Hubungan mereka layaknya perahu kertas yang berlayar di air tenang. Sekalipun hanya sebuah goncangan kecil, kertas itu pada akhirnya akan terkoyak secara perlahan-lahan. Sedang Arka begitu menyadari apabila kerusakan itu semakin terlihat.
Sungguh Arka ingin berbuat sesuatu untuk memperbaiki semuanya sebelum terlambat. Namun hal apa? Ia juga tak mengerti. Rasanya, semua hal yang sedang ia rencanakan dalam benaknya, hanya berakhir semakin kusut dalam otaknya sama seperti benang kusut yang tak ada ujungnya.
Setelah kejujurannya mengenai hubungan mereka yang tak mendapat restu dari mamanya, Rara benar-benar terdiam. Ada sejuta kekecewaan yang muncul dari tatapan gadis itu, apalagi alasan tak masuk akal menjadi bagian yang juga ikut andil dalam hubungan ini; Rara adalah orang yang tak asing. Sofi, wanita itu benar-benar figur yang sukar untuk ditebak, bahkan untuk dirinya yang sudah belasan tahun mengenal sosoknya.
Arka pikir, sepulang sekolah ia bisa menemui Rara dan mencari jalan keluar bersama. Dalam rencananya, ia ingin mempertemukan mama dan pacarnya sekali lagi. Mungkin akan ada sebuah perubahan kecil sehingga membuat ia tak perlu menjaga jarak lagi. Namun hal yang ia dapatkan setelah sampai di ruang kelas 11 IPA 1, hanyalah kekosongan belaka. Nyaris seluruh murid sudah keluar dari ruangan, termasuk juga Rara, orang yang kini sedang dicarinya.
"Ya emang belum rejeki lo ketemu sama Rara abis sekolah."
Dion yang menepuk bahunya membuat Arka mengalihkan pandang terhadap teman dekatnya tersebut. Ia menatap pemuda itu dengan beban berat yang sedang terjejal dalam otaknya.
Mereka berpisah di tempat parkir. Arka memilih untuk langsung menuju sepedanya yang terparkir di tempat khusus sepeda dan segera mengayuh kendaraan itu melintasi gerbang. Lalu, gerakannya spontan terhenti di depan sekolah kala menangkap keberadaan beberapa orang yang memang sudah tak asing untuknya; tiga orang itu membawa warna yang berbeda dalam kehidupan yang tengah ia jalani.
"Arka?" panggilan itu berasal dari salah seorang dari mereka. Itu mamanya, Sofi yang begitu sempurna di mata Rara.
"Mama kenapa ke sini?" Arka bertanya. Ia turun dari sepeda kemudian menuntun kendaraannya mendekati mereka yang berkumpul. "Ra?" panggilnya pada salah seorang yang sedari tadi hanya terdiam.
"Mama datang ke sini karena khawatir sama kamu, Ka."
Sofi yang menyentuh pergelangan tangannya tak serta merta membuat Arka mengalihkan pandang terhadap jemari lembut yang menyentuhnya tersebut. Fokusnya masih tertuju pada Rara yang berhadapan dengan orang selama ini mati-matian ia hindari.
"Kamu nggak kasih izin Mama masuk kamar kos, kamu nggak respon waktu Mama berusaha hubungin. Mama khawatir, Sayang."
Arka menarik pergelangan tangannya dari genggaman Sofi. Ia mendekatkan diri pada laki-laki paruh baya yang hingga kini masih menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk Arka jabarkan. "Kenapa Papa ke sini?"
"Karena kamu di sini."
Kalimat itu belum sempat Arka respon dengan tepat kala Rara tiba-tiba saja menyentuh lengannya. Gadis itu spontan mengalihkan perhatian Arka sepenuhnya dari sosok ayah yang lebih dari satu bulan tak muncul dalam pandangannya.
"Kamu orang itu, Ka?" Ada beban begitu berat dalam pertanyaan itu. Napas Rara yang tersendat-sendat membuat ia menyentuh bahu gadis itu, merasa penasaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
"Ra? Kenapa?" Arka khawatir, tentu saja. Tak pernah ia tangkap tatapan yang demikian muncul dari mata Rara. Netra gadis itu biasanya hanya dipenuhi dengan kelembutan luar biasa yang ia sukai. Sungguh, Arka takut akan kenyataan apa yang tengah menampar sang pujaan hati.
"Pembunuh."
Hanya satu sebutan itu, tetapi berhasil membuat sendi-sendi dalam tubuh Arka terasa luruh bersamaan. Perlahan cekalannya yang menyentuh bahu Rara melonggar. Ia hanya diam kala orang yang tengah menjadi lawan bicaranya menjauhkan diri disertai bibir yang bergetar hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I HAD MAGIC[1]✓
Fiksi RemajaRara itu sederhana, sedang Arka itu rumit. Rara itu tidak menarik, sedang Arka itu menawan. Rara itu suka cerita pendek, sedang Arka itu suka puisi. Namun anehnya, mereka seperti sisi kutub magnet yang kemudian saling tarik menarik. Percakapan di s...