Cerai

68.1K 4.6K 109
                                    

Aku menandatangani berkas di hadapanku dengan bergegas. Membayangkan bahwa aku akan segera bebas tanpa keterikatan apa pun, membuatku semakin bersemangat menyelesaikan masalah kami dengan cepat.

Yang kusebut dengan masalah adalah, keputusan untuk menerima ajakan nikah Bram saat usiaku belum mencapai dua puluh tahun, dan kemudian bercerai ketika usia pernikahan kami baru beranjak delapan bulan, beberapa hari setelah aku merayakan ulang tahunku yang kedua puluh. Miris.

"Selesai!" seruku lega tanpa bisa kucegah. Kuulurkan dokumen ke arah Andre, pengacara Bram. Tapi suamiku, ups! Maksudku mantan suamiku itu langsung merebut berkas dari tanganku.

Untuk sesaat Bram memelototi berkas di tangannya. Berkas perceraian kami.

"Aku enggak nyangka kalau proses cerai bisa secepat ini," gumamnya sembari menggelengkan kepala dan menyerahkan berkas kepada Andre.

Aku menggendikan bahu. Bayangan bahwa dia adalah mantan suamiku sekarang membuatku girang sekaligus sakit hati.

Girang karena aku akan segera terbebas dari semua sifat kekanakan Bram, tapi sakit hati karena harus jadi janda di usia yang baru beranjak dua puluh tahun.

Arrgghh!!

"Tapi dulu keputusan kamu mau nikah sama aku, juga sama cepatnya, sih...," sindirnya membuatku naik pitam dan memandangnya dengan kilat marah. Hampir saja aku meledak kalau saja perkataan Andre tidak mengalihkan perhatian kami.

"Saya rasa berkas sudah lengkap." Andre memasukan lembaran kertas itu ke dalam tas setelah meneliti beberapa saat.

Aku tersenyum lagi tanpa bisa kutahan.

"Kamu kayaknya senang banget cerai dari aku?" tanya Bram dengan wajah tertekuk.

Aku segera mengangguk. "Mulai sekarang aku enggak harus berebut kamar mandi, keberisikan karena kamu main games sepanjang malam, dan ketendang-tendang sampai jatuh setiap kali tidur bareng," cengirku. "Oiya! Aku juga enggak perlu denger sindiran-sindiran kamu yang ngeselin itu," tambahku.

Bram mendengus tidak senang. Dia bangkit dari duduknya, lalu menunduk untuk memandangku.

"Sampai bertemu lagi, Jandanya Bram Herawan," katanya dengan nada mengejek, membuat garis-garis bibirku yang sejak tadi membentuk kurva naik, langsung turun seketika.

Entah mengapa mendengar kata janda membuatku kesal setengah mati. Itu seperti mengingatkan akan kebodohanku yang mau-maunya diajak menikah di usia dini.

Kemudian aku mendengar Bram terkekeh geli. Dia sepertinya senang karena berhasil membuatku kesal.

Sumpah! Aku rasa dia enggak akan pernah bisa nikah lagi. Mana ada yang tahan dengan kelakuannya?

"Semoga kita enggak pernah ketemu lagi, Mantan Suami!" balasku ketus sambil membuang pandangan ke arah lain.

Sialnya, tawa Bram malah semakin kencang.

Amit-amit! Aku enggak mau ketemu dia lagi sampai kapanpun. Enggak mau!

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang