Mangsa

32.8K 3.9K 133
                                    

Aku menatap kolam renang di hadapanku, sementara Ruri sedang bergerak-gerak di sampingku, meregangkan tubuh sebagai pemanasan sebelum terjun ke dalam air.

"Lo enggak pemanasan?" tanyanya membuyarkan bengongku.

Aku berdeham, memasang kaca mata renangku dan menggeleng.

"Gue udah cukup panas," sahutku. Aku memang sudah panas. Panas hati.

"Bahaya ahhh!" Ruri menahanku yang sudah mau ambil ancang-ancang melompat. "Kalau lo kenapa-kenapa gue enggak bisa nyelamatin lo. Kan lo tau gue enggak bisa renang," cemasnya.

Aku mengurungkan niat melompat dan menoleh ke arahnya.

"Tuh liat, masih sepi jam segini." Dia mengedarkan pandangan.

Aku jadi ikut-ikut menatap sekeliling. Sepi memang. Sepertinya hanya kami berdua dan dua orang laki-laki di sisi lain yang cukup jauh dari kami.

Ah! Apa karena ini weekend, jadi semua penghuni komplek apartemen terlalu malas bangun pagi dan berenang?

"Jam berapa sih memang?" tanyaku penasaran sambil menurunkan kaca mata renang dan membiarkannya tergantung di leher.

"Jam enam," sahut Ruri melirik jam anti air miliknya di pergelangan tangan.

Aku mengangguk dan mulai menggerak-gerakan tangan, kaki dan seluruh tubuh sebagai pemanasan.

Setelah kurasa cukup, aku langsung melompat ke dalam kolam, Ruri juga ikut-ikutan. Aku melakukan satu kali putaran, dan Ruri seperti biasa hanya diam di sisi kolam, main-main air.

Sekarang putaran ke dua. Aku menarik napas panjang sebelum membenamkan kepala dalam air dan mulai bergerak. Keningku berkerut karena dari arah yang berlawanan seseorang yang juga sedang menyelam -berenang sepertiku-, melambai-lambaikan tangan ke arahku.

Tenggelam? Kayaknya enggak, soalnya dia melambai sambil nyengir hingga gelembung-gelembung air ke luar dari sela bibirnya.

Kami hampir bertubrukan jika saja kami tidak menghentikan gerakan dan langsung menaikan kepala ke permukaan.

Aku mengerutkan kening dengan tidak suka ke arah dia yang ternyata salah satu dari dua orang lelaki yang tadi aku dan Ruri lihat.

"Hai!" serunya ramah sambil mengusap wajahnya yang sepenuhnya basah.

Aku tidak menjawab. Yang ada keningku semakin berkerut.

"Oh! Maaf,"--dia mengulurkan tangan kanannya kearahku--"aku Ryan."

Aku menatap tangan yang terulur namun enggan untuk menyambut.

Lelaki itu, Ryan, berdeham salah tingkah dan menarik tangannya dengan segera.

"Kayaknya salah mangsa ...," dia bergumam tapi aku bisa terdengar oleh telingaku.

"Mangsa apa?!" hentakku. "Kamu pervert, ya? Manusia mesum?" cecarku menuduh.

"Eh!" Ryan tambah serba salah.

Sekarang begini deh, kata mangsa aja sudah enggak enak terdengar di telinga. Wajar dong aku sewot?

"Bukan begitu-bukan begitu," Ryan menggerak-gerakan tangannya ke kanan dan ke kiri. Menepis ucapan menuduhku.

"Terus?" Aku masih penuh dengan selidik.

"Aku tukang moto," katanya sambil tersenyum.

Eh? Kok manis?

"Aku mau moto kamu," sambungnya sambil mengacak-acak rambut gondrongnya yang basah.

My Dearest Widow(er)/Dearest You - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang