Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Tak lekas pulang, sebagian murid termasuk dirinya masih duduk manis di kursi untuk mencatat materi yang dituliskan di papan tulis. Bisa saja Rara memotretnya dan lanjut mencatat di rumah, hanya saja akan lebih efisien apabila langsung diselesaikan dalam waktu yang sama.
"Ra, ada yang nyariin lo."
Rara yang masih menulis materi, spontan menoleh ke arah suara. Bukan hanya temannya yang ada di ambang pintu, tetapi juga seorang tak asing yang istirahat pertama tadi sempat menemuinya di perpustakaan. Arka, pemuda itu muncul di sana dengan senyum sama yang entah mengapa selalu terlihat sangat mempesona.
Arka melambaikan tangan kecil, menandakan bahwa memang ia-lah yang sedang mencarinya. Senyum yang sedari tadi ia tunjukkan, belum juga luntur, seolah memang bibir itu akan selalu dihiasi sesuatu yang begitu manis.
Tak punya banyak pilihan lain, Rara memutuskan untuk memotret sisa materi yang belum ditulisnya. Ia mengambil beberapa buku yang belum sempat dibereskan, kemudian menjejalkan buku-buku itu ke tas dengan cukup berantakan karena merasa tak enak akibat tengah ditunggui.
"Kenapa ke sini?" Rara melempar tanya paling masuk akal yang ia bisa. Pemuda itu sangat jarang, atau bahkan nyaris tak pernah ke kelasnya. Sehingga sangat aneh saat ada Arka di saat-saat seperti ini.
"Emang pacar nggak boleh ke sini?"
Mendadak otak Rara menggali secara besar-besaran apa saja yang terjadi pada saat istirahat pertama tadi. Di sela-sela obrolan mereka, sekali, pemuda itu sempat menyinggung hal yang manis, sesuatu yang sedikit terasa geli kala sampai di telinga Rara.
Rara bisa merasakan sesuatu yang degup jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya. Status khusus ini terasa begitu asing bagi ia sendiri. Kendati ia tak memberi jawaban saat Arka bertanya apa perasaannya, hubungan mereka tetap berjalan seperti apa yang diinginkan oleh Rara.
"Pulang, yuk."
Rara mengangguk. Perlahan ayunan kakinya mulai menyamai langkah Arka. Berjalan bersisian dengan orang yang memiliki banyak penggemar rasanya begitu asing. Ada sesuatu yang membuatnya merasa diberi beban yang begitu berat.
"Gue tiba-tiba dihubungin sama Kakek Max, orang yang nabrak lo lima hari lalu." Arka membuka pembicaraan. "Dia pengen nomor hape lo."
Perlahan, perasaan tidak nyaman yang menimpa Rara menghilang—karena diawasi oleh beberapa penggemar Arka—begitu nama Kakek Max disebut. Laki-laki lanjut usia itu sangat baik. Meski hanya bertemu sekali, Rara bisa merasakan suatu percikan dalam hatinya pada saat bertemu.
"Ngomong-ngomong, gue juga belum punya nomor lo." Arka tertawa kecil. "Boleh kalo kita minta?" Pemuda itu tersenyum. "Masa pacar sendiri nggak boleh tukeran nomor?"
Tak butuh waktu lama untuk Rara langsung mengalihkan wajahnya. Ia benar-benar malu karena merasakan sesuatu yang menjalar di wajahnya tidak bisa diajak bekerja sama.
"Boleh minta nomornya, kan?"
Rara kembali memfokuskan pandang terhadap lawan bicaranya. Setelah bersitatap selama beberapa saat, ia lantas mengangguk dan menyebutkan digit angka nomor miliknya.
***
Arka bukanlah orang yang romantis, begitu yang Rara simpulkan usai mendapat beberapa pesan yang ia dapatkan dari pemuda itu. Arka lebih suka hal-hal yang langsung pada intinya, sesuatu yang jarang atau nyaris tak pernah dilakukan orang lain pada pasangannya.
Misal, Arka lebih memilih untuk memintanya langsung segera makan dibanding bertanya apakah sudah makan atau belum, atau hal yang paling Rara ingat adalah memintanya memarahi Raka saja dibanding menasihatinya agar tetap sabar pada Raka yang bisa dikatakan agak membuat jengkel. Secara kesimpulan, pemuda itu baru keluar dari kulitnya usai hubungan mereka benar-benar diresmikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I HAD MAGIC[1]✓
Genç KurguRara itu sederhana, sedang Arka itu rumit. Rara itu tidak menarik, sedang Arka itu menawan. Rara itu suka cerita pendek, sedang Arka itu suka puisi. Namun anehnya, mereka seperti sisi kutub magnet yang kemudian saling tarik menarik. Percakapan di s...