11. Pusillanimous

1.5K 197 54
                                    

Sudut perpustakaan selalu sama. Suara lembar buku yang ditarik untuk berganti halaman-itu berasal dari murid ambisius dari kelas 12 yang sebentar lagi akan menghadapi beberapa ujian-serta suara ketikan dari komputer pengawas perpustakaan adalah latar suara yang mengisi keheningan di ruangan yang luas tersebut.

Dari ribuan buku yang tersedia, sekarang sedang tak mampu membangkitkan gairah Rara untuk membaca. Ia merasa hanya ingin untuk menatap lalu-lalang murid kemudian menebak apa yang akan mereka lakukan. Terkadang, itu terasa mengasyikkan.

"Hai, Ra."

Setelah absen sehari, pemuda itu kembali muncul. Rasanya menyenangkan begitu menangkap kehadiran seseorang yang bisa mengajaknya mengobrol ringan di waktu istirahat, meski ia sendiri hanya berperan sebagai seorang pendengar yang sesekali menimbrung dalam cerita panjang yang disampaikan.

"Hai."

"Gue kemarin absen, padahal baru aja bilang nggak bosen ke perpus." Pemuda itu tersenyum kecil. "Tenang aja, gue nggak bosen, kok."

Kalimat itu dilontarkan seolah memang sengaja dibuat demikian. Arka seakan ingin mengatakan jika pemuda itu akan menemaninya di sudut perpustakaan hingga lulus nanti. Akan seindah apa kehidupan remaja mereka yang dihabiskan di tempat yang selalu sunyi dan jarang diminati? Tidak ada yang tahu.

"Nggak pa-pa, kok." Rara pada akhirnya merespon. Ia menunduk, menatap jemarinya yang berada di pangkuan.

Pikirannya terlempar pada percakapan mereka dua hari yang lalu. Belajar saling menyukai. Itu terdengar sangat aneh. Seperti halnya yang ia tahu, perasaan tidak dapat dipaksakan. Karena jika sampai hal tersebut terjadi, sudah tentu akan memberatkan salah satu pihak atau bahkan keduanya.

"Ngomong-ngomong soal obrolan kita yang waktu itu." Kalimat tersebut mampu membuat Rara mengangkat wajah, menatap pemuda itu. "Gimana menurut lo? Lo belum komentar apapun, kan?"

Pertanyaan itu spontan membuat pikiran Rara seperti diranjau secara bersamaan. Otaknya benar-benar kesulitan memproses data-data yang masuk sehingga membuat ia kebingungan dalam merespon.

"Aku ... nggak tau." Tangan Rara bertaut satu sama lain. Ia pernah merasakan cinta seumur hidupnya, tetapi hanya cinta sebagai penggemar rahasia, bukan dalam hal orang yang saling mencintai satu sama lain. Sehingga untuk belajar saling mencintai, itu benar-benar terasa sangat asing.

"Gue nggak tau mau ngomong apa, cuma ya itu. Lo satu-satunya cewek yang bisa deket sama gue." Arka berkata. Pemuda itu menatapnya dalam-dalam. "Gue butuh seseorang yang bisa ngisi hari-hari gue dan ngelupain hal pahit yang pernah gue alamin."

Cinta dan melupakan hal pahit yang pernah dialami. Itu terdengar sangat manis. Namun, apakah Rara mampu? Dengan memiliki kekasih yang mengisi hati, mungkin ia bisa mempunyai seseorang yang akan mendukungnya, menyemangatinya, atau bahkan mampu menghapus ingatan buruk yang ingin ia lupakan.

"Tapi aku belum siap." Jawaban itu pada akhirnya yang bisa Rara lontarkan. Ingatan buruk itu, belum siap untuk ia hapus; memori tentang orang tuanya.

***

Rara bukan seseorang yang sangat pintar, tetapi tidak bisa juga dikatakan orang yang kurang. Dalam peringkat kelas, ia selalu berada dalam sepuluh besar. Itu sudah cukup untuknya, tidak berlebihan tapi juga tidak kurang.

Sayangnya, beberapa hal terasa cukup mengganjal untuknya. Tidak semua hal akan mampu ia capai, termasuk juga hal yang berbau tentang keuangan dalam pendidikan.

"Saya nggak mau tau, besok kalian semua harus punya buku pendamping ini." Guru matematika itu menunjuk buku pendamping yang dibawanya.

Segera saja Rara mengangkat tangan. "Pak, apa nggak bisa ada keringanan?"

Laki-laki paruh baya itu melempar fokus ke arahnya. Ia mengembuskan napas berat, mencoba untuk mengerti situasi apa yang terjadi. "Begini saja , khusus kamu, saya perbolehkan untuk meminjam buku ke kelas lain untuk besok. Karena materi yang akan saya berikan nantinya, cuma ada di buku ini. Fungsinya, supaya materi yang saya sampaikan bisa mudah diterima. Jika gandengan dengan teman yang lain, yang ada akan ada kegaduhan. Dan saya nggak menyukai itu. Untuk membelinya, kamu bisa nyusul."

Mendengar pernyataan itu, yang Rara lakukan hanya bisa menyanggupi. Mungkin iya ia bisa membelinya. Namun ia perlu sedikit waktu untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit. Keperluan yang datangnya mendadak akan sulit punya ruang dalam masalah keuangannya.

"Untuk yang lain, saya minta kalian membeli ini. Tersedia di koperasi siswa. Nanti untuk harga, bisa ditanyakan langsung sama petugasnya, ya." Guru matematika itu mengangkat tinggi-tinggi buku yang ia pegang. "Jika sampai ada yang tidak membeli buku, siap-siap nilai kalian akan saya kurangi tiga puluh."

Rara mengembuskan napas berat. Ke mana ia akan mendapat pinjaman buku itu sekarang?

***

Rasanya Rara seperti kehilangan akal sehatnya kala harus mengunjungi kos putra-yang ternyata berjarak jauh-tempat Arka itu tinggal. Beruntungnya, ketika ia mengunjungi tempat itu, tak ada laki-laki yang melihat keduanya masuk pada salah satu ruangan dalam jejeran kamar tersebut.

Awal mula bagaimana pada akhirnya Rara mengunjungi tempat tinggal Arka adalah saat mereka bertemu secara tak sengaja usai ia pulang bekerja paruh waktu. Mereka berbincang sebentar mengenai beberapa hal hingga sampai pada akhirnya kewajiban tentang membeli buku pendamping matematika. Tepat saat itu, terlontar beberapa kalimat mengenai ia yang diminta untuk meminjam buku dari kelas lain sebelum diwajibkan untuk membeli. Maka sekarang, terdamparlah ia di kos putra yang sangat asing untuknya.

"Di mana ya gue ngeletakin bukunya?" Arka bergumam pelan. Pemuda itu sibuk mencari-cari buku pendamping yang kini tertumpuk di rongga kosong bawah meja yang difungsikan sebagai meja belajar.

Sembari menunggu Arka mencari, Rara kemudian duduk di ranjang pemuda itu. Ia mengedarkan pandang pada seluruh ruangan. Meski tak terlalu besar, kamar itu cukup ditata dengan rapi dan nyaman untuk ukuran remaja laki-laki.

"Akhirnya ketemu juga." Arka sedikit menggeser tubuhnya kemudian bangkit. Ia menyerahkan benda itu "Balikinnya minggu depan aja. Gue jadwalnya senin sama selasa."

Rara menerima buku tersebut. Ia membuka sedikit halaman untuk melihat bagian mana saja yang mungkin akan dijelaskan esok hari. Memang benar kata guru matematikanya tadi, materi di buku pendamping sangat lengkap.

Ketika Arka mengambil tempat di sisi ranjang, Rara sedikit menggeser tubuhnya. "Di kelas kamu udah lama dikasih info tentang harus beli ini?"

"Ya udah lumayan lama, sih. Minggu lalu kayanya. Tapi di kelas gue juga belum sampai materi yang itu."

"Gitu, ya." Rara merespon.

"Nanti boleh tuh ajarin gue soal ginian. Biar nanti kalo guru ngajar operasi matriks, gue udah paham."

Rara mengangkat wajah, menatap Arka yang terdengar serius dengan kalimatnya. Apakah itu sungguhan?

"Eh, Ra. Kayanya lo pantes rambutnya agak panjangan, deh. Bukan apa-apa, ya. Cuma kayanya itu bakal buat rambut lo yang agak bergelombang itu bakal lebih kelihatan bagus."

Rara sedikit menahan napas saat Arka tiba-tiba tergerak untuk menyentuh rambutnya yang ia cepol asal. Perbuatan ini benar-benar tidak baik untuk kesehatannya.

"Lo udah berani bawa cewek masuk ke kamar lo, Ka?"

***

Tinggalin komentar kalian soal cerita ini, ya. Aku penasaran apa pendapat kalian.

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang