Diana POV
Kamar ayah di jaga oleh 2 orang pengawal Luis. Setelah mengganti bunga, aku dan Tess duduk di kafe rumah sakit.
"Ceritain aku semuanya." Tess menatapku lekat. Aku menarik napas panjang dan menceritakan semua detailnya. Tess menatapku dengan takjub. "Kamu tau betapa beruntungnya kamu sekarang?" Tess menyeruput moktailnya. "Luis Batmajaya tidak pernah lama dengan seorang wanita, selalu berganti hari. Aku mendapat info dia baru berpacaran dua kali. Pertama dengan Audrey, supermodel dari TM management dan Mei, aktris yang juga temen sekolahnya di level secondary dulu. Sambil mendengar penjelasan Tess aku mengaduk-aduk jus tomatku dengan malas. "Ini Audrey. Ibunya seorang designer." Tess menunjukkan seorang model menggunakan bikini sport, rambut sebahu, wajahnya cantik. "Ini Mei." Untuk foto kedua Mei lebih terlihat feminim. Dengan rambut lurus sepunggung. Dari foto-fotonya pun dia keliatan berasal dari keluarga berada. "Aku mendengar rumor Mei hampir bertunangan dengan Luis. Keluarga Mei adalah pengusaha dibidang home shopping.". Mataku lekat menatap Mei.
Tiba-tiba ada perasaan cemburu yang timbul dihatiku. Mereka berdua benar-benar berbeda level denganku. Keduanya pun memiliki karier yang bagus dan keluarga yang terpandang. Pikiranku menerawang, aku pasti hanya angin lalu didalam kehidupan dia nantinya. Anak yatim piatu dan hanya seorang asisten sekretaris. Aku tersenyum sedih. Sebaiknya aku jangan pernah membiarkan perasaan apapun tumbuh. Karena nantipun yang terluka hanya satu sisi, yaitu aku.
"Tess..." Panggilku pelan.
"Hey... Jangan pesimis dong. Kamu cantik banget Diana. Tinggi badan kamu bahkan lebih tinggi 5 cm dari Audrey. Wajahmu cantik dan kamu pandai." Tess menepuk pundakku.
"Thanks." Aku berusaha menunjukkan senyum manisku. Lama kami terdiam, "Aku ingin memasangan pengontrol kehamilan, Tess."
Tess menatapku bingung. "Untuk?"
"Aku tidak ingin memiliki anak dengan dia nantinya." Tanganku bergetar saat mengatakannya, dadaku sesak seperti sebuah jarum tepat menusuk jantungku sesudah mengatakan itu.
"Din...." Tess menggenggam tanganku erat.
Airmataku perlahan turun tanpa bisa kuhentikan "Aku... Aku ga tau kenapa aku menangis."
Tess berpindah duduk dihadapanku dan memelukku erat. Aku menangis dalam diam entah berapa lamanya.
"Luis mungkin sudah berubah Din."
Aku menghapus airmataku. "Lihat aku sekarang Tess. Apa yang aku punya sekarang? Tidak ada. Aku cuma punya ayah yang saat ini sedang koma. Aku tak sanggup jika harus jatuh berulang kali. Dan kelak jika kami memiliki anak, aku akan gila jika harus berpisah dengan darah dagingku sendiri!" Jelasku nyaris berteriak, beruntung cafe sedang sepi.
"Itu cuma ketakutan."
"Kamu ga ngerti Tess. Orang tidak akan bisa berubah secepat itu. Dan ada kesempatan orang lain akan menggantikan posisiku. Jika kami harus bercerai nantinya, aku tidak akan pernah menang melawan dia dan keluarganya. Lebih baik sekarang dibandingkan nanti." Tess menatapku sedih. "Aku sadar tempat dimana aku berpijak Tess. Aku sadar manusia selalu mengecewakan dan cukup sudah aku berharap pada oranglain." Aku menghapus airmataku cepat dan kembali tersenyum.
Tess menarik napas panjang. "Aku memiliki teman dokter kandungan. Dia anak sahabat baik ayahku. Aku bisa merekomendasikannya."
"Luis memiliki banyak mata-mata. Bisakah kamu meminta resep itu atas namamu atau oranglain?" Tess tersenyum dan mengangguk. "You are the best."
Tess menghubungi dokter kandungan itu dan bersedia menyediakan obatnya jam 2 siang nanti. Aku menoleh dan mengecek iphoneku. 11 missed call dari Luis. Kuhapus history nya dan kembali memasukkan iphoneku kedalam tas. 10menit kemudian Norman mendatangiku dengan muka pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peach Love (COMPLETED)
RomanceWARNING!!! 21+ (Sudah di peringatkan ya. Jangan ngeyel yang belum cukup usia.) *Belum diedit sedikitpun. Penuh gramatikal eror.* 17 tahun Diana Santoyo harus hidup mandiri sejak usia 12 tahun. Kedua orangtuanya telah meninggal dan menjadikan Diana s...