Lebih dari lima menit Arka menunggu di sudut perpustakaan seperti halnya istirahat yang ia habiskan pada umumnya. Namun sosok tersebut—Rara—tidak juga muncul. Si gadis yang biasanya mendengar obrolan ‘ngalor-ngidul’ miliknya belum memasuki perpustakaan setelah bel istirahat pertama berbunyi.
Mengembuskan napas berat, Arka membuang muka ke luar ruangan, pada jendela yang membingkai ujung perpustakaan. Dari dalam, jendela itu bisa dengan mudah mellihat apa saja yang terjadi di luar. Sedang dari luar, jendela itu hanya bisa digunakan untuk melihat apabila sudah benar-benar berada dalam posisi dekat. Hal itu pulalah yang menguntungkan bagi Arka yang mengintip kegiatan manusia di luaran sana.
Senyum Arka spontan terulas kala matanya menangkap si gadis yang sedari tadi ditungguinya. Rara menyempatkan diri mengisi daftar kunjungan di meja pengawas perpustakaan sebelum pada akhirnya mengambil tempat di hadapan Arka yang biasa ia duduki.
"Kamu nunggu lama, ya?" Rara memulai pembicaraan terlebih dahulu, tampaknya mencoba menyisihkan rasa canggung yang biasa mendatanginya.
"Sebenernya ... ya." Arka menjawab dengan sedikit sangsi. "Tapi gue nikmatin waktu buat nungguin lo. Ada sensasi yang beda." Dari jawaban yang ia lontarkan, ia menangkap reaksi kemerahan di kedua pipi Rara. Gadis itu tersipu akan kalimat yang terlontar dari bibirnya.
"Jadi, kenapa lo terlambat hari ini? Tumben banget." Arka sedikit merubah posisinya menjadi sedikit menumpukan diri pada meja, bersitatap dengan lembut pada sang lawan bicara.
"Ah, itu. Aku makan dulu di kelas tadi." Ada nada bersalah terselip di kalimatnya, tetapi Rara memandang ia dengan tatapan berbinar. "Makanan dari Kakek Max."
Mendengar nama Kakek Max disebut, spontan membuat semuanya terasa jelas. Laki-laki lanjut usia itu sudah semestinya datang ke sekolah untuk memberi sesuatu pada Rara, mungkin sebagai pertanda ganti rugi akibat peristiwa yang terjadi tempo hari. Satu hal yang membuat Arka bingung adalah cara memanggil gadis itu yang sama sepertinya.
"Lo manggil beliau Kakek Max juga ya sekarang?" Arka melempar tanya, yang kemudian dijawab anggukan kecil oleh Rara. "Jarang banget Kakek Max minta anak seumuran kita manggil beliau pakai panggilan itu. Tapi lo baru ketemu dua kali, udah manggil dia sebegitu dekatnya." Ia tertawa kecil, cukup kagum dengan kemujuran Rara yang bisa dengan mudah meraih hati laki-laki lanjut usia yang terkenal bijaksana tersebut.
"Kakek Max baik. Beliau minta aku buat jangan manggil dia pakai ‘Pak’ lagi."
Penjelasan Rara membuat Arka mengangguk-angguk mengerti. Kakek Max memang terkadang sulit untuk ditebak. Pada saat tertentu, laki-laki itu tak suka apabila dipanggil ‘Kakek’ oleh orang lain, tetapi pada saat yang lain panggilan ‘Kakek’ dari seseorang untuknya langsung dipaksakan.
***
"Mau ke kelasnya Rara lagi?"
Arka bahkan baru keluar dari kelasnya kala ia menangkap keberadaan Dion di depan pintu. Teman dekatnya tersebut berdiri sembari sedikit melongokkan kepala ke dalam ruangan, terlihat penasaran dengan apa saja yang dilakukan tetangga kelasnya setelah bel pulang berbunyi.
"Kenapa emang?" Arka pada akhirnya bertanya. "Tumben lo ke sini?"
Merasa tak ada yang menarik dari kegiatan murid-murid di dalam kelas, Dion lantas menarik tubuhnya yang sedikit condong ke ruangan. "Kurang baik apa sih gue dateng ke kelas lo buat bilang kalo mama lo ada di depan gerbang."
Jawaban atas pertanyaannya tersebut kemudian mengundang kerutan samar di dahi Arka. "Ngapain ke sekolah?"
Dion mengangkat bahu, tampak tak tahu menahu mengenai gerangan apa yang membawa wanita itu menemui sang putra di sekolah. "Mama lo bilang, dia berusaha hubungin lo. Cuma ya lo nggak ngerespon sama sekali. Makanya gue jadi burung merpati yang membawa informasi."
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I HAD MAGIC[1]✓
Roman pour AdolescentsRara itu sederhana, sedang Arka itu rumit. Rara itu tidak menarik, sedang Arka itu menawan. Rara itu suka cerita pendek, sedang Arka itu suka puisi. Namun anehnya, mereka seperti sisi kutub magnet yang kemudian saling tarik menarik. Percakapan di s...