Dan begitu ....
Sadar Laya!
Sadar sekarang juga!!
Dengan kekuatan entah darimana, aku mengangkat salah satu lutut dan tepat mengenai sasaran!
Aduh! Aku kan berdebar-debar.
Bram segera bertekuk lutut, mengerang kesakitan karena daerah sensitifnya berhasil kuserang.
Dengan mata memicing penuh kemenangan aku menghadiahi sebuah senyum miring ke arahnya yang masih terbungkuk-bungkuk di hadapanku.
"Sakit, Layaaaa!" erangnya nyaris menangis.
"Aku bisa laporin kamu dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan loh, Bram!" ancamku.
"Arghh! Itu tadi buat memastikan!" serunya setengah menjerit.
"Memastikan apa?!" sahutku enggak kalah kesal.
Bram tidak langsung menjawab, dia berkali-kali menarik napas dan mengembuskannya lagi. Berkali-kali mendesis menahan sakit dengan mata yang memerah, mungkin dia juga sedang menahan tangis.
Sakit banget, ya, memangnya?
Tidak lama dia menyeret tubuhnya ke arah sofa, memilih duduk di sana dengan satu kaki yang menopang kaki satunya. Terlihat tidak nyaman dalam duduknya, beberapa kali dia terdengar mendesis.
"Itu tadi sakit banget!" Bukannya menjawab pertanyaanku, Bram kembali melayangkan keluhan.
"Ck! Kamu pulang aja deh," ucapku kesal.
"Enggak mau!"
Aku memutar bola mata, tidak suka dengan bantahannya.
"Aku enggak mau kena masalah sama Amira kalau sampai dia tahu kamu ke tempat tinggal aku semalam ini!" hardikku.
"Kenapa dia harus marah?" Bram mengernyitkan kening.
"Karena dia istri kamu! Dan aku mantan istri kamu!" cerocosku.
Heran, masa yang begituan aja harus dijelasin?
Kutelisik wajah Bram yang berubah murung. Dia menunduk, menghela napas, mengangkat wajahnya, lalu menunduk lagi, menghela napas lagi, dan begitu terus selama beberapa kali ....
"Aku tadinya mau ngomong masalah Ryan. Tapi apa masalah Amira lebih mendesak, ya?"
Aku mengernyitkan kening. Bram berbisik sendirian. Dia terlihat gamang. Bisik-bisik yang bahkan bisa kudengar dari seberang sofa.
"Kamu mau ngomong apa, sih?" desakku penasaran.
"Pengen bilang supaya kamu enggak usah kerja sama Ryan," sahutnya, kali ini sembari menatapku mantap. "Makanya intro tadi itu untuk memastikan?"
"Intro?" Aku mengangkat kedua alisku.
"Intro tadi ...,"--Bram mengulum senyum--"yang tadi kamu bilang perbuatan tidak menyenangkan, tapi menyenangkan buatku itu." Lalu dia terkekeh pelan, kedua pipinya bersemburat kemerahan.
Aihh ... ngeselin!
"Aku masih menarik buat kamu. Iya, kan?" Diturunkannya kaki yang ditopang demi bisa mencondongkan tubuhnya maju. Matanya menyipit dengan senyuman miring yang rasanya ingin kucabik-cabik. "Kamu masih berdebar ... karena aku?"
Refleks aku bangkit dari tempatku duduk. Menekan liur ditenggorokan kencang-kencang.
Apa debaran tadi begitu kentara? Terdengar? Berdegup-degup sampai di telinga Bram?
"Aku hanya mau mengatakan satu hal, Laya." Bram turut bangkit dari duduknya.
Kami berdiri berseberangan, dipisahkan oleh meja kecil di antara kami. Wajah Bram terlihat serius, sedangkan aku sedang berusaha mempertahankan wajah agar tidak memerah karena ketahuan berdebar tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Widow(er)/Dearest You - Terbit
Fiksi UmumBook 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya dan Bram. Mereka bahkan bercerai sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun. Sepuluh tahun berlalu. Laya kembali dipertemukan denga...