A9

3.4K 208 16
                                    

Adnan tengah berkumpul dengan teman-temannya di kantin. Sejak tadi Adnan sibuk dengan ponselnya, bahkan beberapa kali Adnan tidak menyahut saat Vero, Mario, maupun Windy mengajaknya bicara.

"Nan, lu lagi ada masalah?" tanya Windy khawatir karena melihat Adnan yang tidak seperti biasanya.

"Hah? Apanya?" Adnan akhirnya tersadar dan menatap bingung kearah Windy.

"Dari tadi lu kelihatan gak fokus," kata Windy berkomentar.

"Iya, bro," timpal Vero.

"Gue lagi butuh kerjaan tambahan kayaknya, deh," ungkap Adnan.

"Hah? Kerja lagi?" kaget Windy. Pasalnya ia tahu bahwa Adnan sudah memiliki pekerjaan sampingan saat ini.

"Bukannya gaji lu ngajar di sekolah elit itu cukup, kan?" tanya Mario memastikan. Adnan menggeleng pelan.

"Ada yang harus gue beli. Gue perlu duit banyak," jelas Adnan.

"Lu mau beli apaan, dah?" Vero mulai kepo.

"Ada," jawab Adnan singkat.

Mario dan Vero saling bertukar pandang. Sepertinya Adnan menyimpan sebuah rahasia.

"Kerja di perusahaan bokap gue aja, Nan. Nanti gue bilang ke bokap, deh," usul Windy.

"Beneran, Win?" tanya Adnan memastikan. Adnan terlihat begitu antusias. Windy mengangguk mantap.

"Lu yakin, Nan? Bentar lagi kita skripsi loh. Kalo lu sibuk kerja, yang ada malahan lu bakalan ketinggalan," sahut Mario cemas.

"Tenang aja, gue bisa bagi waktu. Lagipula ini bukan pertama kalinya gue kerja kok. Sejak SMA gue udah biasa kayak gini," terang Adnan menenangkan. Mario hanya mengangguk-angguk. Toh, temannya ini sudah mengambil keputusan.

Adel sedang berjalan melewati koridor sekolah. Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang memanggilnya.

"Adel!" panggil sebuah suara tepat di belakang Adel.

Adel sangat mengenal suara itu. Oleh karena itu, Adel tetap melanjutkan langkahnya tanpa berniat untuk menoleh apalagi berhenti.

"Adel, tunggu!" serunya lagi kemudian ada sebuah tangan menahan pergelangan tangan Adel. Mau tidak mau Adel harus menghentikan langkahnya.

Adel akhirnya menoleh. Orang yang memanggilnya sejak tadi adalah Julian. Itulah sebabnya Adel sengaja menghindarinya.

"Mau kemana?" tanya Julian ramah.

"Bukan urusan kamu! " jawab Adel jutek.

"Pasti mau ke perpus," tebak Julian tepat sasaran.

Adel membulatkan matanya terkejut. Karena kesal, Adel langsung menghempaskan tangan Julian dan pergi begitu saja. Julian hanya geleng-geleng melihat tingkah Adel.

"Del!" panggil Julian lagi.

Adel mempercepat langkahnya. Ia bahkan mengabaikan panggilan dari Julian barusan.

"Adel!" panggil Julian lagi. Entah mengapa mengoda Adel menjadi hoby nya sekarang.

"Adel, putri om Giraldi!" panggil Julian lagi, tetapi Adel tetap tidak menyahut dan terus saja melangkah menghindari Julian.

"Papa titip salam buat kamu!" teriak Julian.

"Ok!" sahut Adel singkat sebelum tubuhnya menghilang karena persimpangan di koridor.

Sepulang kuliah Windy langsung pergi ke perusahaan milik papanya. Windy merupakan putri bungsu dari seorang pengusaha dalam bidang pertambangan. Windy menemui sekretaris papanya terlebih dahulu, setelah memastikan bahwa papanya tidak sibuk Windy baru masuk kedalam ruangan papanya.

"Papa!" panggil Windy manja.

"Halo, sayang," sahut William, papanya Windy.  "Ada apa, sayang?"

"Pa, Windy perlu bantuan papa..." kata Windy basa-basi.

"Bantuan untuk apa, sayang?" tanya William pada putrinya.

"Janji dulu papa bakal bantuin Windy," pinta Windy sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

William tertawa kemudian menautkan jari kelingking beliau pada jari kelingking putrinya. Windy memang sangat manja kepada papanya.

"Kasih Adnan pekerjaan disini, please..." bujuk Windy dengan wajah memelas. William langsung tertawa melihat tingkah putrinya itu.

Tiba-tiba seseorang masuk kedalam ruangan William. Seorang pria muda dengan setelan jas rapi dan berumur kira-kira 2 tahun diatas Windy.

"Bocah, ngapain lu disini?" tanya pria tersebut.

"Serah gue dong. Ini ruangan bokap gue, sirik aja lu," sungut Windy.

"Yeeee ini juga ruangan bokap gue, bocah," sahutnya.

Ya, pria itu adalah Wugi, kakak kandung dari Windy.  William hanya tertawa melihat pertengkaran kedua anaknya. Wugi dan Windy selalu bertengkar dimanapun mereka bertemu.

"Please, Pa..." Windy kembali membujuk William.

"Lu ngapain, dah?" tanya Wugi heran melihat tingkah adik bungsunya itu.

"Hmm... Papa pikir-pikir dulu, ya?" sahut William.

"Ih... Papa jahat! Kan tadi papa udah janji mau ngebantuin Windy." protes Windy merajuk. Wugi hanya melongo sedangkan William memijit pelipisnya.

"Baiklah, suruh besok dia temui papa ya. Tentang posisi, nanti papa pikirin lagi." William menyerah. Beliau memutuskan untuk mengalah dan menuruti kemauan dari putri bungsunya itu.

"Pasti ada hubungannya dengan Adnan?" tebak Wugi sambil memicingkan matanya. Ia sudah tahu dengan jelas bagaimana perasaan adiknya ini kepada Adnan.

"Kepo lu!" sungut Windy. Wugi langsung tertawa.

"Sampai kapan sih Win lu gini mulu? Merjuangin orang yang sama sekali gak pernah tau perasaan lu?" ungkap Wugi.

Walaupun sering bertengkar, Wugi sangat mengenal sosok adiknya itu. Wugi yang paling mengetahui tentang segala masalah Windy. Pasalnya, Windy memang selalu curhat pada Wugi.

"Berisik ah, gue mau pulang!" kata Windy kesal.

"Bye, Pa."

Windy berlari begitu saja meninggalkan ruangan papanya. Wugi terkekeh melihat tingkah adiknya yang sangat manja itu.

Adel turun disebuah halte dekat kost Adnan. Seperti biasa Adel akan berjalan kaki menuju kost Adnan yang berada tidak jauh dari halte. Awalnya Adel selalu mengomel, tapi lambat laun Adel mulai terbiasa seperti sekarang contohnya, mulut Adel tidak lagi mengomel dan terus berjalan saja.

Setibanya di kost, Adel melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal yang biasa ia gunakan. Adel kemudian berjalan menuju kamar. Di kamar Adel langsung melempar tasnya begitu saja di kasur. Ia kemudian berganti baju. Adel mengeluarkan bukunya didalam tas kemudian berjalan menuju meja belajarnya Adnan untuk mengerjakan tugasnya. Mata Adel tertuju pada pasfoto yang ada di meja tersebut. Itu adalah foto Adnan kecil bersama dengan ibunya, mungkin. Adel heran kenapa tak ada foto ayahnya Adnan. Tetapi dirinya tidak ambil pusing hal itu.

Saat mengerjakan tugasnya, Adel malah kehabisan tinta pennya. Terpaksa Adel mengobrak-abrik laci Adnan untuk mencari sebuah pen. Saat membuka laci paling bawah yang ada di meja itu, mata Adel menangkap sebuah buku rekening. Terbesit ide gila dikepala Adel untuk membuka rekening tersebut. Karena dalam hidupnya, Adel hanya kepo soal uang. Bagi Adel, dengan uang ia bisa membeli segalanya dan ia tidak akan pernah bisa hidup tanpa uang.

Adel membuka halaman pertama buku rekening tersebut dan tertera nama "Adnan Marvin Morales". Berarti benar rekening itu adalah milik Adnan, pikir Adel.

Kemudian Adel membuka halaman berikutnya yang berisi transaksi terakhir dan sisa saldo. Mata Adel membulat sempurna. Beberapa kali Adel mengucek matanya untuk memastikan bahwa dirinya memang tidak salah lihat.

"Ck Adnan..." gumam Adel sambil tersenyum miring.

Mi dispiace (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang