#Insting_Wanita (8)
***
Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Sedari pagi, aku mendiamkan Mas Pram. Apapun yang dibuatnya belum mampu meluluhkan rajukku. Bahkan momen matahari tenggelam yang begitu indahnya terlewat begitu saja. Akhirnya sebelum azan magrib, ia keluar. Entah kemana, aku enggan bertanya.
Hingga pukul sembilan, Mas Pram belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku menyerah, rasa khawatir mulai menjalari relung kalbuku. Angin laut terus menyibakkan tirai jendela. Lampu-lampu dari villa yang kami tempati membuat air laut tampak berkilauan.
Aku keluar teras untuk melihat keberadaan Mas Pram. Kukira dia hanya bermain-main di pinggir pantai. Namun nihil, tak ada sesiapapun di sana. Warga memilih kembali ke rumah masing-masing. Apalagi sepertinya sebentar lagi hujan akan turun. Langit sangat gelap tanpa bintang yang menghiasi.
Kudukku tiba-tiba meremang, teringat bahwa aku sedang sendirian di sini.
Aku melangkah kembali ke dalam kamar. Menutup semua pintu dan jendela karena rintik mulai turun. Tak lama hujan turun dengan derasnya. Petir menggelegar menyempurnakan kelamnya malam ini.
Aku memekik sambil menutup telinga. Biasanya Mas Pram selalu siap menutup telingaku saat kilat mulai menampakkan diri, karena setelah kilat pasti petir mengikutinya. Kata Mas Pram, petir dan kilat sebenarnya datang bersamaan, tapi kilat tiba duluan karena cahaya lebih cepat daripada suara. Kilat serupa aba-aba akan datangnya suara dahsyat.
Aku meringkuk di balik selimut. Kilatan cahaya dari langit menembus jendela kaca. Seolah jatuh tepat di depan kamar.
"Aaaa!!!" Sebuah tangan yang sangat dingin menyentuh telingaku.
Aku membuka mata.
"Mas Pram. Aku takut." Aku memeluknya erat.
"Basah ... kamu dari mana aja, Mas? Aku ketakutan sendiri di sini. Sana ganti baju dulu." Aku mendorong tubuhnya menjauh. Rambut dan bajunya basah semua. Sepray dan selimut juga ikut basah.
Setelah mengganti baju, ia menghampiri untuk membantuku mengganti sepray dan selimut dengan yang baru. Beruntung di dalam lemari ada stok beberapa.
Hujan di luar masih deras, tapi kilat dan petir tak lagi sahut menyahut. Aku duduk di sisi kanan ranjang, sedang ia di sisi kirinya. Terdiam, enggan memulai kembali percakapan, berharap ia paham dan mengalah.
'ayo, bujuk aku,' pekik batinku. Nyatanya ia bergeming. Membiarkan dingin dan sepi menemani kami berdua di kamar ini.
'baiklah, ayo, kita kembali perang dingin. Siapa takut?' Aku mencoba meraih gawai di atas nakas untuk bermain game.
Namun saat jemariku belum lagi menyentuh gawai, kilatan cahaya kembali melintasi netraku. Memaksa tangan menutup telinga. Benar saja, tak lama kemudian petir kembali menyambar. Suaranya keras sekali, seolah tepat di atas atap.
"Aaa!!!"
Penderitaanku belum berhenti sampai di situ. Berbarengan dengan suara petir tadi
listrik padam."Mas Pram, gelap. Aku takut!" Hujan deras, lampu padam. Horor yang sempurna. Aku takut keduanya.
Di tengah ketakutanku, sebuah cahaya muncul dari balik pintu. Mas Pram datang bak pangeran berkuda putih, eh berkaos putih. Rambutnya yang basah membuatku terpesona. Dagunya yang ditumbuhi bulu tipis. Ah, pipi gembil itu, ingin sekali kucubit.
Ia berjalan pelan sambil menjaga agar lilin tetap nyala. Meletakkannya di nakas sebelahku. Lalu duduk di sampingku.
Aku langsung menyandarkan tubuh ke dada bidangnya, memukul-mukul pelan sambil terisak.
"Mas, jangan tinggalin aku. Aku takut." Dia mengelus rambutku.
"Maafin, Mas. Tadi shalat magrib di mushala depan terus ada pengajian. Abis pengajian, langsung diajak shalat isya." Aku mengusap airmata. Menatap netranya.
"Shalat?" ujarku lirih.
Matanya berembun, dia merengkuhku kembali ke dalam pelukannya.
"Maafin, Mas, belum bisa jadi suami yang baik, Sayang. Mengajakmu ikut agama Mas tapi tak membimbingmu. Sedang ilmu agama Mas juga masih sedikit sekali. Maafin aku, Sayang." Airmataku kembali luruh. Ada rindu di hati yang tak dapat diuraikan.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Adelia Winata binti Alexander Winata dengan mas kawin seperangkat alat shalat tunai!"
Sebuah masjid di dekat rumah orangtua Mas Pram menjadi saksi penyatuan janji suci antara dua insan.
Setelah melewati perjalanan terjal nan panjang. Pelabuhan hati kini sah di mata negara dan Tuhan. Atas nama cinta, aku rela berpindah keyakinan.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Insting Wanita
RomanceAdelia Winata, istri dari Pramono Susanto yang manja namun tak mau kecolongan dengan hadirnya wanita penggoda dalam rumah tangga mereka. Pram, pria yang sering membuat para wanita salah paham akan kebaikannya. Bagaimana kedua insan yang saling menci...