bagian tujuh

6.7K 505 49
                                    

#Insting_Wanita

Antara Aku, Kau, dan Calon Pelakor

#Insting_Wanita (7)

Kusuap sarapan dengan malas. Jika Mas Pram tidak terus memaksa, aku lebih suka menghabiskan waktu bergulung dalam selimut selepas mandi tadi. Dan tak ingin diganggu.

Aku memilih bungkam sepanjang mengecap nasi dengan indra perasa. Sesak di dada sebelah kiri masih kerap muncul tiba-tiba.

Ekor matanya terus mengawasi, seakan tak mengijinkan sebutir nasi pun tersisa di piring.

"Loh, kok udahan makannya? Kenapa gak dihabisin?" Aku menatap nyalang bak elang mengincar mangsa. Tak perlu lidahku berucap, dia pasti tahu moodku belum baik sepenuhnya.

"Baiklah, istirahat di kamar duluan. Setelah membereskan ini, aku akan menyusul." Aku melangkah lekas ke kamar. Bukan ranjang tujuanku sekarang, tapi teras di sisi pantai.

Terik tak mengurungkan niatku menyapa ombak. Mesra angin membelai rambut dan hangat air asin ramah di kakiku, malah mengingatkan kejadian pagi tadi. Airmata kembali turun dari ujung netra, lagi sesak datang. Rasanya sakit tapi tak berdarah.

Suara langkah di lantai kayu membuatku sigap mengusap sisa airmata. Dia ikut duduk di sisi. Menendang-nendang air menyiprat tubuhku.

"Stop, Mas. Bajuku basah semua nanti." Dia tetap dengan kelakuan kekanakannya. Jengah, aku mencoba bangkit tapi dia menahan tanganku.

"Kamu masih marah?" Mataku menatap lurus ke depan.

"Aku harus apa biar kamu gak marah lagi?" Kali ini tatapanku beralih tepat ke netranya. Mencoba mencari kesungguhan di sana.

Dia merubah posisi bersila di hadapanku, air laut membasahi betisnya yang berbulu.
"Sayang, tolong maafkan aku. Sungguh aku benar-benar menyesal udah bohongin kamu. Demi Tuhan, aku gak berniat bohong, aku tau kamu gak suka sama Evi tapi ini masalah kerjaan." Dia mengambil tanganku.

Aku bergeming. Entah kata apa yang cocok disematkan pada laki-laki ini. Baik, lugu, polos atau naif?

"Sayang. Katakan sesuatu. Jangan diam aja."

"Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur. Siapa yang meneleponmu pertama tadi? Evi, kan?" Dia mengangguk lemah.

"Ada perlu apa?"

"Masalah kerjaan sedikit."

"Urgent?"

"Gak terlalu, sih. Gak usah bahas itu lagi bisa? Itu tuh gak penting. Ngerusak mood liburan kita." Aku menarik tangan dari genggamannya dan mencoba berdiri tapi lagi-lagi lengan kokohnya berhasil menarikku. Kali ini aku terduduk di pangkuannya.

"Baiklah. Tanyakan apapun yang ingin kamu tanya. Tapi tetaplah di sini. Kamu alasan kita berada di tempat ini. " Dia melingkarkan tangannya ke pinggangku.

Aku menghela napas. Separuh hati aku ingin berontak karena dia masih belum sepenuhnya dimaafkan, di sisi lain, aku merasa teramat nyaman.

"Kenapa bukan Dodi yang langsung bicara padamu? Kenapa melalui Evi? Kenapa Evi pakai nomer Dodi? Atau kamu sengaja menyimpan nomer Evi dengan nama Dodi supaya aku gak curiga?" Aku menoleh demi melihat matanya. Dengan mudah bisa tahu seseorang sedang jujur atau berbohong lewat mata.

"Wow. Aku serasa sedang diintrogasi. Baiklah, itu memang nomer Dodi. Aku juga gak tau kalau Evi yang menelpon. Aku kira Dodi, makanya kuangkat. Beberapa kali nomer baru menghubungi tapi tak pernah kugubris. Aku menjaga perasaanmu, Sayang."

Mata itu menatapku tak berkedip. Aku yakin dia berkata jujur. Tak ada kegelisahan tersiar dari netranya.

"Sekarang kau tau, kan? Evi memang licik. Dia akan melakukan segala cara demi tetap terhubung denganmu. Dasar perempuan tak tahu malu." Dia meletakkan jari telunjuk ke bibirku.

"Hust. Sayang, bibirmu terlalu indah. Jangan kotori dengan kata-kata buruk." Mataku membulat.

"Jadi kau lebih membelanya?" Aku menggeser posisi duduk. Kali ini berhadapan langsung dengannya.

"Ya ampun, salah lagi. Bukan begitu maksudnya."

"Jadi apa? Kamu mau bilang aku terlalu lebay. Iya? Posesif?" Dia menggaruk kepala.

"Bukan begitu maksudnya, Sayang."

"Kamu gak ngerti perasaanku. Aku cuma takut kehilangan. Hatiku dipenuhi ketakutan suatu hari Evi berhasil mengalihkan perhatianmu." Airmataku kembali luruh. Sigap ia merengkuhku ke dalam pelukan.

"Maafin aku, Sayang. Aku bukan membelanya. Aku cuma gak mau kita membahas apalagi mencela hal-hal yang gak penting. Karena kamu adalah hal terpenting dalam hidupku." Aku terus terisak hingga membasahi kaosnya.

"Masih lama lagi nangisnya? Kamu gak kepanasan di luar sini. Ke kamar, yuk!" Aku merenggangkan pelukan, mengusap bekas airmata kasar. Dia tersenyum sambil membelai rambutku.

"Mau ngapain di kamar? Aku kan lagi dapet." Dia terkekeh, meletakkan telunjuknya di keningku.

"Memangnya di sini isinya cuma sex, ya? Ya udah, kita di sini aja sampe kering." Kini giliranku yang terbahak. Aku menyambut lengannya untuk berdiri dan kembali ke kamar.

Aku berbaring di sebelahnya. Dia sibuk mengutak atik gawai.

"Chat siapa?" Dia menoleh.

"Oh, ini, chat Dodi. Minta dia tangani sementara semua pekerjaanku. Lihat." Dia menunjukkan layar gawai demi meyakinkanku. Kemudian meletakkannya kembali ke nakas.

"Baiklah. Sekarang sepenuhnya aku milikmu. HP udah kunonaktifkan. Supaya gak ada Dodi KW lagi yang menelepon dan merusak mood permaisuriku." Aku tergelak dan meletakkan kepala di atas lengan. Dia mengusap pipiku.

"Percaya padaku, Sayang. Cuma kamu yang ada di sini dan di sini." Dia mengambil tanganku dan meletakkannya ke dada dan keningnya.

"Gombal!"

"Perempuan 'kan suka digombalin."

"Jadi kamu suka gombalin perempuan?"

"Astaga. Salah lagi."

***
Tak ada lelaki sempurna tapi hadirnya menyempurnakan. Semua kekurangan dan kelebihan dalam dirinya memberi warna di kanvas hidupku.

***

Insting WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang