19. Nightmare

100 17 0
                                    

Tok tok tok.

Suara ketukan pada sebuah jendela, membangunkan seorang anak---ia bergerak kaget sambil membuka mata sebelum mendudukkan dirinya di atas kasur.

Ia menguap, lalu menatap ke arah jendela yang seperti diketuk-ketuk dari luar. Seraya memperjelas pandangan matanya, tangan si bocah mencengangkan seprai erat.

Terdengar embusan napas lega saat matanya penangkap jelas apa yang ada di balik kaca. Tentu itu hanya ranting pohon, apa lagi coba? Tangan kurus hantu tanpa kepala?

Meski begitu, bocah itu beranjak turun, ingin lebih memuaskan rasa ingin tahunya. Ia mendekat, membuka daun jendela, dan melongok ke luar.

Udara malam yang dingin menyeruak masuk tanpa permisi.

Mata bocah laki-laki itu menangkap sebuah pergerakan, sampai sesuatu keluar dari balik sebuah rimbunan bunga.

Mr. Snow Man.

Secepat kilat ia berbalik, membuka pintu kamar lalu berlari menuju halaman samping rumahnya. Tak akan ia biarkan kelinci nakal itu kabur lagi.

Saat berada di lantai dua, ia mendengar suara berisik dari ruang kerja ayahnya. Pintu yang terbuka sedikit menggelitik dirinya untuk mengintip.

Bocah itu berjalan mengendap-endap, lalu melihat melalu celah di pintu.

Matanya membulat saat melihat seorang perempuan duduk di pangkuan ayahnya.

Bocah itu langsung melengos, ia tak sebodoh itu sampai tak tahu apa yang mereka lakukan. Tiba-tiba saja tubuhnya gemetar, dan memutuskan untuk kembali ke kamar saja.

Namun sepertinya dunia ingin menunjukkan lebih banyak. Ia bersembunyi di balik guci besar saat melihat sang ibu berjalan ke arahnya.

Oh Tuhan, apa yang ia lakukan. Bukankah seharusnya ia menghalau ibunya agar tak melewati ruang kerja itu.

Begitu ia ingin melakukan apa yang ada dipikirannya, semua sudah terlambat. Sang ibu sudah membuka lebar pintu ruang kerja ayahnya.

Berikutnya, suara-suara jeritan, makian, barang-barang yang sengaja dilempar, memenuhi indra pendengaran bocah itu.

Ia semakin ketakutan, tapi merasa cemas dengan ibunya. Dengan sedikit keberanian, ia kembali ke depan pintu.

Mereka masih beradu argumen, sampai sebuah tangan melayang dan menghantam pipi wanita yang sangat ia cintai.

Bukan ayahnya, tapi jal*ang busuk tak tahu diri itu yang melakukannya. Sementara ayahnya tenang-tenang saja tanpa memberi respon apa pun.

Pria itu benar-benar mengecewakan.

Rasa marah menghilangkan sikap pengecut yang sedari tadi menggerayangi tubuhnya. Pandangan bocah itu mengabur, tanpa takut ia menghambur ke sana dan berteriak kencang. Memaki orang-orang tak berotak yang membuat ibunya bersimpuh di lantai.

Matanya yang merah dan berair, menatap sang ayah penuh benci. "Apa kau gak punya otak? Jal*ng itu nampar Mom!" Tangan gemetaran itu menunjuk wanita tadi yang tampak angkuh di tempatnya.

Sang ayah mengurut pelipisnya. "Beraninya bocah sialan ini maki Daddy-nya." Tak dipungkiri ia sangat kaget saat melihat putranya tiba-tiba masuk dan menjerit seperti orang kesetanan.

Dengan suara sesegukan yang masih terdengar jelas, ia kembali melanjutkan, "Sialan? Aku liat apa yang Daddy lakuin sama jal*ng busuk itu. KALIAN BERDUA KAYAK ANJ*NG TAU GAK!"

Ibunya bangkit dan memeluk sang anak. "Udah, ya! Zelan balik ke kamar, ya!" minta sang ibu membuat bocah itu mendongak, menatapnya tak percaya. Namun ia tak berbicara apa pun, hanya suara tangisnya saja yang bertambah pecah, merasa semakin hancur melihat raut wajah wanita itu yang kacau balau. Mata itu memerah sedih dan ada jejak-jejak air mata di sana. Zelan paling tak kuasa jika melihat ibunya menangis. Seperti ada yang mengoyak setiap inci dari dirinya, dan yang paling berat adalah... nyeri kuat di dada yang membuat lutut-lututnya lemas. Sakit, sakit sekali rasanya.

"Bawa dia pergi!"

Suara bernada perintah itu membuat Zelan muak.

Ibunya menarik tangan Zelan untuk keluar dari ruangan itu. Namun sebelum berbalik, ia sempat meludah ke jal*ng kotor itu.

Wanita itu menjerit, tapi gerakannya ditahan oleh ayahnya---orang yang juga ingin ia ludahi, mungkin lebih.

Di ujung pintu, jal*ng kotor itu kembali menggerayangi tubuh ayahnya. Zelan kembali meronta-ronta dan berteriak histeris---memaki dan menyumpahi wanita sial itu. Ibunya terus menarik dan memeluk dirinya, walau dalam hati kecilnya, ia juga ingin melakukan hal yang sama. Namun tak mungkin ia bertindak sesuka hati begitu di depan putranya.

Mereka berdua menangis, Zelan masih memaki kedua manusia itu yang dianggapnya sangat rendah. Sampai sang ayah menjauhkan wanita sial itu dari tubuhnya, bocah itu tetap meraung-raung dengan penuh makian.

Akan sangat menyenangkan jika pria itu tak punya hubungan apa pun dengannya. Ia bisa melampiaskan semua emosi tanpa perlu memedulikan statusnya sebagai anak. Zelan dididik dengan baik. Ia selalu menghormati dan menyayangi ayahnya. Tak pernah sekalipun ia berkata kasar---sampai hari ini tiba. Dan perasaan itulah yang membentangi dirinya untuk tak melukai pria itu lebih jauh. Meski, perasaan itu pula yang membuat sakit hatinya menjadi berkali-kali lipat.

Malam itu, ibunya terus memeluk tubuh Zelan---mereka tak bicara apa pun, hanya suara sahut-sahutan dari bukti tangis mereka yang terdengar---sampai ia tertidur dan tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

***

Zelan terbangun. Entah sudah berapa kali potongan masa lalunya itu menemani tidur malamnya. Ia bosan, muak, dengan hal itu, tapi tak ingin menghentikannya. Jika mimpi itu berhenti mengganggu, Zelan takut ia akan lupa dengan tujuannya.

Mimpi tadi bukanlah hal paling menakutkan. Ya, itu tak ada apa-apanya dibanding kejadian itu. Setidaknya ia bisa merasa baik-baik saja setelah beberapa jam jika hanya memimpikan hal tersebut.

Zelan memandangi langit-langit kamar, rasa sesak itu menyerang lagi. Ia memegangi dadanya, tempat semua kesedihan itu berasal. Tangannya menyapu sisa-sisa air matanya yang keluar dalam tidur. Ia sudah sering begini. Bukan hal aneh lagi jika ia terbangun dengan kondisi sesegukan.

Sepertinya ini akan jadi malam yang panjang lagi. Kepalanya sakit lagi. Perutnya mual lagi. Tubuhnya gemetar lagi.

Ia meringkuk, berusaha mengendalikan diri dari semua yang mengganggu batinnya.

Tahan, Zelan.

***

Huh, aneh gak sih? Susah bikin adegan sedih-sedih yang menyayat hati😖

_____________________
Kamis, 18 April 2019
Senin, 22 April 2019 (Publish)
MinH😞

Limerence (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang