk seorang wanita paruh baya yang Zelan ingat sebagai, Bude Mayang.
"Ya elah, Bude, Yuli 'kan baru dua tujuh. Masih lamalah." Gadis itu tertawa lepas setelah mengucapkan kalimatnya.
Dua tujuh? Zelan kira beda dua atau tiga tahun. Ternyata gadis mungil pendek itu sudah hampir kepala tiga.
Dan begitulah, suasana jadi bertambah ramai. Yang lain juga ikut menimpali percakapan Yuli dan Bude Mayang.
"Keluarga lo bener-bener banyak banget, ya?" bisik Zelan saat mereka sudah duduk lesehan di dekat sebuah meja dengan kue, balon, dan hiasan ala-ala ulang tahun lain.
"Ibu gue itu anak ketujuh dari sepuluh bersaudara...."
"Sepuluh?" pekik Zelan dengan wajah kaget yang tampak lucu.
Nami mengulum senyum. "Iya, dan Ayah adalah anak kedelapan dari sepuluh bersaudara juga."
"What the fu...."
Nami mengarahkan telunjuknya ke depan mulut. "Jangan ngomong kasar!"
Suasana bertambah meriah saat yang berulang tahun keluar, mereka bernyanyi bersama---tua-muda---lalu potong kue pun berlangsung.
Bukannya memberi kue itu ke orang tuanya, Kania, bocah yang baru genap berusia tiga tahun itu, menunjuk Zelan dan ingin pemuda itu mendapatkan kue-nya.
Orang-orang bersorak-sorai, melihat tingkah centil balita itu.
Zelan hanya diam dan memasang tampang kaku. Sampai akhirnya bocah centil itu mendatanginya setelah dapat izin dari sang ibu.
Malu-malu Kania menyerahkan potongan pertama kue ulang tahunnya, dan diterima oleh Zelan. "Makasih, Kania," ucap pemuda itu parau yang disambut si bocah centil dengan anggukan, kemudian langsung berlari ke ibunya.
"Masih kecil udah genit, ya...."
"Pacar tantenya ganteng sih...."
"Awas ditikung bayi, Dek...."
Percakapan yang tumpang tindih membuat Zelan tak bisa mencerna setiap kata-kata itu dengan baik. Kejeniusannya seketika tak berfungsi. Wajah dinginnya memudar dan digantikan tampang polos remaja biasa yang malu-malu.
Setelahnya ada game yang, mungkin, menjadi acara yang paling meriah. Karena Kania baru tiga tahun, ia belum punya teman sekolah. Jadilah yang bermain game adalah sepupu/ keponakan Nami dan orang-orang tua.
Game yang dimainkan adalah: setiap orang diberi pipet dan pipet itu digigit dengan mulut, kemudian orang pertama disuruh memindahkan karet di pipet miliknya ke pipet orang di sebelah dan begitu seterusnya. Jika karet terjatuh, maka orang itu harus diberi hukuman.
Keluarga Nami benar-benar kocak. Para orang tua tak malu, bahkan, saat hukumannya adalah disuruh berjoget-joget tak jelas---disuruh goyang gergaji.
Zelan tertawa terpingkal-pingkal saat melihat Bude Ana---kakak ibu Nami yang paling tua---berjoget dengan penuh semangat menggunakan tubuhnya yang sudah keriput-keriput itu. Umur Bude Ana sudah lebih enam puluh tahun, tapi masih heboh dan enerjik. Rambutnya yang beruban telah ditutup sempurna oleh cat rambut berwarna pirang menyala. Benar-benar eksentrik sekali. Zelan sempat berpikir bahwa rambut pirang itu mungkin bisa menyala dalam gelap---glow in the dark.
KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence (Tamat)
Fiksi RemajaLENGKAP DI NOVELTOON Peddie High School Series #1 Pada umur yang sangat muda, Zelan melihat sendiri orang yang sangat disayanginya terjatuh dari ketinggian tepat di depan matanya. Tubuh orang itu remuk dan mengeluarkan banyak darah dari sela-sela ku...