G14- LOVE HATE

146 11 2
                                    

Bukan ini tujuanku. Aku datang ke sini tidak untuk melihat mereka. Tuhan ... jika ini mimpi, maka segera bangunkan diriku. Selama ini aku selalu berharap untuk melihatnya. Namun, nyatanya masih begitu menyesakkan melihatnya secara langsung di depan mataku. Hati kecilku masih belum menerima semua perlakuan dirinya kepadaku. Hatiku masih terasa nyeri setiap kali mengingatnya. Aku benci dirinya yang tersenyum di samping Ayah. Dimple kesukaanku mendadak begitu memuakkan karena wanita itu.

"Moon, ayo ... apa yang sedang kau lakukan?" Yuna berbalik melihatku yang sedang mematung di tengah lobi rumah sakit.

"Kau duluan saja, nanti aku menyusul."

Aku hampir saja lupa dengan tujuanku datang ke rumah sakit ini. Tadi selesai latihan, Yuna menghampiriku di rooftop. Ia mengajakku untuk menjenguk adik Hyunjin. Tanpa pikir panjang, aku segera menerima tawarannya. Sejujurnya aku juga penasaran dengan sesuatu yang berhubungan dengan Hyunjin. Terlalu banyak simpang siur  yang terdengar tentang dirinya. Kalau akan berakhir dengan melihat pemandangan seperti ini, tidak seharusnya aku ada di tempat ini.

Ayah dan wanita itu sedang berbicara dengan dokter pribadiku. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dari raut muka mereka, pasti ada hal serius yang mereka bahas. Dokter Kim memberikan tumpukan buku yang dari tadi dipegangnya. Kalau tidak salah lihat, itu seperti kumpulan buku diary. Tidak ... bukankah itu buku diary yang aku tulis? Aku begitu yakin karena sampul diary itu, aku sendiri yang mendesainnya. Kenapa Dokter Kim memberikan kepadanya? Ia tidak boleh membacanya. Aku tidak akan pernah rela catatan itu ada di tangannya. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah membiarkan ia membacanya.

Setelah wanita itu menerima kumpulan diaryku, Ayah segera berpamitan dan pergi dari situ. Aku refleks bersembunyi. Ayah tidak boleh tahu kehadiranku. Begitu Ayah menghilang dari pandanganku, aku melihat kembali wanita itu, dan Dokter Kim sudah tidak bersamanya. Ia hanya terlihat bersama gadis remaja seusiaku. Tunggu ... aku yakin itu gadis di perpustakaan. Ia yang memberi tahuku kalau Ibu sudah meninggal. Apa yang sedang mereka lakukan?

"Yaa, dasar pembohong!" teriakku sambil berlari ke arah mereka.

Wanita itu begitu terkejut ketika aku menjambak rambut gadis di sebelahnya. Gadis itu bahkan tidak sempat menghindar. Ia hanya terus megaduh kesakitan. Aku tidak akan melepaskannya. Dasar gadis pembohong.

"Hei, lepaskan! Apa yang kau lakukan? Ia bisa terluka." Wanita itu melempar asal buku diary digenggamannya. Ia mencoba melerai kami yang saling menjambak rambut.

Entah karena ucapannya atau tindakannya membuang diary itu begitu saja, mendadak aku melepaskan tanganku dari rambut gadis itu. Seakan tulangku hilang, tubuhku begitu lemas. Tiba-tiba saja air mata mengalir di pipiku. Dadaku terasa begitu sesak. Aku menjauh dari mereka dan memunguti diary yang berserakan. Aku tidak peduli apa yang mereka lakukan lagi.

"Kau mau mencurinya?" ucap gadis itu yang berdiri di belakangku dengan rambut berantakan. Wanita di sebelahnya sama sekali tidak terusik. Ia berusaha merapikan baju dan juga rambut gadis itu.

"Kenapa aku harus mencurinya?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Itu milik Unnie." Gadis itu menunjuk diary yang kugenggam.

"Benar, itu milikku ...," ucap wanita itu.

"Sejak kapan ini jadi milikmu?"

Wanita itu terlihat kebingungan. "Bukan sepenuhnya milikku. Aku hanya meminjamnya," ucap wanita itu santai.

Aku sungguh sangat membencinya. Setelah apa yang pernah ia lakukan padaku dulu, ia masih bisa berbicara tenang di depanku seolah tak pernah ada yang terjadi di antara kita. Sungguh tidak tahu malu.

"Bisakah kau memberikannya kepadaku?" tanya wanita itu lembut.

"Kenapa aku harus memberikan milikku kepadamu?"

"Yaa, bisakah kau bicara dengan sopan? Ia itu ... lebih tua darimu," ucapnya geram.

Sementara wanita yang berdiri di depanku hanya mematung melihatku. Raut mukanya tiba-tiba memucat. Ia hampir kehilangan keseimbangannya kalau saja gadis itu tidak menahannya.

"Moonella ...."

Dari belakang mereka, Hyunjin bersama dengan Yuna melambaikan tangan ke arahku. Bersamaan dengan namaku dipanggil, wanita itu kehilangan kesadarannya. Setelahnya, aku tidak ingat lagi.

                                               ***

Begitu membuka mata, yang kulihat hanya Hyunjin yang sedang membaca di samping tempat tidurku. Ia tidak menyadari kalau aku sudah bangun. Di atas nakas terlihat tumpukan buku diaryku. Ah, sekarang aku ingat, terakhir kali aku berdebat dengan wanita itu tentang diary itu. Di mana wanita itu sekarang?

"Apa yang terjadi?" tanyaku lirih.

Ia menutup bukunya kemudian fokus menatapku. "Seharusnya itu yang aku tanyakan kepadamu," ucapnya begitu tenang.

"Di mana Dadah?"

"Ayahmu ada urusan, makanya memintaku untuk menjagamu. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya lagi.

"Apa Dadah melihatnya?" Aku menunjuk diary yang ada di atas nakas.

Ia hanya mengangguk.

"Wanita itu ...."

"Ia baik-baik saja, kau istirahatlah."

"Tidak mau. Aku mau Dadah."

"Istirahatlah, aku harus melihat adikku dulu," ucapnya sambil berdiri membenarkan posisi selimutku.

"Ah, benar ...  aku ingin menengok adikmu. Aku ke sini untuk itu. Kenapa aku berakhir di sini?"

Kudengar suara pintu dibuka. "Oppa, kenapa lama sekali?" ucapnya merajuk.

Suara yang kudengar sangat familiar. Sepertinya aku pernah mengenalnya. Tapi aku tidak bisa melihatnya karena terhalang tubuh Hyunjin.

"Ia sudah menungguku. Istirahatlah."

"Kau sangat menyayangi adikmu, ya? Aku sangat iri kepadanya."

Ia menatapku dengan tatapan yang sulit untuk kuartikan. Cukup lama sampai akhirnya ia beranjak pergi untuk menemui adiknya.

Saat sendirian seperti ini, aku benci dengan pikiran-pikiran aneh yang muncul di kepalaku. Kepalaku rasanya ingin sekali meledak mendengar bisikan-bisikan yang silih berganti muncul. Rasanya diriku benar-benar mengila. Aku putuskan untuk keluar kamar. Mencari udara segar. Aku berjalan sambil mendorong selang infus yang ada di tangan kananku. Sepanjang koridor, hanya kujumpai beberapa perawat yang sedang piket malam. Selebihnya terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang yang tertidur di ruang tunggu. Sepertinya mereka kelelahan.

Aku terus berjalan menuju lobi rumah sakit. Begitu sampai di resepsionis, aku melihat seseorang yang sudah lama ingin kutemui. Sepertinya ia sedang menanyakan sesuatu. Di sebelahnya terlihat bapak tua yang menemaninya. Ia berjalan terburu-buru menuju ke arahku. Sepertinya ia tidak menyadari keberadaanku. Ia melewatiku begitu saja. Hatiku terasa sakit melihatnya seperti itu.

"Unnie ...," ucapku lirih sambil meraih tangannya.

Ia berbalik ke arahku. Melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Ia segera menepis tanganku. "Aku tidak mengenalmu," ketusnya.

"Dasar anak pembawa sial," ucap bapak tua sama ketusnya.

Kemudian mereka meninggalkanku beserta hatiku yang hancur. Selama bertahun-tahun aku berharap untuk bisa kembali menjumpainya. Tapi, setelah bertemu, duniaku runtuh untuk yang kedua kalinya. Mereka benar-benar membuangku. Bagi mereka, aku tidak pernah ada.

Aku mengambil ponsel di saku baju untuk menghubungi Ayah. Saat ini hanya Ayah yang aku punya. Hanya Ayah yang mau menerimaku.

"Hallo ... Moon, apakah itu kamu?" tanya Ayah dari ujung ponsel.

"Aku mau Dadah. Aku hanya mau Dadah."

Hai, saya kembali lagi
Maaf lama menghilang

Bekasi, 23 April 2020

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GAFFER || KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang