Entah apa yang ada di pikiranku ketika mengekori Bram dan Aria ke unit apartemen mereka yang letaknya berseberangan dengan blok unitku. Berbeda dengan unit apartemenku yang serba standar, apartemen mereka jelas berada di blok termewah.
Bram menatapku bingung ketika aku ikut masuk ke dalam lift. Aku membalas tatapannya dengan kikuk.
"Lantai berapa?" tanyaku sambil menatap deretan angka di sisi lift.
"Dua satu," jawab Bram dengan tertarik.
Segera kutekan tombol angka dua puluh satu, berdiri merapat di pintu lift tanpa berani menengok ke belakang. Soalnya kalau Bram bertanya, aku enggak tahu mau jawab apa. Sekarang aja aku sedang bimbang, kenapa juga aku harus ngikutin mereka.
"Ante ...."
Suara lemah Aria yang memanggil, membuatku berbalik tanpa sempat berpikir.
"Aria." Aku segera mendekat, menyentuh keningnya yang sekarang sudah kering dari keringat.
"Endong," pintanya sambil menatapku penuh harap.
"Aria sama Papi aja," ujar Bram. "Aria kan sudah bera--"
"Yuk!" kupotong omongan Bram sambil mengulurkan kedua tangan ke bawah ketiak Aria, setelah sebelumnya memaksa Bram mengambil alih plastik berisi mi instan yang tadi kubeli. "Tante gendong," sambungku.
Bram menatapku ragu. "Aria lumayan berat, sudah 17 setengah kilo," jelas Bram, masih mempertahankan Aria dalam dekapannya.
"Tante kuat kok," kataku sambil terus memandang Aria yang saat ini tersenyum tipis padaku.
"Yakin?" tanya Bram lagi masih ragu.
Aku menatap Bram sebal. "Cepet deh!" bisikku memerintah.
Melihat mataku yang mendelik, Bram segera menyerahkan Aria padaku.
Bocah empat tahun itu langsung meletakkan kepalanya di dadaku, bersandar nyaman sementara kedua tangannya memelukku.
Bram berdiri di sisiku. Aku bisa merasa kalau matanya mengawasi.
Lift berhenti di lantai 15. Segerombolan muda-mudi masuk. Jumlahnya kalau aku tidak salah hitung, ada dua belas orang. Semuanya langsung memenuhi lift.
Aku terdesak masuk, Bram sepertinya juga begitu. Tapi aku enggak bisa leluasa bergerak karena Aria ternyata memang cukup berat.
Sebuah rangkulan di pundak, menarikku ke salah satu sudut. Aku tahu itu Bram. Dia menempatkanku di salah satu sudut lift sementara dia merangkulku, membentengi aku dan Aria agar tidak terus terdesak.
Ketika seorang dari mereka yang laki-laki, mundur sambil terbahak karena serunya berbincang dengam salah satu rekannya, Bram menahan punggung si lelaki agar tidak terus mundur dan menghimpit kami. Dia benar-benar terlihat seperti seorang pria yang sedang melindungi keluarganya, melindungi sesuatu yang berharga. Melindungi Aria dan ... aku?
Aku menengadah ke sisi sebelah kiri. Ternyata Bram berdiri miring ke arahku. Tangan kanan merangkul pundak sementara tangan kiri bertumpu pada dinding lift di sisi kananku. Dia sedang membuat blokade.
Sadar aku sedang menatapnya. Bram menunduk. Dia tersenyum seraya bibirnya bergerak yang terbaca seperti, "Aman. Tenang, ya." Lalu diimbuh dengan kedipan sebelah mata yang membuatku menunduk karena jengah.
Aduh. Kok aku jadi berdebar gini?
Aku mempererat dekapanku pada Aria. Anak itu sangat tenang. Tertidur, sepertinya.
Lift berdenting lagi di lantai 19. Dan semua muda-mudi itu turun di sana. Pintu lift tertutup tapi Bram tidak juga mengubah posisinya, membuatku jadi serba salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Dearest Widow(er)/Dearest You - Terbit
Ficção GeralBook 1 : Dearest Series A Romance Comedy Memutuskan menikah di usia muda benar-benar sebuah bencana bagi Laya dan Bram. Mereka bahkan bercerai sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun. Sepuluh tahun berlalu. Laya kembali dipertemukan denga...