A15

3.3K 162 5
                                    

Happy Reading




Oh shit! Julian benar-benar membelikan Adel sebuah ponsel baru. Kalian tau ponsel merk apa? Ituloh merk ponsel yang lagi hits dengan gambar apel tergigit. Kalian pasti sudah dapat menebaknya, bukan?

"Jalan sama kamu berasa sama om-om dah aku sampe dibeliin iPhone," Adel berkomentar dengan begitu gamblangnya.

Julian tertawa mendengarnya. Bukan Adel namanya kalau ia tidak blak-blakan dalam berbicara seperti itu.

"Kamu yakin uncle gak marah, nih? Uangnya habis nih gara-gara aku," lanjut Adel mode serius. Julian hanya mengedikkan bahu kemudian membukakan pintu mobilnya untuk Adel.

Mobil sport Julian berhenti tepat di caffe de Marzio, tempat nongkrong para anak muda yang lagi hits di sosial media. Mereka berdua masuk ke dalam dan mengambil tempat duduk di paling pojok. Setelah mengambil duduk, seorang pelayan menghampiri mereka sambil membawakan menu. Adel dan Julian selesai memesan, pelayan tersebut kemudian pergi.

           

Sambil menunggu pesanan, mata Adel melihat kearah televisi yang kebetulan dipasang di pertengahan dinding yang ada di cafe tersebut. Televisi itu sedang menampilkan siaran berita. Disana terlihat sosok yang cukup familiar dimata Arel yang sedang ikut acara sosial di sebuah panti sosial anak.

"Loh itu kan...?" kaget Adel saat melihat sosok wanita yang ada di televisi itu.

"Kenapa, Del?" tanya Julian bingung.

"Itu benar ibu negara Italia?" Adel bertanya balik.

"Iya, beliau istri dari presiden Italia, David Morales," jelas Julian.

Adel langsung membulatkan matanya. Jika memang mereka adalah wanita yang sama, berarti Adnan adalah....

"Engga, gue pasti salah lihat," gumam Adel sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisa saja mereka hanya mirip.

Pesanan mereka datang. Adel hanya mengaduk-aduk makanannya. Tubuhnya memang disini, tetapi pikirannya ada di tempat lain. Ia masih memikirkan hal tadi.

"Adelia!" panggil Julian cukup keras karena melihat Adel yang terlihat tidak fokus.

"A-ada apa?" tanya Adel tersentak karena panggilan Julian barusan.

"Kamu ngelamunin apa, sih?"

"Gak ada," jawab Adel cepat.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam tetapi Adnan masih berkutat dengan pekerjaannya. Adnan memang telah bekerja di perusahaan papanya Windy bagian Marketing team leader. Tiba-tiba seorang mengetuk meja Adnan membuat Adnan tersadar dan memandang orang tersebut.

"Lembur lagi?" tanya Wugi pada Adnan. Wugi merupakan atasannya Adnan diperusahaan tersebut.

"Iya, Pak," jawab Adnan dengan sopan.

"Gak usah terlalu formal gitu. Lagipula kamu adalah teman adikku," tutur Wugi ramah. "Lebih baik kamu pulang, tidak baik lembur terus. Kan masih bisa diselesaikan besok."

Adnan menarik nafas kemudian membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di mejanya. Wugi hanya tersenyum kemudian pamit untuk pulang duluan.

Adnan pulang ke kostnya. Suasana kostnya begitu sepi. Adnan memanggil Adel berkali-kali tetapi tidak mendapat sahutan.

Adel belum pulang? Kemana dia? Pikir Adnan.

Adnan kemudian menghubungi Arnessa untuk menanyakan keberadaan Adel tetapi ibu mertuanya itu memberikan jawaban yang membingungkan, seperti yang ada ditutupi. Tetapi Adnan memutuskan untuk tidak memperumit keadaan dan hanya menunggu Adel pulang.

Pukul 10 malam Adel baru pulang ke kost.  Baru saja Adel membuka pintu kost, ia sudah disambut oleh Adnan yang sedang menatapnya dingin.

"Darimana saja kamu?" tanya Adnan to the point. Suara Adnan terdengar begitu mendominasi, seperti ada sesuatu yang sedang berusaha ia tahan.

"Aku... aku..." Adel memutar otaknya untuk mencari alasan. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa ia baru saja jalan dengan Julian. Bisa-bisa Adnan mengamuk saat itu juga.

"Gak usah mencari alasan apapun. Jawab saja yang jujur," potong Adnan cepat seolah dapat membacanya dari ekspresi Adel.

Adel menatap Adnan takut. Ini pertama kalinya ia melihat raut wajah Adnan yang begitu dingin. Biasanya pria itu selalu menatapnya dengan penuh kelembutan.

"Adelia Ginessa Lordham, jawab aku," kata Adnan penuh penegasan. Adel tertunduk karena takit.

Adnan menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Ia kemudian menarik Adel untuk duduk di sofa. Adel hanya diam penuruti Adnan. Adnan menggenggam tangan Adel. Mendapat perlakuan lembut seperti itu, Adel memberanikan diri untuk menatap Adnan.

"Jujur saja, aku gak marah lagi," ungkap Adnan lembut. Adel tetap saja menunduk.

Adnan mendorong dagu Adel agar Adel mau menatapnya. Ia paham bahwa istrinya ini sedang ketakutan sekarang.

"Tatap aku," pinta Adnan pelan dan lebih lembut lagi.

"Aku tadi jalan dengan Julian," jawab Adel dengan jujur sambil menatap takut kepada Adnan.

Adnan menatap Adel cukup lama. Adel semakin gugup karena Adnan hanya menatapnya tanpa bicara sepatah katapun.

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Adnan.

"Dia.... dia membelikanku ponsel baru," jawab Adel dengan jujur dan takut disaat yang bersamaan.

"Kamu menerimanya?" tanya Adnan lagi. Adel mengangguk polos.

"Oke." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Adnan. Adel menyerngit bingung.

"Kamu gak marah?" Kini giliran Adel yang bertanya.

"Untuk apa aku marah? Lagian itu hak kamu untuk menerima atau menolak pemberian dari orang," terang Adnan dengan lembut.

Adel langsung berhambur memeluk Adnan. Adel tidak habis pikir dengan Adnan. Bagaimana mungkin ada pria yang tidak marah disaat tahu kalau istrinya jalan dengan pria lain karena berdasarkan logika, pria akan marah dan cemburu saat tau pasangannya pergi jalan dengan yang lain dan sekarang ini status Adnan adalah seorang suami.

Adnan membalas pelukan yang Adel berikan. Cemburu? Tentu saja. Pria mana yang tidak cemburu saat tahu kalau istrinya jalan dengan pria lain dan pulang terlambat. Marah? Adnan cukup dewasa untuk mengendalikan emosinya. Adnan tadi marah, sangat marah. Tetapi dirinya sadar kalau amarahnya yang sesaat itu mungkin saja menghancurkan hubungannya dengan Adel yang baru saja terjalin. Adnan tidak ingin membuat jarak lagi dengan Adel. Jadi, lebih baik untuk menjadi penyabar.


*

David Morales masih berada di ruang kerja saat jam dinding sudah menunjukkan pukul 1 malam. Latusha masuk ke ruangan itu.

"Sudah cukup, saatnya kamu istirahat," tutur Latusha, sang istri.

David menutup berkasnya dan menatap sang istri.

"Kamu kan tahu sendiri kalau aku insomnia," kata David.

"Kamu insomnia karena begadang tiap malam. Tolong perhatian kesehatanmu," sahut Latusha lembut. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatan suaminya.

"Iya. Aku mengerti," jawab David mengalah. "Kamu masih menemuinya?"

"Iya. Tetapi tetap saja mendapat penolakannya," ungkap Latusha dengan senyuman kecut. "Dia masih perlu waktu."

"Sampai kapan?"

BERSAMBUNG

Jangan lupa vote dan commentnya yaaaa

Oh ya, yang mau temenan sama Author follow aja @Fnbaitii kalo mau follback bisa langsung dm ya❤️

Mi dispiace (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang