bagian enam

8.9K 636 45
                                    

#Insting_Wanita (6)

***

Kuseret kaki berpasir menaiki tangga kayu tergesa. Membuka pintu kaca yang tak terkunci untuk segera menemui pria yang kucinta.

Napasku masih ngos-ngosan saat tiba di dalam kamar. Hanya selimut yang masih terserak bersama bantal di atas ranjang.

Aku celingukan mencari keberadaannya. Berjalan keluar kamar, mendapatinya tengah menelepon seseorang di bawah pohon cemara di sisi belakang villa. Ada dua buah bangku kayu di sana.

Aku mendekatinya perlahan, dia tak mengetahui kedatanganku karena posisinya membelakangi.

"Iya, beberapa hari lagi mungkin."

" ... "

"Baiklah, kuharap semua baik-baik saja di sana."

" ... "

"Aku percaya kalian bisa menanganinya selama aku pergi."

" ... "

" Baiklah. Aku tutup dulu teleponnya."

Aku hampir berhasil mengejutkannya, tapi ia berbalik sesaat sebelum aku menyentuhnya. Wajahnya sedikit terkejut melihat kedatanganku.

"Hey, Sayang. Baru pulang? Kenapa aku gak dibangunin? Aku kan pengen lihat sunrise juga. Kamu dikejar apa sampai berkeringat gini?" Dia menyeka keningku yang berpeluh. Aku duduk di bangku berhadapan dengannya.

"Siapa yang nelepon tadi?" tanyaku menyelidik. Entah kenapa aku merasa itu Evi, tapi bukankah nomernya telah diblokir?

"Oh, itu ... itu dari kantor. Ada masalah sedikit." Matanya berusaha menghindari tatapanku. Ayolah, Pramono Susanto, kau tak bisa berbohong padaku.

"Dari kantor? Siapa?" cecarku.

"Sudahlah, Sayang. Jangan rusak liburan kita dengan kecurigaanmu. Ayo, kita ke dalam. Tadi aku udah pesan makanan. Mungkin sebentar lagi sampai." Dia melihat jam tangan. Aku mengernyit.

"Pinjam gawaimu."

"Buat apa? Kamu gak percaya itu telepon dari kantor?"

"Aku hanya ingin memastikan tak ada yang coba mengganggu liburan kita."

"Baiklah. Ikuti saja pikiran liarmu. Lihat, panggilan masuk dari Dody. Aku lelah dengan semua prasangkamu." Dia meletakkan gawai di meja dan beranjak pergi dengan wajah masam.

Aku memeriksa satu persatu panggilan masuk dan pesan. Dia berkata jujur. Hanya Dody yang menelepon. Aku tiba-tiba merasa bersalah telah merusak moodnya dengan semua prasangkaku. Harusnya aku percaya padanya.

Aku hendak menyusulnya ke kamar saat makanan yang dipesan Mas Pram datang. Kutata di meja dan segera menyusulnya ke kamar untuk mengajaknya makan.

"Mas!" Kuketuk pintu kamar yang terkunci. Dia pasti masih marah.

"Mas, sarapan dulu, yuk. Aku lapar sekali." Tak lama pintu terbuka. Aku langsung merangsek ke dalam. Ia tengah mengambil handuk dan langsung masuk ke kamar mandi.

"Kau makanlah duluan. Aku mau mandi dulu." Pintu kamar mandi ditutup keras.

Aku merutuki diri sendiri. Telah merusak liburan dengan semua pikiran konyolku. Angin pantai menyibak tirai kamar, membuatku tergoda untuk melepas gundah pada laut.

Aku terduduk di teras kamar. Dari situ kakiku terjulur ke bawah untuk merasakan sensasi dijilat ombak. Hangat sekali, matahari mulai tinggi.

Gawai Mas Pram di sampingku kembali berdering.

"Dody," gumamku sambil menggeser tombol hijau.

"Maaf, Pak Pram. Saya ganggu lagi. Ini ada client kita ingin bertemu dengan Bapak besok."

"Maaf, Mas Pram sedang mandi." Air mataku tumpah. Ternyata benar firasatku. Wanita ini belum menyerah. Aku berbalik dan menemukan Mas Pram bergeming di belakangku. Wajahnya pias, seperti maling tertangkap basah.

Kuhapus kasar air mataku dan menyodorkan gawai kepadanya.

"Dody meneleponmu lagi." Aku berlari masuk ke kamar.

"Oh, sial!" umpatnya sebelum aku mengunci diri di kamar mandi.

Sesak sekali, aku menumpahkan segala rasa sambil memukuli dada. Di sini, ada rasa yang telah tercemari. Bohong, berbohonglah untuk menutupi kebohongan lainnya.

Pintu terus diketuknya. Keran air sengaja kubuka, air terus meluap dari bak dan meluncur ke bawah. Menemai tetesan air mataku yang tak tertahan.

"Maafin aku, Sayang." Dia mengiba dari luar. Aku benci sekali mendengar suaranya. Suara pembohong.

"Kau pembohong!" teriakku di sela isakan.

"Aku hanya tak ingin menyakitimu. Tolong, maafkan aku." Alasan klise. Dia pikir wanita akan lebih senang dengan kebohongan yang indah daripada kejujuran yang menyakitkan.

"Kau pembohong!"

"Baik, aku memang pembohong. Buka pintu sekarang dan pukul saja aku. Jangan sakiti dirimu. Kumohon, Sayang. Maafkan aku." Suara ketukan berhenti. Ada isak terdengar lirih dari luar.

"Jujur saja. Kau bosan denganku, kan? Lima tahun bersama, tak menghasilkan apa-apa. Aku mandul. Sana, pergilah dengannya. Dia sangat menggilaimu. Aku lelah, Mas." Aku terduduk di sisi pintu, dapat kudengar isaknya semakin pilu. Dan itu sungguh mengoyak batinku.

"Demi Tuhan, Sayang. Tak pernah sekalipun aku berpikir seperti itu. Aku tadi berbohong demi melindungi hatimu. Aku tak tau dia nekad menelepon dengan nomer Dody. Maafkan aku. Keluarlah, kau akan masuk angin di dalam."

"Berhenti pura-pura peduli. Kau hanya ingin menghiburku, kan? Kau kasihan padaku, kan? Pergilah, aku tak perlu dikasihani. Aku bisa hidup sendiri."

Terdengar langkah Mas Pram menjauh. Aku semakin terisak. Rasanya ingin mati saja daripada menjadi wanita tak berguna. Kembali otakku memutar film lama saat dia berjuang mendapatkanku. Menghalau Bima dan mengemis pada kedua orangtuaku. Apakah ini akhir dari segalanya? Entahlah, otakku buntu.

Aku terkejut mendengar suara benda dibenturkan ke pintu. Tak lama pintu terbuka. Mas Pram langsung memelukku. Sebuah linggis tergeletak di luar kamar mandi.

***

"Mas, berjanjilah tak akan pernah membohongiku lagi. Semanis apapun kebohongan, itu hanya racun yang akan membunuh perlahan." Dia mengangguk dan merengkuhku kembali di dalam pelukan terhangatnya.

Insting WanitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang