G2- Dalla

338 70 35
                                    

Moonella ...

Dadah ...

Mamah ...

Aku selalu penasaran kenapa Ibu memberiku nama Moonella. Aku bahkan tidak punya marga seperti kebanyakan orang Korea. Kenapa aku harus memanggil kedua orang tuaku dengan sebutan yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Bukankah aku keturunan Korea asli? Setiap kali aku menanyakannya, alih-alih mendapatkan jawaban, Jungkook Ahjussi hanya akan membawaku ke galeri lukisnya. Jadi, aku pikir Ayah belum siap untuk memberi tahuku. Aku hanya perlu menunggu sedikit lagi untuk bisa dipercaya oleh Ayah.

"Yaa, bukankah ini terlalu panas untukmu bersantai?"

Aku menghela napas. Perlahan mataku terbuka. Seorang gadis berdiri di depanku, membuat sinar matahari tak mengenai wajahku. Mataku menyipit untuk melihatnya lebih jelas. Gadis berwajah dingin itu menatapku heran. Rambutnya sedikit berantakan karena tertiup angin.

"Apa yang kau lakukan di sini? Ini masih jam pelajaran," ucapnya lagi.

Aku menunjuk baju yang dikenakannya. "Kau memakai seragam juga."

"Wae?"

Kupejamkan mata sejenak, kemudian tersenyum kepadanya. "Gomawo, kau melindungiku dari sinar matahari ... yang menyebalkan."

Detik itu juga, ia segera menyingkir dari hadapanku.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Gadis itu kebingungan, "A-aku hanya bosan."

Aku acak rambutku dengan kasar. Berhadapan dengannya membuat suasana hatiku tambah kacau. Tidak bisakah aku mendapat waktu tenangku? Ini sangat menyebalkan. "Kau bosan? Lantas kenapa kau mengangguku?!" teriakku.

"Yaa, kenapa kau berteriak kepadaku? Kau benar-benar menyebalkan. Memangnya kau siapa?"

Aku tersenyum sinis. Lihatlah ... ia yang mengangguku lebih dulu, tapi ia terlihat lebih galak dariku. Menyebalkan sekali. Aku mohon pergilah. Hatiku sedang berduka. Menjauhlah dariku sebelum hatiku meledak.

"Pergilah ...." Kusandarkan bahuku pada bangku kayu yang berada tepat di belakangku. Kulambaikan tanganku untuk menyuruhnya pergi dari hadapanku. Alih-alih pergi, ia duduk di sebelah kiriku. Dengan santai ia ikut bersandar pada bangku kayu. Kakinya ia luruskan, kemudian kedua kakinya ia goyangkan dengan pelan.

"Kau merasa nyaman?" Ia berdiri sambil mengibaskan roknya. "Punggungku sakit bersandar seperti itu."

"Aku tidak memintamu untuk mengikutiku."

"Ah, benar .... Bagaimana bisa kau berbicara dengannya? Bisakah kau membujuknya? Aku mohon."

Oh, Tuhan ... omong kosong apa yang sedang ia bicarakan. Aku tidak tahu apa maksudnya. Sungguh, saat ini aku ingin sendiri. Menghilanglah dari pandanganku.

Aku letakan tangan kananku di dadaku. "Hatiku sakit sekali. Aku di sini sedang memperbaiki suasana hatiku. Aku harus mengembalikan kewarasanku untuk bisa pergi dari sini. Jadi, aku mohon ... enyahlah dari hadapanku!"

Tanpa aku duga, ia tiba-tiba mundur beberapa langkah dari hadapanku. Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku tidak tahu pasti apa yang ia rasakan. Yang aku tahu, saat ini hatiku benar-benar ingin meledak.

"Pergilah!" teriakku. Tanpa terasa setetes air mata mengalir mengenai pipiku. Aku tidak bisa menahannya. Dadaku terasa sangat sesak untuk bisa menampung semua kekesalanku.

"Kau menangis? Kenapa dengan mudah kau menangis? Aku sangat iri denganmu. Berapa banyak sampah yang ada di dadamu? Katakan padaku, bagaimana kau menangis?!"

GAFFER || KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang