Bagian Sepuluh

6.5K 420 7
                                    

#Insting_Wanita 10

***

"Enak, Mas."

"Yang ini?"

"Hmmm ... enak juga, Mas. Coba buka yang itu."

"Susah bukanya. Gelap."

"Pake perasaan, dong. Buruan. Aku udah gak sabar."

"Dasar perempuan. Harus diabisin semua, ya?"

***

Beberapa menit yang lalu. Aku berteriak dari dalam kamar mandi yang temaram, meminta diambilkan pembalut di mobil. Tak terlalu banyak keluar flek tapi cukup mengotori celanaku.

Lampu belum kunjung menyala. Sambil sedikit meraba, kuselesaikan hajatku di dalam kamar mandi dan segera keluar.

Dengan santai, Mas Pram tengah duduk di sisi ranjang sambil mengunyah cemilan. Ternyata semua cemilan di rumah dibawanya ke sini.

Entah karena hormon atau aku memang tengah lapar, satu persatu snack ingin kuicip semua. Kami duduk di lantai kayu bersandar pada sisi ranjang di hadapan sebatang lilin yang menyala lembut, sambil mengunyah snack dan cokelat.

"Mas ...," lirihku sambil menatap wajah yang dagunya mulai ditumbuhi bulu halus.

"Iya. Kenapa, Sayang?" Ia menoleh.

"Seandainya aku gak bisa punya anak. Apa Mas mau nikah lagi dan ninggalin aku?" Entah kenapa, tiba-tiba pertanyaan itu sedari tadi menggelitik pikiranku.

Dia meletakkan snack dan merangkul bahuku.

"Pertanyaan bodoh. Coba kubalik pertanyaannya, seandainya ternyata aku yang mandul, apa kamu ... bakalan ninggalin aku?"

Aku mengaduh pelan saat ia memijit hidungku.

"Aku bakalan ninggalin kamu, Mas."

Ditegakkannya badan dan menatapku nyalang. Kini kami berhadapan.

"Maksudmu?"

Aku tergelak puas. Laki-laki ini mudah terpancing. Kini giliranku yang memijit hidungnya. Wajahnya masih kaku, ditekuk.

"Aku bercanda."

"Tapi itu gak lucu. Jadi kalo aku mandul, kamu bakalan ninggalin aku?" cecarnya.

Astaga, pria ini.

"Kamu lagi PMS, Yang?" tanyaku meledek. Namun yang kuajak bercanda masih memasang wajah serius.

Aku mematahkan secuil cokelat di tangan dan menyuap ke mulutnya.

"Sini peluk." Pelan kutarik tubuhnya mendekat dan mendekap erat.

"Jangan bercanda soal itu lagi. Gak lucu, tau!" umpatnya di balik bahuku. Aku terkekeh mendengarnya.

***

Aku terbangun oleh silau sinar mentari yang menyelusup dari celah jendela yang sedikit terbuka.

"Mas Pram ...," panggilku pelan saat tak kutemukan ia di sebelah. Kamar telah rapi semula. Tak ada sisa kekacauan snack dan cokelat tadi malam.

Perlahan aku turun dari ranjang sambil mengikat rambut. Membuka seluruh jendela sempurna supaya angin segar pantai masuk.

Aku berjalan ke luar kamar. Menghirup udara pagi sembari merenggangkan badan. Pantai di pagi hari sungguh memesona. Pemandangan alam ciptaan Tuhan yang tiada cela.

Kombinasi warna terang dari matahari yang mengintip dari celah awan dipadu bentang biru luas sejauh mata memandang. Tak puas rasanya berlama-lama menatap mereka.

"Selamat pagi, Putri Tidur."

Aku menoleh ke sumber suara. Mas Pram datang dengan sebuah nampan berisi dua gelas jus jeruk dan sepiring sandwich. Aku menghampirinya yang tengah mengatur sarapan di atas meja kayu kecil dengan dua buah bangku yang berhadapan.

"Mas bangung jam berapa?" tanyaku sambil mengunyah sandwich.

"Sebelum subuh. Mas susah tidur. Banyak yang dipikirkan. Akhirnya Mas bangun dan langsung ke mushala. Abis itu beresin kamar yang kayak kapal pecah."

Aku meringis mengingat ulahku tadi malam.

"Maaf, Mas. Aku kelaparan tadi malam. Oh iya, nanti sore kita pulang, yuk."

Dia berhenti mengunyah.

"Kenapa? Kamu gak suka tempatnya?"

Aku menggeleng kuat.

"Bukan itu, Mas. Aku kangen anggrek-anggrekku. Lagian di sini gak bisa ngapa-ngapain itu menyiksa."

Dia menautkan alis. Aku tergelak.

"Tapi dari kemarin kita berantem terus. Belum sempat quality time berdua, Sayang. Beberapa hari lagi, deh."

Aku meraih tangannya.

"Siapa bilang kita belum sempat quality time berdua? Setiap kita berantem itu sebenarnya quality time, karena saat itu, kita semakin saling memahami."

"Ehm, baiklah. Nanti malam kita balik. Sore ini nikmati sunset dulu, ya." Wajahnya berubah semringah. Giliranku menautkan alis.

"Kok kamu bahagia banget mau pulang? Udah kangen masuk kantor, ya?" tanyaku menyelidik.

"Ya, ampun. Kok mikir ke situ?" kilahnya cepat.

"Kamu udah kangen sama Evi, kan?"

"Lha, tadi kan kamu yang ngajak pulang hari ini?"

"Tapi muka Mas itu, loh. Kayaknya bahagia banget mau pulang."

"Yaudah, deh. Gak jadi pulang."

"Berarti bener, kan, tadi Mas seneng mau pulang hari ini. Jujur aja, Mas."

"Ya, ampun. Quality time kita kok gini banget, sih. Aku mau berenang aja, ah."

Dia melompat ke laut setelah membuka kaos. Aku mengejarnya sampai ke tepi teras.

"Mas!" jeritku memanggilnya. Tak kunjung muncul ke permukaan. Satu menit berlalu, aku mulai panik.

"Mas, jangan bercanda. Aku lompat, nih," ancamku. Tak jua ada jawaban. Aku menyentuh air dengan kaki. Dingin.

Mengumpulkan segenap tenaga untuk melompat walau tak bisa berenang. Sebuah gelak dari bawah teras kayu, mengejutkanku.

"Mas Pram, gak lucu."

"Abis kamu marah terus, sih."

"Ayo, naik."

"Kamu aja sini turun."

"Aku gak bisa berenang."

"Aku ajarin. Sini." Dia menarik tanganku.

Kami terombang ambing di laut. Dia menahan tubuhku agar tetap di permukaan. Kedua tanganku diletakkan di bahunya.

"Sekarang, bisa gak, kamu percaya sama aku? Pernikahan itu ibarat mengarungi samudera luas. Aku akan menjagamu tidak tenggelam. Mana mungkin aku bisa menjaga dua orang dan tetap selamat."

"Setauku, pernikahan selalu dianalogikan sebuah perahu di samudera kehidupan. Bukan berenang gini. Ngarang kamu, Mas."

"Perahu, ya? Berarti bisa bawa penumpang lebih dari satu, dong?"

Aku mencubit lehernya. Dia tergelak puas.

"Bener, dong. Kan nanti kita bakalan punya anak."

Dan benar, quality time itu bukan sekadar menghabiskan waktu mesra berdua dengan pasangan. Quality time itu, setiap saat yang kita habiskan bersamanya, baik suka dan duka, yang membuat kita saling memahami dan semakin lebih menghargai arti sebuah komitmen.

Biasanya itu terjadi setelah bertengkar hebat lalu saling introspeksi diri.

Insting WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang