Kelas 11 IPS 1 masih diisi beberapa murid, kebanyakan di antara mereka adalah perempuan yang sedang mengobrol mengenai pekerjaan rumah yang akan dibahas pada jam pertama. Rara sebenarnya bisa menitipkan buku yang ia pinjam pada salah satu siswi yang sudah datang, hanya saja ia tak nyaman.
Rara hanya takut apabila ada seseorang yang berpikiran negatif mengenai dirinya. Atas alasan tersebut, maka di sinilah ia sekarang.
"Ngapain Ra di sini?"
Seribu pemikiran yang mulanya sedang berkumpul di otaknya, seketika buyar begitu mendapati kedatangan Arka. Pemuda itu berdiri menjulang di hadapannya.
"Kemarin lupa mau balikin ini. Jadi sekarang aku bawa." Rara menyerahkan buku yang dibawanya. "Makasih ya udah minjemin, maaf ngerepotin."
"Nggak pa-pa. Gue nggak ngerasa keberatan, kok." Arka tersenyum. "Jadi, lo mau kan ngajarin gue matematika sebelum diterangin sama guru di senin nanti?"
Ah ya benar. Arka pernah berkata demikian kala ia mengunjungi kos putra dua hari lalu. Ia pikir, itu hanya sebuah lelucon belaka.
"Canda. Serius banget."
Kalimat itu spontan membuyarkan alur yang sedang dipikirkan Rara. Ia tersenyum canggung. "Ohh, oke." Ia menjawab pelan karena masih disertai bingung.
Memilin roknya, Rara lantas berkata, "Kalo gitu, aku permisi dulu, ya. Ada yang mau aku lakuin di kelas sebelum bel."
Salah satu alis Arka naik. "Silakan."
Setelah mengulas senyum, segera Rara beranjak pergi. Tidak, sebenarnya ia tak punya agenda sebelum bel masuk. Hanya saja, itu adalah satu-satunya opsi yang terlintas di benaknya. Mereka-para siswi itu-menitikfokuskan pandangan terhadapnya. Hal yang membuatnya tetap bertahan, adalah dengan cara menghindari segala kemungkinan yang akan terjadi.
***
Bohong jika Rara sudah tidak memikirkan mengenai mengapa Arka mengusulkan mereka untuk belajar saling menyukai. Seperti yang selalu ia tekankan sebelumnya, Rara bukanlah gadis yang menarik. Sangat tidak masuk akal apabila pemuda itu malah mengajaknya melakukan hal yang melibatkan akan sebuah kisah merah muda.
Namun, terlepas dari itu semua. Rara harus mengakui satu hal akan kedatangan pemuda itu; warna-warni dalam kehidupannya. Entahlah, ia tak mampu menjelaskan ini semua. Namun, setelah takdir menemukan mereka beberapa kali, ia menyadari jika sisi dalam kehidupan keduanya akan tersingkap apabila sedang mengobrol. Saling terbuka satu sama lain rupanya memang tidak seburuk itu.
"Ke ruang baca luar ruangan aja yuk, Ra."
Rara menatap bingung Arka yang kini berdiri di sisi meja sudut ruangan. Dari yang ia tangkap sedari tadi, pemuda itu bahkan tak mengisi daftar hadir, yang menandakan jika perpustakaan memang bukanlah tujuan utamanya.
Menyadari raut bingung yang ia tunjukkan, Arka lantas menjelaskan, "Kelas dua belas makin banyak. Jadi nggak enak kalo kita ngobrol di sini."
Arka memang benar. Jumlah kelas 12 memang sedang banyak-banyaknya hari ini, karena mereka akan menjalani segelintir ujian yang akan dilaksanakan semester depan. Mencicil materi yang tertinggal sejak sekarang, tentu menjadi jalan yang bisa ditempuh oleh para remaja itu.
Mengangguk, segera Rara berjalan keluar perpustakaan mengikuti Arka. Duduk di salah satu bangku yang disediakan, ia cukup merasa kagum begitu menyadari anggota Duta Perpustakaan rupanya sudah menghias sedemikian rupa sudut tempat tersebut. Ia tak pernah mengamati tempat ini layaknya sekarang.
Ruang baca luar ruangan bersisihan tepat dengan sudut perpustakaan yang biasa diisi Rara. Jika dibandingkan dengan tempat lainnya, bagian ini tentu lebih kecil dan terkesan sempit, mengingat diapit dua tembok dari perpustakaan dan UKS yang bersisihan. Perpustakaan yang terletak di paling ujung sekolah, membuat ada ruang kosong di koridor. Hal itu kemudian dimanfaatkan untuk menjadi bagian yang juga penting.
"Lo suka puisi, Ra?"
Pertanyaan tersebut spontan mengalihkan Rara dari kumpulan puisi yang ditempelkan di mading. Ditatapnya Arka yang baru saja melempar tanya. Ia lantas menggeleng. "Nggak terlalu."
"Kalo tentang artinya?"
"Nggak terlalu paham cara memaknai puisi, jadi kurang tau sama artinya." Rara menjawab. Ia memang mengetahui beberapa tokoh besar penyair di Indonesia. Ia juga mengetahui beberapa karya yang mereka ciptakan hingga ia mampu terbawa arus oleh kalimat yang begitu indah. Namun untuk ikut mengerti bagaimana puisi bekerja, Rara tidak tahu. Ia bukanlah sosok yang dengan mudah mengerti. Pengetahuannya akan puisi, benar-benar sangat rendah.
"Kalo jujur, gue lebih suka baca kumpulan puisi daripada cerpen." Pernyataan Arka membuat Rara cukup tertarik untuk mendengar penjelasannya. "Di rumah, gue punya beberapa buku buat ngisi waktu luang."
"Sejak kapan kamu suka baca puisi?" Rara bertanya. "Maksudku kaya, semuanya pasti punya awalan. Aku baru ketagihan baca buku waktu kelas lima SD. Cerita fabel, cerpen anak-anak, itu menarik banget buat aku di waktu itu."
Ada sedikit perubahan pada air muka Arka. Meski sedikit, Rara dapat menangkapnya. "Sekitar mungkin dua tahun yang lalu." Nada suaranya terdengar aneh. "Ada sedikit kejadian waktu itu. Jadi ya ... gue ngisi waktu gue yang banyak kosong sama puisi-puisi."
Rara mengangguk-angguk menanggapi. "Jadi, sebelum itu kamu kalo belajar kaya gimana?"
"Gue bikin peta konsep." Arka tertawa kecil, tampaknya merasa lucu dengan apa yang ia lakukan di masa lalu. "Gue nggak terlalu suka baca, sedangkan bokap nuntut buat gue nilainya harus bagus. Alhasil, setiap pulang sekolah gue bikin peta konsep tentang materi apa yang dijelasin sama guru. Gue pajang itu di mading kecil-kecilan di kamar. Dan itu efektif banget buat gue yang males banget baca."
Rara pernah mendengar cara belajar yang sama seperti yang dijelaskan Arka. Dulu, guru konseling di SMP-nya, pernah mengajarkan mengenai bagaimana agar belajar terasa menyenangkan. Ia cukup terkejut begitu mengetahui lawan bicaranya juga menjalani trik yang sama untuk belajar.
"Ngomong-ngomong, di perpus ada nggak kumpulan puisi dari anak-anak sini?"
"Ada, kok." Rara mencoba mengingat-ingat. "Sampulnya warna biru tua gradasi sama warna apa gitu. Ada di rak paling selatan. Di sana ada kumpulan puisi sama cerpen anak-anak duta."
"Lo sepaham ini sama seluk-beluk perpustakaan ternyata." Pemuda itu tersenyum.
Saat sesuatu tiba-tiba saja merayap tanpa sopan menghantam sesuatu yang ada di dalam dadanya, Rara meremas jemarinya. Biasanya, ia tak akan merasa seperti ini. Senyuman itu seharusnya terasa sama saja dengan senyuman yang biasa dilemparkan. Namun kali ini, mengapa ia merasa berbeda?
Sesuatu itu, mungkin tidak akan pernah baik ke depannya.
***
Hola, akhirnya aku kembali dengan bab baru. Sumpah, perjuangan banget waktu ngetik bab ini. Soalnya durasi ngetiknya lama sekali.
Pernah nggak sih kalian diminta buat ngerjain tiga hal besar secara bersamaan gitu? Aku ngelakuin itu, sampai-sampai pada akhirnya ada agenda aku yang penting harus mundur, gegara persiapan kegiatannya kurang maksimal. Sedih sih emang. Tapi nggak pa-pa, yang penting nanti bisa dilakuin.
Jangan lupa tinggalin jejak buat aku makin semangat.
ELFA
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I HAD MAGIC[1]✓
Dla nastolatkówRara itu sederhana, sedang Arka itu rumit. Rara itu tidak menarik, sedang Arka itu menawan. Rara itu suka cerita pendek, sedang Arka itu suka puisi. Namun anehnya, mereka seperti sisi kutub magnet yang kemudian saling tarik menarik. Percakapan di s...