Yoongi Ahjussi melempar aer plug ke belakang dan dengan sigap Hyunjin menangkapnya.
Ia memakainya, begitu juga Heejin yang duduk di sebelahnya. Kali ini, Heejin tidak banyak bertanya. Ia hanya memakainya, kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu Hyunjin. Ia memeluk lengan Hyunjin dengan erat.
Ahjussi melihat sekilas mereka lewat kaca spion. "Bersyukurlah karena kau terlahir sebagai putri Kim Namjoon. Kalau kau putriku, aku sudah membuatmu diam dari dulu."
Aku menatapnya dengan tajam. "Ahjussi, ucapanmu itu sangat kejam. Kau sedang bicara dengan gadis dibawah umur," ucapku dengan gemetar.
"Yaa, berhenti seolah-olah hanya kau yang terluka. Semua orang juga memiliki luka yang serupa, tapi mereka bisa mengatasinya dengan baik. Tidak sepertimu ... terlalu lemah. Di luar sana, ada banyak orang yang menderita. Dalam gelapnya malam yang sunyi, suara tangisnya begitu memilukan. Tidak ada siapa pun, kecuali sepi sebagai teman. Tapi, mereka tahu menempatkan dirinya dengan sangat baik ketika bersosialisasi. Mereka tidak menjadi seseorang yang merepotkan. Tidak bisakah kau seperti itu?" Ia bicara dengan santai, nyaris tanpa ekspresi. Namun, itu membuat hatiku serasa tercabik oleh sesuatu yang tajam. Dapat kurasakan nyeri yang teramat sakit.
Air mataku mulai menggenang di sudut mata. "Ahjussi, aku beban bagi kalian?"
Ia menjambak rambutnya sendiri dengan frustrasi. "Aniyo, bukan itu maksudku. Harus bagaimana aku bicara denganmu?" lirihnya.
"Aku salah? Lalu apa maksud Ahjussi?" tanyaku dengan suara yang masih bergetar.
"Aku sudah bilang diawal. Kau harus bersyukur. Walau kami kelelahan, bahu kami siap menerimamu. Telinga kami selalu mendengar semua omong kosongmu. Di tengah kesibukan yang luar biasa, tekanan yang tiada henti, ekspektasi dari masyarakat yang terlampau tinggi, kau tiba-tiba saja hadir di tengah-tengah kami. Kau tahu betapa kesulitannya kami mengurusmu? Itu hampir membuat kami kehilangan akal sehat. Kau tahu begitu banyak tuntutan dari agensi untuk ayahmu. Ia dipaksa untuk menjadi lebih bijak dan dewasa saat itu. Itu benar-benar waktu yang sulit untuknya. Kehadiranmu itu diluar planning kami. Semuanya kacau.
"Dan kau ... kau bahkan tidak peduli sama sekali. Kau itu terlalu egois. Hanya dirimu sendiri yang kau pentingkan? Kau merasa terluka? Kami juga merasakannya. Bahkan sampai tujuh tahun berlalu, kau masih sangat egois. Kau memiliki tujuh bahu tempatmu bersandar. Kau punya tujuh pasang telinga yang siap mendengarkanmu. Dan kau masih sibuk dengan luka lamamu? Kau punya tujuh pasang tangan yang siap menuntunmu. Jadi lupakan saja tangan yang telah melepaskanmu. Jadilah gadis kecil kebanggaan kami. Tersenyumlah untuk kebahagianmu. Berhenti membuat kami khawatir."
Ahjussi bicara dengan sangat emosional. Aku hanya diam. Kugigit bibir bawahku untuk meredam suara isak tangisku. Aku mengeratkan genggamanku pada ujung rok saat melihat Heejin dari kaca spion sedang menitikkan air mata. Tangannya bergetar memelintir sesuatu.
Aku yakin ia mendengarkan semua percakapan kami. Dan lihatlah ... sekarang ia duduk di sampingku seakan tidak pernah terjadi sesuatu. Matanya berbinar melihat layar ponselnya. Sudut bibirnya tertarik keatas membentuk senyuman. Matanya menyipit menyisakan segaris senyum. Sepertinya ia sedang membalas pesan dari Hyunjin. Aku iri dengannya.
"Heejin-ah, kau tidak merasa terusik?" tanyaku hati-hati.
Aku tidak ingin merusak suasana hatinya. Tapi, sungguh aku sangat penasaran. Kenapa ia seakan-akan tidak pernah mendengar sesuatu. Tidakkah ia juga penasaran dengan ceritaku?
Ia menatapku bingung. "Tentang apa?"
Heejin menyimpan ponselnya di saku. Kini ia fokus menatapku. "Bukankah kau mendengar percakapan kami?" tanyaku sedikit ragu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAFFER || KNJ
FanfictionIni tentang takdir hidup seorang gadis kecil yang bersinggungan dengan member BTS. Rasa keingintahuan Moonella yang besar tentang asal usulnya, membuat para member kewalahan. Akankah mereka bisa bersabar menghadapi gadis kecil itu? Dapatkah Moonella...