Kontrak

31.9K 3.9K 147
                                    

Aku enggak sempat edit-edit. Kalau masih banyak typo, mohon dikasi tau dan dimaafkan, ya.

Terima kasih!!

-------------------------------

Panci kecil berisi mi instan, sejak tadi kuaduk-aduk di atas kompor dengan api menyala tanpa konsentrasi.

Bagaimana bisa konsentrasi? Mengingat bagaimana tadi Bram terburu-buru menjemput Aria di dalam kamar, kemudian lari terbirit ke luar unit setelah menyebut kata 'emang' sebagai jawaban atas tuduhanku bahwa dia cemburu.

Itu orang emang enggak normal!

Kalau dia masih cemburu, ya ngapain dulu kami cerai?

Eh, sorry! Aku lupa, yang minta cerai kan aku, ya?

Terus kenapa sekarang aku malah kepikiran? Aku kan sudah enggak mau lagi sama Bram. Lalu kenapa sekarang malah mengulang-ngulang satu kata jahanam itu di benakku?

Memang aku masih mau sama Bram? Kalau aku masih mau, kenapa dulu aku minta cerai?

Aku meringis sendiri ketika pertanyaan bodoh itu mampir di kepala. Tanganku masih bergerak mengaduk sedang pandanganku kosong ke depan.

Aku kayaknya hampir enggak waras. Keseringan bertemu dengan Bram membuat otakku agak-agak melenceng. Semoga hatiku enggak. Jangan sampailah, kayak enggak ada stok laki-laki lain saja.

Kening dan hidungku tiba-tiba berkerut karena bau terbakar yang tiba-tiba menyeruak.

Mi instan!

Serta merta aku merunduk, menemukan mi setengah gosong dengan air di panci yang sudah kering sama sekali.

Secepat kilat kumatikan api di kompor, mengibas-kibaskan tangan agar asap yang mengepul segera reda. Untung cooker hoodnya berfungsi dengan baik sehingga drama asap karena gosong tidak berlangsung lama.

Tapi demi apa pun, aku kehilangan napsu makan sekarang.

Kubiarkan panci yang menghitam di atas kompor, lebih memilih untuk melangkah lunglai ke dalam kamar.

Aku butuh istirahat untuk menjernihkan pikiran dan melenyapkan pikiran tentang kata 'emang' yang diucapkan Bram.

Mi instan gosong, besok saja kubersihkan.

*******

Aku terbangun karena ponselku berbunyi teramat nyaring. Seingatku, aku tidak menyetel alarm semalam.

Jadi dengan mata masih setengah tertutup, tanganku menjulur ke atas nakas, menekan asal layar ponsel hingga berhenti berbunyi.

Aku pengangguran, enggak perlu bangun pagi.

Baru hendak mengatur posisi, ponselku berbunyi lagi. Dengan kesal kuraih ponsel dan melirik layarnya.

Astaga! Ini bukan alarm, ternyata panggilan dari Ryan.

Sigap aku bangkit dan duduk bersila di atas ranjang. Kepalaku terasa sakit karena langsung duduk tanpa ancang-ancang.

Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali, aku menggeser layar untuk menjawab panggilan.

"Halo?" sahutku.

"Aku sudah text kamu dari semalam. Pemotretannya hari ini jam 9 pagi. Sekarang sudah hampir jam 10. Aku dari tadi pencet bel apartemen kamu, enggak dibuka-bukain pintunya."

Eh? Masa sih? Aku enggak tahu kalau Ryan mengirimiku pesan semalam. Kalau iya, pasti aku sudah tidur waktu pesannya sampai.

Aku jadi enggak enak sama Ryan. Dia sih enggak terdengar marah, tapi hati orang siapa yang tahu?

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang