2. Arunika

2.5K 243 74
                                    

Arka beropini bahwa sebuah pertemuan tentu memiliki alasan tersendiri. Entah pertemuan itu akan diiringi dengan perpisahan atau tidak, tentu akan ada sebab-akibat yang terjadi di peristiwa itu. Baginya, pindah sekolah adalah jalan keluar paling masuk akal yang mampu dilakoninya. Terlepas dari apa yang pernah ia lakukan dulu, maka sekarang adalah sekarang, hal yang menjadi fokus utamanya.

"Tinggal ngerjain tugas dikit doang apa susahnya, sih?"

Namun, pindah sekolah itu pula yang membuat ia menjadi tahu sisi lain dari kehidupan yang harus dilakoninya sekarang. Sebuah pemaksaan. Akan terdengar masuk akal apabila ia membuat masalah dan harus bertanggung jawab, tetapi dalam kasus ini ia tidak berbuat yang demikian. Mereka-para pemaksa-mendatanginya dan menyuruhnya melakukan hal yang tidak masuk akal.

Mungkin ya, Arka akan meminjamkan buku tulisnya untuk bisa dicontek oleh tiga orang itu. Namun dengan menulis untuk mereka, tidak akan pernah ia wujudkan.

"Kalian nggak punya sopan santun?" Itu adalah respon yang ia lontarkan akan kalimat yang diucapkan dua detik yang lalu. Ia memandang ketiganya bergantian. "Gue bakal ngasih bukunya, tapi tulis itu sendiri. Bukan gue yang nulis."

Terlihat raut wajah tak suka dari mereka begitu mendengar jawabannya. Salah satu dari remaja itu lantas berdecak dan mengajak yang lain untuk pergi meninggalkan area tempat parkir.

Arka mendengus pelan. Ini benar-benar tak masuk akal.

Lalu ketika ia mengedarkan pandang, matanya menangkap sosok yang tak asing. Dari perawakannya, ia tahu jika gadis itu adalah sosok yang ditemuinya di hari senin; Rara.

Mereka baru bertemu dan saling mengenal dalam waktu yang singkat. Tiga pertemuan secara tak sengaja beberapa hari yang lalu membuat ia harus sedikit berinteraksi dengan siswi tersebut. Namun uniknya, ia merasa aneh. Ada sesuatu yang mengganggunya, tetapi ia tidak tahu apa itu.

***

"Tadi sempet pinjem ini dari perpus." Ia meletakkan buku di meja petugas perpustakaan.

"Namanya siapa?" Wanita muda itu merubah posisi duduknya dan mengambil buku yang baru saja dikembalikan.

"Arka. 11 IPS 1."

Mengedarkan pandang, ia mencari sosok lain yang ada di perpustakaan selain mereka. Tidak ada seorang pun. Perpustakaan benar-benar sepi ketika pulang sekolah seperti sekarang.

Lalu, matanya spontan tertuju pada tempat di sudut ruangan. Ia kembali beralih pada wanita muda yang baru saja selesai mencatat namanya. "Perpustakaan tutup jam berapa?"

"Setengah jam lagi. Kamu masih mau di sini?"

Arka mengangguk. "Iya."

"Jangan lama-lama. Bentar lagi saya tutup."

Menyanggupi jawaban itu, segera ia berjalan menuju tempat yang sedari tadi menjadi fokus utamanya. Gadis itu-sosok yang entah mengapa terasa aneh-sering duduk di sini.

Sudut ruangan sebenarnya tidak lebih spesial seperti tempat duduk yang lain. Meja berbentuk persegi panjang, serta vas bunga sebagai hiasan berada di tengah-tengah. Hanya ada satu keunggulan dibanding tempat yang lain, sudut ruangan bisa digunakan untuk melihat kegiatan orang yang berada di luar. Kaca pembatas terlihat buram dari luar, sehingga orang-orang yang ada di dalam baru akan terlihat jika ditonton dari dekat. Pantas saja jika tempat ini menjadi favorit gadis itu.

Arka baru beberapa detik mengawasi ketika kaki kirinya tak sengaja menginjak sesuatu. Ia menunduk, menatap sesuatu di bawah sana yang baru saja mengusiknya. Sebuah pulpen, benda yang sama seperti yang ia temukan beberapa hari yang lalu. Gadis itu pasti kehilangan pulpennya kembali.

Bangkit, Arka segera berpamitan pada petugas perpustakaan. Tujuan utamanya kini adalah mencari sosok si pemilik pulpen. Sayangnya ketika ia berjalan keluar perpustakaan, nyaris semua murid-murid sudah meninggalkan sekolah. Sangat tidak mungkin apabila Rara masih di tempat ini.

Terbesit di benaknya untuk menanyakan pada beberapa murid yang masih ada di sekolah mengenai keberadaan Rara. Namun, ia sangsi apabila mereka bisa mengetahui Rara yang mana, mengingat nama Rara cukup banyak digunakan oleh remaja, serta ia sendiri juga tak mengetahui di kelas mana kelas gadis itu.

Mungkin, takdir akan membawanya kembali untuk menemui gadis itu esok.

***

Uap kini mengepul dari mangkuk berisi mie instan yang baru saja diseduhnya. Ini adalah kali kedua ia menikmati makanan tidak sehat itu dalam kurun waktu seminggu. Sebenarnya ia memiliki cukup uang untuk membeli makanan sehat, tetapi ia memilih untuk makan apa yang ada. Maka dari itu terdamparlah ia dalam kehidupan malas ini.

Getar di ponselnya membuat Arka mengalihkan fokus dari kegiatan makannya. Ia meraih benda pipih itu dan menangkap beberapa pesan singkat masuk. Itu dari mamanya yang menanyakan menu apa yang dimakannya kali ini. Mengetikkan balasan secara jujur, segera ia mengirim dan langsung mematikan ponselnya. Ia tidak ingin diganggu sekarang, mengingat mamanya pasti akan berdialog panjang hanya karena persoalan makanan tak sehat.

Kegiatan makannya selesai tak sampai sepuluh menit. Setelahnya, segera ia bangkit dan berjalan keluar kamar. Di luar kamar rupanya sudah cukup ramai. Kos putra itu kini dipenuhi dengan suara ramai dari para laki-laki yang sedang bermain gitar bersama-sama.

"Makan mie lagi lo?" celetuk salah satu di antara mereka. Laki-laki berkumis tipis itu adalah orang paling tua di dalam bangunan kos ini. "Lusa kemarin lo juga makan mie juga, kan?"

"Iya, Bang." Ia menjawab.

"Kurang-kurangin makan mie."

Menjawab dengan anggukan, Arka memilih untuk kembali melanjutkan jalannya menuju dapur guna mencuci piring yang baru saja ia pakai. Selesai dengan itu, ia kembali ke kamar.

Untuk seseorang yang tidak mendengar langsung percakapan dari kumpulan laki-laki yang ada tak jauh dari kamarnya, tetap membuat ia tahu jika lanjutan percakapan di antara mereka adalah dirinya. Jangan salahkan ia yang sulit untuk bergabung akrab dengan mereka, tapi salahkan jiwanya yang tak bisa dengan mudah menerima orang baru.

Langit-langit kamarnya kini terasa lebih rendah daripada biasanya. Seolah, ia semakin dihimpit dan dipaksa untuk tak bernapas. Raganya seperti diremas. Ya, mungkin ini tak akan terjadi jika ia tidak melakukan hal yang di luar kendalinya.

***

Aku harap kalian suka sama bagian ini. Soalnya nulis ini perjuangan di waktu senggang.

ELFA

IF I HAD MAGIC[1]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang