24. Hirap

1.1K 161 47
                                    

"Kenapa, Ma?"

Arka merendahkan nada ucapannya, mencoba untuk tidak ikut terbawa emosi yang mulai merambat melewati aliran darahnya. Ditatapnya lembut gambaran sempurna sosok wanita oleh kekasihnya tersebut.

Yang ditanyai hanya menggeleng kemudian menjawab, "Mama cuma nggak suka aja kamu dekat sama dia. Dia kelihatan nggak asing, Ka."

Maka alasan itu menjadi pernyataan tak masuk akal apabila harus dihubungkan mengenai mengapa ia tiba-tiba harus menghindari Rara. Hanya karena sang mama yang tak bisa menjelaskan secara pasti kenapa ia tak boleh berdekatan, ia harus menjaga jarak dengan gadis yang selalu menyesaki pikirannya.

Arka sungguh merindukan bagaimana Rara akan diam mendengarkan obrolan panjang yang ia katakan di sudut perpustakaan. Ia ingin menyentuh jemari mungil itu dan menggenggamnya erat. Namun tak bisa. Bayang-bayang akan Sofi yang melarangnya untuk lebih dekat membuat ia merasa ragu menembus tembok tak kasat mata yang ada di antara keduanya.

"Kamu tumben nggak ke perpus?" Pertanyaan Rara terdengar seperti diusahakan untuk senormal mungkin.

Arka tentu tak bisa menutupi keterkejutannya akan pertemuan tak sengaja mereka di koridor sekolah. Tatapannya yang tak juga lepas dari gadis itu sedari jauh, membuat ia spontan menghentikan langkah begitu Rara bertanya. Terdiam sejenak, ia lantas menjawab, "Tadi ada urusan makanya nggak bisa nemuin lo." Hanya itu yang dijelaskannya.

Rara terdiam lalu mengangguk. Gadis itu tampak bingung akan merespon bagaimana selanjutnya. Setelah beberapa detik berdiam diri, ia lanjut berkata, "Oh gitu." Rara berucap pelan, terdengar sangat ragu. "Kalo gitu aku permisi dulu."

Arka sungguh ingin menahan Rara lebih lama, berpandangan dengan dalam mengenai emosi apa yang dirasakan masing-masing insan. Sayang yang dilakukannya hanyalah diam, memandang punggung si pujaan hati menghilang di antara kerumunan manusia yang melintas.

Arka sangat bisa apabila menghendaki sesuatu dengan melawan Sofi. Hanya saja ... setelah kehangatan yang diberikan wanita itu akhir-akhir ini, ia merasakan sesuatu yang begitu nyaman merambati hatinya. Ia tak bisa menolak hal tersebut begitu saja.

Antara sang mama atau sang pujaan hati. Arka harus memilih di antara keduanya. Maka pilihannya sekarang jatuh terhadap suatu titik tengah; menjauhi keduanya.

***

"Lo denger gosip yang tadi mengudara di sekolah?"

Sepulang sekolah, Dion mampir di tempat kosnya lagi. Pemuda itu tak punya kegiatan khusus usai menimba ilmu, sehingga memilih untuk mengalihkan aktivitasnya di tempat temannya tinggal.

Mendengar pernyataan tersebut membuat Arka mendengus pelan. Dion dan insting pekanya malah membuat teman dekatnya tersebut tampak sebagai seorang perempuan yang menyukai gosip terbaru yang tengah populer.

"Yakin nggak mau tau?"

Dion yang mencoba untuk meyakinkannya, membuat Arka pada akhir mengalihkan pandang terhadap pemuda itu. "Kenapa?" tanyanya.

Dion memberi senyum penuh arti, terlihat begitu senang karena pada akhirnya ia tergiur dengan gosip yang hendak diberitahukan. "Akhirnya lo kepo juga?" Ia tertawa pelan. "Jadi beritanya tentang Rara."

Mengetahui nama yang begitu dirindukannya itu disebut, membuat Arka mencengkeram erat botol minuman yang sedari tadi ia cekal. Ia tentu menyadari jika responnya dapat ditangkap dengan jelas oleh lawan bicaranya, tetapi siapa yang peduli?

"Denger nama Rara aja langsung kaya gitu respon lo." Dion mencibir, meski terus melanjutkan, "Tentang orang dekatnya papa lo, tuh. Siapa namanya? Kakek Max? Iya tuh kayanya."

"Maksudnya apa?" Arka sungguh masih belum mengerti.

Dion berdecak pelan, sepertinya jengah karena ia tak segera mengerti apa yang sedang dimaksudkan. "Kakek Max tuh ngasih sesuatu gitu sama Rara di depan gerbang sekolah tadi. Kata anak-anak sih tas baru gitu, sama makanan kayanya."

Penjelasan Dion membuat Arka semakin mendengarkan dengan saksama. Tentu ia belum tahu mengenai duduk perkara ini, mengingat hubungan mereka sedang dalam jalur yang tak bisa dijelaskan. Rara mungkin akan bercerita mengenai peristiwa apa yang ia alami apabila ia duduk di sudut perpustakaan bersama gadis itu. Namun sekali lagi, fakta akan ia yang menghindar membuat ia tak mengetahui berita penting yang seharusnya ia ketahui.

"Rara direbut sama tuh kakek-kakek baru tau rasa lo." Dion tertawa pelan. "Gue denger-denger bapak gula sekarang lebih banyak kasih sayang sama anak-anaknya."

Dion yang berupaya memanas-manasi membuat Arka semakin mengeratkan genggamannya pada botol yang sedari tadi menjadi korbannya. "Kakek Max bukan orang yang suka lirik kanan-kiri."

"Tau dari mana lo kalo dia emang kaya gitu? Bisa aja orang yang keliatannya emang baik-baik, ternyata di dalemnya busuk."

Arka mengamati Dion yang masih berusaha mengomporinya. "Lo tau, Yon? Hubungan gue sama Rara nggak lagi baik-baik aja." Ia sedikit merubah posisi duduk.

Ucapannya spontan mengundang kerutan samar di dahi sang lawan bicara. Butuh waktu sepersekian detik untuk pemuda itu langsung mendekatkan diri ke arahnya kemudian berkata dengan heran, "Perasaan adem-adem aja hubungan kalian selama ini."

"Ya ... Mama nggak ngasih restu tentang hubungan gue."

***

Selasa pagi, Arka berangkat sama seperti biasanya. Hal yang berbeda kemudian baru ia tangkap kala akan memasuki gerbang. Sosok tak asing sedang berdiri dengan membawa sebuah kotak kado berwarna tan tua berukuran besar. Dari kejauhan pun, Arka tahu jika sosok itu adalah orang yang kemarin sempat menjadi bahan obrolannya dengan Dion di tempat kos.

"Arka?"

Kakek Max menyapa terlebih dahulu ketika Arka turun dari sepedanya. Laki-laki itu melempar senyum hangat, khas laki-laki lanjut usia.

"Tumben Kakek ke sini?" Arka bertanya, mencoba mengeluarkan rasa penasaran yang kini memenuhi otaknya. Apakah untuk bisa menemui Rara? Diam-diam nama itu muncul di benaknya.

"Saya pengen ketemu Rara. Tapi kayanya dia memang berangkat pagi. Soalnya sampai sekarang belum juga muncul." Kakek Max menjelaskan. Tangannya lantas tergerak untuk menyentuh lembut kotak kado berukuran besar yang dibawanya. "Saya pengen titip ini ke anak-anak yang lewat, cuma saya sangsi kalo benda ini bisa sampai ke tangannya."

Arka diam memperhatikan. Sempat terlintas di otaknya untuk menawarkan diri dan membawakan benda itu kepada Rara, tetapi fakta akan ia yang sedang berusaha menghindar membuat ia hanya terus terdiam.

"Sudah hubungin Rara?" Arka mencoba mencari jalan masuk akal lain agar benda itu dapat sampai di tangan Rara.

Kakek Max mengangkat wajah, berpandangan dengan Arka. "Saya nggak pengen hubungin dia. Saya pengennya buat kejutan kecil."

Penjelasan itu membuat Arka mengembuskan napas berat. Bukankah sudah sangat jelas arah jalannya cerita yang dapat terjadi? Ia diminta membawakan benda itu kepada Rara, sosok yang entah mengapa bisa mencuri perhatian Kakek Max sedemikian rupa.

Arka tak segera mengantar kado yang dibawakan oleh Kakek Max menuju si pemilik yang berhak. Ia berhenti di tempat parkir dan sibuk mengamati, mengira-ngira mengenai apa isi dari benda yang dibawanya.

Dalam waktu yang terus mengalir, pada akhirnya Arka memutuskan untuk membuka benda titipan yang ia bawa. Perlahan, kotak kado itu ditariknya hingga menyembulkan apa isi dari benda yang ia bawa. Itu adalah frill cotton dress.

Hanya dalam detik yang berjalan, Arka bisa membayangkan bagaimana Rara memakai pakaian ini nantinya. Gadis itu pasti akan terlihat begitu manis.

***

Agak pendekan daripada bab sebelumnya yang aku tulis, tapi aku harap kalian terhibur dan merasa ini cerita nggak membosankan. Aku yang berniat update cerita ini tiap malam ngebuat aku merasa ada dalam tekanan. Itu sensasi unik yang malah aku nikmatin.

Jangan lupa buat tinggalin jejak, ya.

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang