***Lekas kuajak kaki sedikit berlari menyusuri lorong rumah sakit. Tak mau kalah satu langkah dari wanita itu. Bisa saja dia pura-pura sekarat demi mendapatkan napas buatan dari suamiku.
"Cih, menjijikkan!" pekik batinku.
Aku merapikan pakaian dan menarik napas sebelum masuk ke dalam kamar tempat wanita itu bersemayam. Wajah Evil terlihat sedikit terkejut dengan kedatanganku. Kuulas senyum termanis.
"Loh, keluarga Mba Evi mana? Udah dihubungi? Tar kalo tiba-tiba mati gimana?" Mas Pram melotot. Aku terkekeh sambil mencubit lengannya.
"Bercanda loh, Sayang. Nih aku bawain buah. Kita mau ikut nginap di sini atau nanti ada yang gantiin Mas Pram jagain Mba Evi?" Aku melirik perempuan itu yang seperti sedang menahan sakit. Selang infus bertengger di tangannya.
"Mas barusan kirim pesan ke Dodi. Mungkin sebentar lagi dia sampai. Kamu lapar?" Aku mengangguk.
"Iya, Mas. Aku sudah lapar."
Aku dan Mas Pram saling berpandangan. Ingin rasanya terbahak tapi takut dosa. Kututup mulut sebisaku demi menahan letupan tawa. Mas Pram mencubit lenganku.
"Oh, Mbak Evi lapar? Saya titip makanan sama Dodi sekalian, ya. Sebentar saya telepon dulu." Pas Pram keluar.
Tinggallah aku dan wanita itu berdua. Aku menatapnya tanpa jeda. Tak sepatah kata terucap tapi mesti ia tahu arti tatapan mataku yang lekat.
Tepat saat azan magrib berkumandang, Dodi datang. Dia satu tim dengan mereka tapi masih lajang. 'Kenapa tidak Dodi saja yang digodanya, kenapa harus suamiku?' bisik hatiku nelangsa. Sungguh lelah menanggung rasa ini. Cemburu bertubi-tubi tak dapat kukuasai.
Dodi mengantar kami keluar.
"Mas, dompetku ketinggalan di dalam. Aku ambil sebentar, ya." Mas Pram mengangguk. Aku berjingkat kembali ke kamar. Evil sedang menggigit buah dariku. Pasti dia sangat lapar. Aku menyungging senyum.
"Kok balik, Kak?" tanyanya. Aku menunjukkan dompet yang tertinggal di atas nakas tempat meletakkan buah.
"Oh. Makasih udah jenguk aku, ya, Kak. Seneng deh kalo punya temen kayak Kakak." Demi apa, aku sekarang ingin muntah. Kakak? Apa kau berniat jadi adik maduku? In your dream!
"Oh, ya? Bukannya kamu hanya mau berteman dengan suamiku?" Aku bergegas keluar tapi langkahku terhenti, berbalik menuju ranjangnya dan berbisik.
"Kau tau? Jika beruntung, kau akan menemukan buah yang telah kulumuri dengan sianida. Kau tau sianida? Itu akan membuatmu tertidur ... selamanya." Dia tersedak.
"Hahaha. Aku bercanda. Kau takut? Takut datang karena rasa bersalah. Semoga cepat sembuh, ya." Aku mengedipkan mata dan melangkah penuh kemenangan. Menggandeng suamiku pergi. Sempat terlihat dari ujung mata, perempuan itu membuang buah pemberianku ke tempat sampah.
***
"Kasihan juga si Evi itu, ya. Jauh dari orang tua. Dua anaknya ditinggal di rumah sama pembantu." Mas Pram membuka cerita selepas kami makan malam.
"Oh, ya? Mas, kita udah pernah bahas ini. Dia itu siluman. Apa pernah dia cerita kenapa suaminya pergi meninggalkan dia?" Mas Pram menaikkan kedua bahunya.
"Nah, itu. Kita gak kenal dia. Jangan mudah bersimpati pada orang asing. Dan tolong, jangan terlalu baik dengan perempuan."
"Jadi aku harus jadi orang jahat?"
"Ya bukan gitu juga. Biasa aja. Kalo lagi kerja ya profesional aja, jangan sampe nerima curhatan."
"Tapi Mas gak tega liat mukanya murung di kantor. Suasana kantor jadi gak enak, Sayang. Sama sekali gak ada maksud apapun. Sumpah!"
"Ya, itu kamu. Dia nganggapnya beda. Jangan mendebatku lagi soal ini. Aku lelah. Tolong yakinkan aku untuk terus percaya padamu." Dia menyentuh tanganku.
"Ayo kita pulang. Aku akan meyakinkanmu dengan caraku." Dia mengedipkan mata dan menggandeng tanganku menuju parkiran.
***
"Sayang, hari sabtu ada undangan ulang tahun anaknya temen kantor. Kamu mau ikut?" Sepulang kerja ia duduk di teras menungguiku merawat anggrek. Gerakanku terhenti.
"Siapa? Jangan bilang itu anak Evi!" Dia mengangguk lesu.
"Jangan datang!" Aku membereskan peralatan berkebun. Ia membuntutiku masuk ke rumah.
"Tapi, Sayang. Semua temen diundang. Sungkan kalo kita gak datang." Aku menatapnya tajam layaknya elang mengincar mangsa.
"Terserah. Tapi aku tak mau ikut." Dia menggaruk kepala dan berlalu ke kamar mandi.
Harusnya dia paham, "Terserah" itu artinya aku akan membunuhmu jika tetap pergi ke sana.
Ini hari rabu. Berarti masih tiga hari lagi, aku pasti bisa membujuknya urung datang ke sana.
***
Dua hari berlalu tak ada perubahan. Ia tetap akan pergi walau tanpaku. Alasan klise, dia merasa wajib datang karena semua teman sekantor juga datang.
Rajukku tak lagi berguna. Aku lelah mendiamkannya. Itu juga tak baik bagi hubungan kami. Akan menjadi celah baginya membandingkan sikap dinginku dengan hangatnya bujuk rayu wanita di luar.
Kutahan cemburu yang menggerogoti diri. Aku harus mencari cara agar tetap terlihat memesona walau sedang terbakar prasangka.
"Sabar, Adel. Cantikmu paripurna. Jangan biarkan keanggunanmu luntur tersebab letupan emosi yang tak perlu." Aku berbisik pada cermin yang memantulkan bayangan wajahku.
Pukul setengah enam tepat suamiku pulang. Segera kusambut dengan segelas teh hangat kesukaannya. Membawakan tas dan membantu membukakan sepatunya. Memijit bahu dan mengambilkan handuk. Aku rasa akulah istri sempurna segala rasa.
Makan malam telah tersaji. Tak lupa mengenakan pakaian seksi yang baru kubeli. Aku dapat melihatnya meneguk liur saat aku melintas dan duduk di hadapannya.
Sepanjang makan malam, ia bercerita segala. Aku tak lagi peduli Evi, Evil atau Devil. Misiku sekarang memenangkan hati suamiku. Aku memiliki keyakinan, jika aku menjaga mata, perut dan ehem, kebutuhan biologisnya dengan baik. Ribuan Evil akan sulit membuatnya berpaling dariku.
Setelah menuntaskan semua misi, aku mengecup pipi gembul kesayanganku itu sambil berbisik.
"Sekarang, giliranmu merasakan hangatnya api cemburu." Suara dengkuran halus menemaniku mempersiapkan rencana terbaikku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Insting Wanita
RomanceAdelia Winata, istri dari Pramono Susanto yang manja namun tak mau kecolongan dengan hadirnya wanita penggoda dalam rumah tangga mereka. Pram, pria yang sering membuat para wanita salah paham akan kebaikannya. Bagaimana kedua insan yang saling menci...