Maaf

33K 4.1K 183
                                    

"Seksi?" Suara di balik tembok mengulang perkataan Aria.

Aku hendak berbalik dan melarikan diri ke kamar, tapi Bram muncul lebih cepat dari perkiraanku. Dia sudah berdiri di belakang Aria, menatapku yang hanya terbalut handuk.

"Oh my--" Bram tidak melanjutkan perkataannya ketika dengan segera dia menutup kedua mata Aria dengan telapak tangan.

Kenapa cuma Aria yang tutup mata?

Aku mendelik ke arah Bram dengan kilat membunuh. Manusia menyebalkan itu segera mengatup kedua matanya juga.

"A-aku se-sering lihat itu. Dulu," katanya asal.

"Breng-sek, Bram ...," makiku tertahan sadar ada anak jauh di bawah umur di antara kami. Menutup pintu dan meninggalkan mereka berdua di luar sana.

*******

"Kami menerima aplikasi lamaran Anda dan mengundang Anda untuk interview pertama, besok jam 10 pagi ...."

Itu adalah panggilan wawancara yang kuterima kemarin dengan hati yang menjerit-jerit kegirangan.

Setelah kejadian tiga hari lalu di perusahaan Bram, aku nyaris putus asa karena tidak ada satu pun panggilan wawancara lagi. Ketika akhirnya ada yang meneleponku, rasanya seperti sebuah berkah tidak terkira.

Aku mematut wajah di cermin. Tidak perlu menor karena itu akan terlihat norak. Jadi blush on pun kusapu setipis mungkin. Gaun kantoran berwarna hijau pastel yang elegan membalut tubuhku dengan sempurna, ditambah dengan sepatu pantofel berhak rendah yang cocok.

Tidak boleh ada kesalahan pada wawancara hari ini. Aku harus terlihat lebih dari sempurna.

Dengan anggun aku duduk menunggu di kursi depan ruangan yang ditunjuk. Tadinya aku pikir hanya ada aku yang menjadi kandidat, ternyata ada lima orang lain yang juga menanti untuk diwawancara.

Jadi sesungguhnya, duduk anggunku tidak seanggun perasaan was-was yang menyusup.

Aku menatap ke arah kanan, di mana lima orang sebelumku sudah duduk manis dan mereka terlihat lebih muda dariku. Mungkin masih dikisaran 25 tahun. Secara usia, aku sudah kalah.

Tapi bagaimana dengan pengalaman?

Kedua kandidat di sebelahku saling berbisik tentang pekerjaan mereka sebelumnya. Membuat harapanku kembali menciut.

Bagaimana tidak? Yang satu sebelumnya bekerja sebagai sekretaris direksi di sebuah perusahaan penerbangan besar, yang satunya di sebuah perusahaan minyak yang terkenal.

Aku menunduk. Ketika kandidat di sebelahku bertanya untuk sekadar basi-basi padaku, aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa tahu apa yang ditanyakan. Lalu dia tidak bertanya lagi.

"Laya Ananta ...."

....

"Laya Ananta ...."

....

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan towelan di pundak. Lamunan tentang malangnya nasib buyar seketika. Dengan sigap aku mendongak.

"Laya Ananta?" tanya pria yang sekarang sedang menunduk ke arahku.

"I-iya ...," gagapku.

"Terima kasih karena mau datang interview hari ini,"--dia tersenyum--"tapi saya rasa kamu tidak sebutuh itu dengan pekerjaannya. Jadi ... silakan pulang."

Kemudian pria itu berbalik. Masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu hingga berdebum.

Aku terngaga. Seorang perempuan dengan wajah yang terlihat judes buru-buru menghampiri.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang