Bagian Empat

8.6K 505 62
                                    

#Insting_Wanita (4)

***

Aroma telur dadar menusuk indra penciuman, memaksaku membuka mata perlahan. Setelah mengikat rambut asal, aku turun dari ranjang untuk mencari sumber aroma.

Dia tengah memakai celemek di depan kompor. Aku memerhatikan dari pintu kamar yang berhadapan langsung dengan dapur. Tangannya lihai memainkan teflon untuk membuat omelet terenak di dunia.

Aku berjalan mendekatinya, melingkarkan tangan di pinggang tegap itu. Dia berbalik, tersenyum dan mengecup keningku.

"Cuci muka dulu sana. Aku tunggu di meja makan." Aku melepaskan pelukan dan melangkah ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, aku langsung menghampirinya yang tengah menuang segelas susu hangat di sisi piring berisi omelet yang aromanya sukses membuat cacing di perutku berontak.

Tak sabar ingin memindahkan potongan telur lembut itu ke dalam mulut agar lidahku tahu bagaimana rasanya makanan yang dimasak dengan cinta.

Namun sebelum suapan memasuki rongga mulut, perasaan mual menyergap. Kuletakkan kembali sendok dan berlari ke kamar mandi.

Cairan asam di dalam perut mendesak ingin keluar. Memaksaku berairmata demi meraih perasaan lega.

"Sayang, kamu gak apa-apa?"

Suara pintu diketuk berkali-kali kuabaikan. Di dalam sini aku terus berjuang melepaskan perasaan mual yang terus datang. Hingga cairan pahit yang kurasa, mual itu tak hilang juga.

Hampir sepuluh menit berlalu, aku menyerah. Tubuhku melemah kehabisan tenaga karena dipaksa muntah.

Wajahnya pucat saat aku membuka pintu. Dia memapahku ke kamar dan membaringkan tubuhku.

"Kamu sakit?" Disekanya keringat di dahiku.

"Entahlah. Aku mual banget."

"Sebentar." Dia keluar.

Aku meraih minyak telon di atas nakas sebelah ranjang. Aku masih setia memakai minyak itu, aku suka aromanya. Aroma bayi.

Tak lama dia kembali dengan gelas di tangan.

"Minum ini dulu. Teh jahe selalu ampuh mengusir masuk angin." Aku meneguk perlahan teh jahe hangat buatannya. Ramuan sederhana yang selalu bisa diandalkan. Seruas jahe digeprek lalu dituangi air panas.

Mataku tertumpu pada kalender di dinding kamar.

"Sekarang tanggal berapa?"

Ia mengernyitkan dahi. Kurasa kami memikirkan hal yang sama.

"Jangan-jangan kamu hamil, Sayang. Biasanya kamu haid tanggal muda, kan. Sekarang udah hampir pertengahan bulan." Dia tahu pasti kapan jadwalku haid karena dia selalu kuminta membelikan pembalut.

Aku menatap kalender dan mencoba menghitung mundur. Dia benar, aku telat seminggu. Dan mual ini ... jangan-jangan benar aku hamil.

Dia memelukku erat. Dikecupnya seluruh wajahnku seolah tak kunjung puas mengungkapkan bahagia. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu.

"Sayang, cukup. Kita belum tau hamil atau cuma terlambat biasa."

Aku tak mau memberi harapan palsu. Banyak cerita kubaca di internet tentang kehamilan palsu. Gejalanya persis awal kehamilan, tapi ternyata bukan. Hanya keinginan di dalam hati yang berlebihkan membuat hormon di tubuh yang mengatur siklus menstruasi seolah kasihan pada diri dan membohongi dengan gejala palsu. Itu bahkan lebih sakit daripada ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.

Insting WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang