Setelah mendengar saran dari Hoseok Ahjussi, kami menghabiskan week end bersama. Hanya aku dan Ayah. Biasanya mereka akan datang ke rumah kalau tahu Ayah hanya menghabiskan waktu liburnya di rumah. Tapi, kali ini tidak. Mungkin mereka sengaja memberi kami waktu untuk bisa bicara dari hati ke hati.
"Dad, i love you ...."
Ayah yang sedang mengoreksi tulisanku, menoleh ke arahku. "Love you, too ...," ucapnya sambil tersenyum.
Ia kembali fokus pada laptop di depannya. Mengoreksi tulisanku sudah menjadi rutinitas Ayah sejak tiga tahun lalu. Tepatnya, setelah aku memutuskan untuk berhenti menjadi seorang trainee di tempat Ayah bekerja.
Aku masih ingat, hari itu Ayah dan Seokjin Ahjussi menatapku penuh tanya. Mereka bertanya apakah aku punya masalah. Mereka begitu khawatir mendengar keputusanku saat itu.
"Yaa, apa kau bermasalah dengan trainee lain?" tanya Seokjin Ahjussi.
Aku menggeleng. "Aniyo, aku hanya ingin berhenti."
"Apa ada yang menganggumu?" Kali ini Ayah bertanya dengan penuh kekhawatiran.
"Iya, aku rasa kalian terlalu banyak mengangguku. Aku merasa tidak nyaman."
Ahjussi sangat terkejut, "Eoh? Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan?"
Sementara Ayah masih bisa mengontrol emosinya, "Katakan apa yang ada di pikiranmu, Dadah ingin mendengarnya."
"Aku tidak ingin menjalani hidup seperti kalian. Biarkan aku menentukan apa yang ingin aku lakukan. Aku ingin kembali kerutinitasku seperti dulu. Aku ingin menulis."
"Kau ingin menulis?" tanya Ayah lirih.
Aku hanya mengangguk tanpa berani menatap Ayah.
"Itu bukan ide yang buruk. Kau boleh menjalani hidup sesukamu. Tapi, konsistenlah dengan pilihanmu. Teruslah menulis setiap hari. Setiap kau ada waktu, maka menulislah. Kirimkan lewat email, akan Dadah luangkan waktu untuk mengoreksi tulisanmu setiap harinya," ucap Ayah tegas.
"Namjoon-ah ...," protes Seokjin Ahjussi.
"Ia berhak atas kebahagiannya sendiri," ucap Ayah kepada Seokjin Ahjussi.
Aku mendongak. Mencoba mencari tahu ekspresi Ayah. Apakah ia hanya berusaha menghiburku atau memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Aku serius," ucap Ayah tegas. Seakan ia tahu kalau tatapanku memang untuk mencari tahu kebenaran ucapannya.
Ia menutup laptop yang ada di hadapannya. Kemudian ia berjalan ke arahku. "Bolehkah Dadah bertanya?"
"Tentu saja." Aku menyibakkan selimut yang dari tadi kupakai. Sekarang kami saling berhadapan.
"Kenapa kau selalu bilang 'i love you, Dad' untuk mengekspresikan rasa sedihmu? Bukankah itu kurang tepat?" tanya Ayah lirih.
"Setiap kali aku mengatakan kalimat itu, Mamah akan menarikku ke dalam pelukannya," ucapku dengan suara bergetar.
Ayah terdiam mendengar penjelasanku.
"Dad, maaf telah meragukanmu. Apakah Dadah tahu? Sejak kecil, Mamah selalu mengajakku liburan ke Korea. Dan baru sekarang aku menyadari, bahwa Mamah selalu mengajakku ke tempat yang biasa Dadah kunjungi. Saat kami hidup di Indonesia, Mamah tidak pernah memberitahu tentang Dadah. Kalau aku bilang merindukan sosokmu, Mamah hanya bilang kau orang penting dan sibuk. Dan Mamah akan mengajakku liburan untuk mengalihkan perhatianku. Aku rasa itu caranya untuk secara tidak langsung memberi tahu tentangmu. Bukankah diam-diam kalian masih sering memperhatikan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFFER || KNJ
FanfictionIni tentang takdir hidup seorang gadis kecil yang bersinggungan dengan member BTS. Rasa keingintahuan Moonella yang besar tentang asal usulnya, membuat para member kewalahan. Akankah mereka bisa bersabar menghadapi gadis kecil itu? Dapatkah Moonella...