Bagian Lima

7.8K 508 16
                                    

***
"Sayang, kita udah sampai." Aku menggeliat sebentar sebelum kesadaranku pulih sepenuhnya. Lebih kurang tiga jam perjalanan dan aku tertidur sambil bersandar di bahunya.

Dia turun lebih dulu dan berbincang sebentar dengan temannya, pemilik villa itu.

"Ayo turun. Kamu bisa kembali tidur di kamar. Masih ada beberapa jam lagi sebelum matahari terbit." Dia membukakan sabuk pengamanku dan beranjak ke bagasi belakang untuk mengambil perlengkapan. Aku mengikutinya ke dalam villa.

Villa itu terbuat dari kayu dan berdiri tepat di sisi pantai. Menjorok sedikit ke laut. Aku membuka jendela yang berhadapan dengan pantai. Angin laut menyibakkan tirai, melenakanku mencium aroma amis khas pesisir.

"Gak tidur lagi?" Mas Pram memelukku dari belakang. Aku mengelus pipinya yang mulai ditumbuhi rambut.

"Aku udah gak ngantuk, Mas. Aku mau duduk di luar."

"Tapi di luar dingin, Sayang." Aku cemberut. Dia mengalah, membongkar koper dan mengambil sebuah selimut panjang untuk kukenakan.

"Kamu berani di luar sendirian?" tanyanya sambil memakaikan selimut di bahuku menjulur hingga menutupi mata kaki. Seperti memakai jubah berbulu yang sangat hangat.

"Enggak. Kamu istirahat aja. Nanti sunrise aku bangunin." Aku mengecup pipinya dan membuka pintu.

Berjalan keluar sambil terus merapatkan selimut. Udara sangat dingin di luar. Tapi suara deburan ombak laksana alunan melodi yang merelaksasi pikiran. Bentangan laut sejauh mata memandang seolah siap menerima segala keluh kesah.

Bualan tentang harapan dan impian seperti ombak datang menghempas karang. Karang tetap karang yang tegak di tempatnya. Ia seperti takdir yang bergeming bagaimanapun kami telah berusaha. Bila belum saatnya, kami bisa apa?

Waktu merambat pelan, warna jingga di ufuk timur menyadarkanku bahwa setiap gelap akan berganti terang. Bahkan hujan petir setelahnya akan ada pelangi yang indah. Begitulah kehidupan akan membawaku.

Lekas kumasuk ke kamar untuk mengajak Mas Pram melihat sunrise. Tapi wajah lelah membuatku tak tega mengusik lelap tidurnya.

Pelan kembali kututup pintu dan berjalan keluar menyapa setiap butir pasir putih yang kuinjak. Meninggalkan jejak yang segera akan dihapus ombak. Aku sadar satu hal, seperti itulah waktu bekerja membasuh luka. Saat kita mulai menapak ke depan, ia akan menghapusnya perlahan.

Aku memotret warna warni langit saat mentari terbit. Sesekali kulempar cangkang kerang ke arah laut yang menciptakan percikan kecil di permukaannya. Seperti itulah masalah dalam hidup, saat kau rasa ujianmu terasa sangat besar dan berat, buka mata, di luar sana banyak mereka yang tengah dihempas gelombang yang jauh lebih besar. Lalu kau rasakan masalahmu akan selayaknya percikan kecil gelombang kehidupan.

Beberapa orang berlarian. Seorang gadis kecil menabrakku.

"Maaf, Tante." Aku tersenyum mengelus kepalanya. Dia kembali berlari mengejar temannya.

Villa yang kami tempati bukan berada di daerah wisata. Di sini tempat para pencari ikan melabuhkan sauhnya.

Aku berhenti di sebuah warung kopi. Memesan segelas teh hangat dan sepotong roti. Beberapa nelayan tengah menikmati kopi sambil berceloteh tentang air pasang dan gelombang, ikan dan kerang. Aku mendengarkan sambil sesekali tertawa saat mereka bercanda. Pemilik warung kopi mengenalku karena beberapa kali pernah menginap di villa itu sebelumnya.

Aku kembali berjalan, mencari objek foto yang menarik. Seorang wanita tua tengah memandang laut sambil duduk di atas pasir sendirian. Aku memotretnya kemudian berjalan perlahan mendekat.

Mata tua itu menyiratkan kesedihan. Aku tiba-tiba teringat Mama. Terakhir kali kami bertengkar saat berjumpa.

"Bu. Boleh saya duduk di sini?" Dia tersenyum dan mengangguk. Aku meletakkan sandal berdampingan lalu duduk di atasnya.

"Lautnya tenang sekali. Ibu sering ke sini?" tanyaku memecah sunyi. Dia bergeming. Aku jadi salah tingkah. Matanya terus menatap ombak.

"Mak! Ayo sarapan dulu." Seorang pria menghampiri kami. Aku mengulurkan tangan.

"Maaf, Mas. Nama saya Adelia. Kebetulan saya ikut duduk di sini sama Ibu." Dia mengatupkan tangan ke arah dada.

"Saya Akmal. Terimakasih udah nemeni Mamak kami." Seorang wanita berjilbab lebar datang menghampiri. Aku menatapnya dari atas ke bawah. Jilbab lebarnya diterpa embusan angin laut. Aku membayangkan betapa repotnya menjadi dia.

"Ayo, Mak. Kita sarapan dulu." Perempuan  itu memapah wanita tua.

"Kau siapa? Akmal? Dia siapa?" Aku mengernyitkan dahi. Tampak wajah sedih di paras ayu berbalut jilbab maroon itu.

"Biar Abang aja." Laki-laki bernama Akmal itu memapah ibunya kembali ke penginapan sederhana di sisi pantai.

"Eh, maaf." Perempuan itu menyeka embun di sudut matanya.

"Gak apa. Itu suamimu? Kenalkan aku Adelia. Aku tinggal sementara di villa itu." Aku menunjuk rumah kayu di ujung. Ternyata aku telah berjalan cukup jauh hingga villa itu terlihat kecil sekali.

"Iya. Itu suami dan ibu mertuaku. Dia menderita demensia. Kami ke mari atas permintaannya. Dulu, ibu dan almarhum ayah mertuaku pernah ke sini." Dia mengambil duduk di sebelahku.

"Dia tidak mengingatmu? Wow, bagaimana kau bisa bertahan? Dia menganggapmu orang asing. Eh, maaf. Aku bicara kelewat batas." Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Dia terkekeh.

"Memang dia tidak mengingatku, tapi aku kan tetap mengingatnya. Dia mertua yang sempurna dengan segala kekurangannya. Dia yang melahirkan dan mendidik suamiku. Tak ada salahnya jika aku membalas sedikit kebaikannya." Mataku terpana. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menelepon ayah Mas Pram. Ia memang tak terlalu dekat dengan ayahnya, sejak pria itu memutuskan menikah kembali saat ibu mereka baru satu tahun meninggal.

"Jika kau sibuk mengurus mertuamu, lalu bagaimana dengan keluargamu sendiri. Suami dan anakmu?" tanyaku kembali penasaran. Sedangkan aku kadang lupa menyiapkan makan malam saat terlalu sibuk mengurus anggrek-anggrekku.

Dia kembali tersenyum sebelum menjawab.

"Kami belum dikaruniakan anak. Mungkin Allah ingin kami fokus mengurus Mamak sebelum mempercayakan kami seorang anak. Kami percaya segala sesuatu yang terjadi atas diri kami, semua ada hikmahnya. Dan pasti itu yang terbaik." Mataku menatap pasir. Tak mampu memandang ke atas. Aku merasa kecil di samping wanita ini.

"Lima tahun. Kami telah menikah lima tahun dan masih belum dikaruniai anak juga." Dia merengkuh bahuku. Ada energi yang tersalurkan melalui sentuhannya.

"Kami tujuh tahun. Tenanglah, bahkan Nabi Zakaria baru dikaruniai anak saat mereka renta. Tak ada yang tak mungkin di hadapan Allah." Aku menatap ke dalam mata teduh itu. Memeluknya erat. Seperti menemukan oase di padang pasir, seolah meneguk segelas air tawar di tengah laut.

Suaminya memanggil dari depan pintu penginapan. Dia bangkit dan membersihkan roknya dari butiran pasir yang menempel. Aku ikut berdiri. Dia memelukku sekali lagi.

"Senang bertemu denganmu. Bisakah aku minta nomer HPmu? Siapa tau aku butuh teman bicara. Kau orang yang menyenangkan." Aku mengetik nomor yang disebutkannya lalu dia bergegas lari kembali ke penginapan.

"Tunggu! Namamu siapa?" pekikku lantang, menyadari aku belum tahu nama perempuan itu saat akan menyimpan nomernya. Dia berhenti sejenak dan berbalik.

"Aisyah!" Dia tersenyum sambil melambaikan tangan.

"Aisyah." Aku menyimpan nomer itu. Tunggu, sepertinya aku tidak asing dengan nama itu.

Seketika aku teringat perkataan Mas Pram saat menenangkanku kemarin.

Tiba-tiba aku merindukan suamiku. Aku berlari menenteng sandal melintasi pasir putih.

"Bahkan Aisyah istri Nabi Muhammad tak pernah punya anak, tapi dia tetap perempuan mulia."

***

Maaf agak lama updatenya.

Happy reading.

Yuk, ngobrol di kolom komentar.

Insting WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang