15+ ya kawan:)
Adalah Dion, salah seorang yang Rara hindari sekuat yang ia bisa. Kedekatan pemuda itu dengan Arka-sosok yang ia benci setengah mati-membuatnya masuk daftar hitam tersebut.
Sayang, ternyata kemujuran sedang tak berpihak pada Rara hari ini. Tepat setelah makan malam, takdir menemukannya dengan Dion.
Gila. Pemuda itu muncul di balkon kamarnya dengan memakai tangga yang entah ia bawa dari mana. Rara baru akan berteriak memanggil orang lain ketika mulutnya tiba-tiba dibekap dan tubuhnya ditahan agar tak melakukan pemberontakan.
"Gue muncul ke sini susah payah, lo main teriak aja." Ada nada kesal yang digunakan dalam kalimat tersebut.
Benak Rara mengira-ngira mengenai apa yang mungkin akan dilakukan pemuda itu. Apakah Dion akan melakukan sesuatu yang tidak-tidak? Memikirkan hal tersebut, membuat ia mencoba memberontak sekuat yang ia bisa. Namun, perbuatannya tersebut ternyata malah mengundang amarah Dion. Pemuda itu memang memutuskan untuk melepaskan tubuhnya, tetapi sebuah tamparan malah mendarat di wajahnya.
Perbuatan tersebut spontan membuat Rara terdiam seketika. Seumur hidup, baru kali ini ia mendapat pukulan di wajahnya. Ibu memang bersikap tegas terhadapnya. Sewaktu kecil, kekerasan memang sempat didapatkannya begitu ia berulah nakal. Namun itu hanya sebatas cubitan kecil yang sakitnya tak seberapa, berbeda sekali dengan sekarang yang membuatnya merasa pening bukan main.
Seberapa kuat pun Rara mencoba untuk tidak menangis, nyatanya ia merasakan jika matanya mulai memanas. Perlahan, ia mengusap matanya kemudian menunduk, mencoba agar dirinya yang terlihat lemah tak ditangkap banyak oleh pemuda itu.
"Aduh, aduh. Jangan nangis, dong." Dion terdengar panik. "Gue bingung ngelakuin apa tadi. Ya abisnya lo nyebelin banget, sih." Bukannya meminta maaf, lawan bicaranya tersebut malah mencari-cari alasan.
Dion yang mencoba meraih tangannya yang memegang bekas tamparan itu, berusaha untuk ia hindari. Ia berbalik, mencoba untuk menenangkan diri terlebih dahulu.
"Berhenti nangisnya dulu." Dion bersuara di tengah-tengah suasana yang terasa tak menyenangkan. "Gue ke sini karena pengen ngelurusin sesuatu."
Rara diam mendengarkan. Tangisnya sudah berhenti sekarang, tetapi ia enggan untuk berbalik dan berhadapan langsung dengan lawan bicaranya.
"Udah berhenti nangisnya?" Pertanyaan itu dilontarkan setelah beberapa saat keduanya tenggelam dalam keheningan. "Tentang masalah yang udah lo tau, Ra." Ada jeda dalam kalimatnya. "Gue ke sini karena mau ngejelasin itu ke lo."
Menarik napas dalam-dalam, Rara memutuskan untuk berbalik. Ditatapnya sosok jangkung yang berdiri di hadapannya. "Bukannya udah nggak ada yang perlu dijelasin? Semuanya udah jelas." Ada amarah yang muncul dalam suaranya. "Arka pembunuh. Semua yang dia dapat dari anak-anak satu sekolah, udah tentu kurang. Seharusnya dia bisa dapat lebih daripada itu."
Sungguh, Rara ingin membenci Arka seumur hidupnya. Pemuda itu dengan mudahnya memberi senyum seolah dunia memang sedang baik-baik saja. Berlagak layaknya remaja normal di hadapan sang korban. Rara seharusnya mengenali wajah pembunuh orang tuanya sendiri. Hanya karena sosok pembunuh yang ia ketahui tak memakai kacamata, sosok yang muncul di hadapannya ia simpulkan sebagai seorang yang memang mempunyai hati yang luar biasa lembut.
Dion tersenyum setelah mendengar kalimatnya. Kendati demikian, Rara tak mendapati keindahan dari lengkungan bulan sabit tersebut, hanya ada ejekan yang sudah pasti ditujukan padanya.
"Semua orang emang dengan mudah nyimpulin, ya?" Dion tertawa pelan, memberikan sindiran yang tak dapat Rara terima dengan akal sehat. "Dia dijebak. Lo kenapa tolol banget, sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I HAD MAGIC[1]✓
Genç KurguRara itu sederhana, sedang Arka itu rumit. Rara itu tidak menarik, sedang Arka itu menawan. Rara itu suka cerita pendek, sedang Arka itu suka puisi. Namun anehnya, mereka seperti sisi kutub magnet yang kemudian saling tarik menarik. Percakapan di s...