Keduanya bukanlah orang yang saling mengenal. Mereka benar-benar orang asing yang tidak tahu satu sama lain, bahkan untuk sekadar nama. Namun pagi itu, takdir benar-benar membuat kejutan yang luar biasa.
Seperti sebuah drama sekolah yang sering terjadi, tabrakan kecil berlangsung di koridor sekolah. Rara yang mulanya hendak berbelok dan langsung menuju kelasnya, tanpa disangka malah menabrak sosok lain yang berjalan berlawanan arah dengannya. Beruntung, ia sempat mundur selangkah demi menyeimbangkan diri. Spontan, fokusnya tertuju pada sosok jangkung yang langsung menatapnya dengan beberapa kerutan samar di dahi.
"Maaf," katanya dan langsung menepikan diri untuk melewati siswa tersebut. Sayangnya, baru dua langkah ia berjalan, kalimat beruntun sudah memasuki pendengarannya.
"Gue murid baru. Belum tau apa-apa. Di mana ruang gurunya?"
Rara menghentikan langkah. Ia berbalik, menatap pemuda itu dengan bingung. Pantas saja ia tak pernah melihatnya.
"Boleh anterin gue?" Terdengar nada sangsi dari kalimatnya.
Mengedarkan pandang, Rara mencoba mencari sosok lain yang bisa ia mintai tolong untuk membantu lawan bicaranya. Namun nihil, tak ada orang, entah karena murid-murid tengah berkumpul di tempat lain, atau bahkan skenario sudah ditentukan demikian. Pada akhirnya, ia hanya bisa mengangguk dan mengantar pemuda itu menuju ruang guru.
"Semua guru udah dateng semua di jam-jam ini?"
Pertanyaan itu mampu menarik atensi Rara dari suasana sekolah. Menoleh, ditatapnya pemuda itu. Ia menggeleng. "Belum."
Lalu, keduanya kembali terdiam. Kehabisan topik obrolan adalah hal lumrah yang sering terjadi pada orang yang baru saling mengenal.
Ruang guru berhadapan dengan laboratorium biologi yang termasuk berada dalam jejeran ruang yang berada di bagian depan. Oleh karena itu ruang guru seharusnya bisa ditemukan dengan mudah. Namun pada kasus ini, Rara juga tak mengerti mengapa pemuda itu tak segera menemukan ruang guru.
Keduanya sampai di sana ketika beberapa guru pengajar dan murid keluar-masuk ruangan. Menghentikan langkah di dekat pintu, ia kembali menghadap sosok yang baru saja diantarnya.
"Makasih, ya." Pemuda itu berkata.
Rara mengangguk. Berbalik, lagi-lagi langkahnya tertahan ketika merasa ada yang menahan bahunya. Ia kembali memutar badan.
"Nama lo siapa?"
"Rara."
***
Perpustakaan adalah tempat favorit Rara. Selain karena tempat ini adalah tempat yang sunyi dan menenangkan karena fungsi utamanya sebagai tempat belajar, maka perpustakaan ini juga menjadi tempat paling cocok untuk mengamati kegiatan orang-orang dari dalam ruangan.
Untuk orang sepertinya yang lebih suka mengamati dibanding berlakon, perpustakaan adalah sebuah surga. Kursi di ujung ruangan menjadi bagian yang tak bisa ia lupakan, bahkan mungkin hingga sepuluh tahun ke depan. Dari tempat tersebut, ia bisa melihat kejadian apapun; tentang orang-orang yang belajar di ruang baca luar ruangan, tentang orang yang lalu-lalang, atau bahkan orang yang sedang merasakan indahnya cinta di masa-masa remaja. Semuanya terekam jelas dalam ingatannya.
Orang mungkin menganggapnya aneh karena duduk di tempat itu sendirian dan melakukan hal yang menurut beberapa orang membosankan. Namun percayalah, Rara sangat menikmati waktu-waktu itu.
Lalu, seperti waktu istirahat lain yang ia gunakan, ia kembali duduk di tempat yang sama. Sebuah buku yang bertuliskan mengenai profesi berada di meja dan berhenti pada halaman tiga puluh satu. Terhitung, sudah tiga hari ia membaca buku itu selama istirahat secara terus-menerus.
Ketukan di jendela membuat Rara mengangkat wajah. Ditatapnya sosok yang kini berdiri di depan jendela dengan sebuah senyuman. Kacamata yang membingkai wajahnya tak lepas seperti pertemuan pertama mereka pagi tadi.
"Nama lo siapa?"
"Rara."
"Gue Arka. Senang ketemu lo."
Sekelebat bayangan tentang percakapan keduanya pagi tadi melintas diingatannya. Pemuda itu masih berdiri di sana dengan senyum hangat karena bertemu dengannya. Ia masih terdiam kaku, bingung hendak merespon seperti apa.
Lalu, ketika Arka pergi, titik fokusnya terus mengikuti ke arah mana pemuda itu pergi. Hingga sosok tersebut hilang, ia masih belum mengalihkan pandang.
***
Rara tidak cantik. Beberapa bisik teman sekelas yang sempat ia dengar, menyatakan bahwa ia adalah gadis dengan wajah yang aneh. Memang benar jika mereka menyimpulkan demikian. Dirinya hanyalah gadis yang menyukai kuncir ekor kuda dan bergaya apa adanya.
Berbicara mengenai teman sekelas, Rara tak terlalu bersemangat untuk bergabung dan ikut mengobrol dengan mereka. Pendiam? Entah mengapa Rara menolak julukan tersebut. Ia yakin jika dirinya bukanlah orang yang demikian. Ia hanya orang yang berada di tengah-tengah. Tidak pendiam, tetapi juga tidak mendominasi. Yang dibutuhkannya adalah orang yang mampu memahaminya lalu ia bisa mengeluarkan jati diri yang sebenarnya. Semudah itu.
"Pulpen lo, kan?"
Seperti sebuah kebetulan lain yang sengaja direncanakan, sosok itu kembali muncul; Arka. Dengan sebuah pulpen di tangannya, pemuda itu mempunyai alasan mengapa mereka bisa bertemu tiga kali dalam sehari ini.
Memandang benda kecil itu, Rara lantas mengangguk. Ia tadi memang sempat kehilangan pulpennya usai mengunjungi perpustakaan, sedang sekarang benda bertinta itu kembali ditemukannya meski harus dihubungkan melalui Arka.
Menerima pulpen itu kembali, ia mengucapkan kalimat terima kasih. "Maaf udah ngerepotin," lanjutnya.
Terlihat sudut bibir Arka tertarik. "Nggak ngerepotin," jawabnya, "udah satu banding satu, kan? Hubungan timbal-balik. Lo nolongin gue tadi pagi, sekarang gantian gue nolongin lo."
Jawaban itu terdengar ringan dilontarkan. Meski baru bertemu pagi tadi, Rara bisa menebak jika Arka adalah sosok yang tidak ingin mempunyai hutang budi, tipikal seorang yang selalu berpikir secara realistis.
"Aku permisi."
Rara mencoba bersikap ramah dengan mengulas senyum terhadap seorang yang baru saja berbuat baik kepadanya. Berbalik, ia melanjutkan langkah. Namun, baru saja ia berjalan sebanyak dua kali ketika suara Arka sudah menyapa terlebih dahulu.
"Gue nunggu kita ketemuan lagi."
Rara berhenti di tempat. Ia memutar badan, ditatapnya Arka yang kini tertawa kecil.
"Mungkin, bakal ada pertemuan nggak disengaja lagi. Besok? Lusa? Gue nunggu momen-momen itu."
Lalu, Rara hanya mampu menjawab dengan sebuah anggukan. Mungkin, akan terjadi sebuah kebetulan lain yang akan mempertemukan mereka lagi.
***
Bukan karena sampulnya Jae, kalian nggak bisa bayangin cowok lain buat visual pemerannya. Aku soalnya kesulitan buat cari cowok pake kacamata. Ya udah deh ambil Jae aja. Kalian bisa pakai orang korea, indonesia, barat, cina, thailand, atau bahkan arab buat ngebayangin mereka:) Ngomong-ngomong, aku keknya nggak bakal ngasih visual pemeran yang lain. Suka-suka kalian aja gitu🖤
ELFA
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I HAD MAGIC[1]✓
Fiksi RemajaRara itu sederhana, sedang Arka itu rumit. Rara itu tidak menarik, sedang Arka itu menawan. Rara itu suka cerita pendek, sedang Arka itu suka puisi. Namun anehnya, mereka seperti sisi kutub magnet yang kemudian saling tarik menarik. Percakapan di s...