Aku dan Bram duduk pada salah satu bangku di taman apartemen. Aku di ujung kiri dan dia di ujung satunya. Hanya menyisakan jarak yang cukup luas di antara kami. Lampu kekuningan di atas kami berkedip-kedip seperti mau putus.
Boleh tidak, kalau aku mengumpamakan perasaan aku saat ini kayak lampu yang berkedip-kedip? Kan ... jadi miris sendiri.
Tanpa sadar, kepalaku semakin menunduk, jariku mulai saling mengait satu sama lain. Mengingat bagaimana tubuhku masih merespon pelukan Bram tanpa penolakan tadi. Malu-maluin, Laya.
"Terima kasih udah peduli sama Aria." Bram memecah keheningan.
"Kamu tahu aku selalu peduli sama Aria," sahutku pelan dengan masih menunduk, masih memainkan jemari, masih kebingungan dengan air mata yang tergenang tadi. Syukurnya bisa segera susut, jadi malunya enggak double.
Lalu, apa yang akan aku dan Bram lakukan sekarang? Di sini? Berduaan? Bakal ada pernyataan cinta lagi? Semoga enggak.
"Amira ... dia bukan istriku," kata Bram.
Mataku sontak membelalak. Masih dalam keadaan menunduk. Jemariku lantas membeku. Waktu juga seakan berhenti sepersekian detik. Aku tidak pernah menduga dengan yang baru saja kudengar. Sekelebat dan cepat, namun mampu membuat jantungku seakan berhenti berdetak beberapa saat.
Perlahan kuangkat kepala, menoleh ke arah Bram yang sedang mendongak, menatap pijar lampu. "Kamu ... ngo-ngomong ... a-apa?" tanyaku terbata saking kagetnya.
*
*
*
*
*Baca lanjut di novel atau ebook-nya, ya. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Widow(er)/Dearest You - Terbit
Ficção GeralBook 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya dan Bram. Mereka bahkan bercerai sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun. Sepuluh tahun berlalu. Laya kembali dipertemukan denga...