Setelah mendengkus, tanpa aba-aba Bram menyerahkan Aria padaku. Untungnya aku sigap, jadi Aria langsung aman dalam dekapan.
Belum lagi aku sempat protes, mantan suamiku itu tiba-tiba saja melayangkan satu jotosan ke wajah Ryan.
Ryan terpukul mundur, tapi hanya terhuyung sebentar dan langsung kembali maju untuk membalas. Tidak terhindari lagi, mereka benar-benar saling adu jotos di hadapanku dan Aria.
Aku segera menyembunyikan wajah Aria di pundak. Dia sudah menangis keras, terkejut dan ketakutan dengan adegan baku hantam.
Panik dan paham kalau Aria tidak boleh melihat adegan kekerasan lebih lama lagi, aku segera membawanya masuk ke dalam unit apartemen dan menutup pintu.
Aria masih menangis dan aku kebingungan, mondar-mandir sambil menggendong Aria, mencoba menenangkannya. Tadinya mau telepon petugas keamanan, tapi urung kulakukan. Jika tetangga kanan kiri merasa terganggu, biar mereka yang menelepon petugas. Dan aku rasa mereka juga enggak akan bergelut sampai mati, kan?
Aku melihat pergerakan jarum panjang pada jam di dinding, sudah lima belas menit berlalu dan aku enggan untuk mengintip dari lubang intip pintu. Aria sampai sudah kelelahan menangis dan tertidur di pelukanku.
Dengan perlahan aku menuju kamar, meletakkan Aria di atas ranjangku dan kemudian berlarian kembali ke depan karena suara bel terdengar di pintu depan.
Wajah Bram dengan ujung-ujung bibir yang berdarah dan lebam di pelipis menatapku begitu pintu terbuka.
Mataku mengerjap. Waktu seakan berhenti untuk beberapa saat. Mataku memindai wajah Bram yang terluka.
Kalau bentuk Bram saja seperti ini, bagaimana dengan Ryan?
"Sakit, Lay." Bram meringis sambil merengut ketika aku masih diam tanpa melakukan tindakan apa pun.
Aku menghela napas. "Biar kapok!" sahutku sambil berbalik masuk dan membiarkan Bram mengikutiku dari belakang.
Aku pikir dia akan berhenti sampai sebatas sofa untuk duduk dan duduk manis menungguku di sana. Tapi ternyata dia malah mengikuti sampai aku masuk ke dalam kamar di mana kotak p3k kusimpan.
Itu juga aku baru sadar setelah mengambil alkohol, obat merah, serta kapas dan meletakkan kotak itu kembali ke dalam nakas, aku nyaris bertubrukan dengan Bram yang sedang berdiri tepat di belakangku menunduk sembari mengamati.
"Astaga!" seruku terkejut.
Bram mundur selangkah. Dia terkekeh tanpa rasa bersalah.
"Sorry," katanya yang terlihat tidak bersungguh-sungguh.
"Ngapain masuk kamar? Sapa yang ngijinin?!" hardikku yang dibalas Bram dengan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
"Nanti Aria bangun, Laya ...," bisiknya, dan kemudian menujuk Aria yang tertidur di atas ranjangku dengan telunjuk yang sama.
Aku menggertakkan geligi dengan sebal. Lalu melewati Bram untuk kembali ke ruang depan dengan obat-obatan di tangan. Dan Bram kembali mengekoriku sampai ke ruang depan.
Bram segera mengambil posisi di atas sofa. Dia sudah mencondongkan wajah ke arahku yang masih berdiri di hadapannya.
Apa dia pikir aku bakal obatin lukanya? Mimpi!
"Nih!" Aku mengulurkan obat-obatan di tanganku.
Bram menarik wajahnya dan menerima obat-obatan itu dengan bingung.
"Obatin sendiri," kataku sambil mengangkat salah satu alis dan menarik salah satu ujung bibir naik.
Bram meringis. "Kan susah, Laya," ucapnya memelas. "Ini sakit banget, loh ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Widow(er)/Dearest You - Terbit
General FictionBook 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya dan Bram. Mereka bahkan bercerai sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun. Sepuluh tahun berlalu. Laya kembali dipertemukan denga...